Postingan

Menampilkan postingan dari Januari 26, 2014

Arak: Penopang Ekonomi Warga Kecil

Gambar
Saya memulai tulisan kecil ini dengan sebuah sharing pribadi tentang situasi ekonomi dalam keluarga saya. Keluarga saya adalah keluarga petani kampungan. Dari pagi hingga sore, pasti di kebun. Lahan garapan berpindah-pindah, setahun sekali. Hidup betul-betul sangat bergantung pada kebaikan dan kemurahan hati alam. Keluarga petani, dengan pekerjaan sampingan mengiris tuak-marak. Sebutan “tuak” karena rasanya asam kalau diminum. Sedang “marak” rasanya manis. Tuak akan disuling dengan teknologi sederhana menjadi ARAK. Sedangkan marak kalau dimasak menjadi “tnasu” (kalau masih kental) dan jika dipadatkan atau dikeringkan, orang bilang “gula doko”, atau bahasa krennya “gula lontar”. Semua hasil penyadapan ini, kalau tidak dipakai habis dalam kebutuhan rumah tangga, maka keluarga mencari jalan keluar untuk pergi menjualnya. Tempat penjualan yang dapat dijangkau dengan jalan kaki saat itu adalah “Pasar Oka” di Oka atau lebih dekat “Pasar Belo Bare” di Desa Sinar Hading, Kecama

Arak dan Politisi Partai Menjelang Pesta Demokrasi 2014 Di Flotim

Gambar
Menjelang akhir tahun 2013, warga Flotim digeger dengan persoalan MT. Tidak terhitung, berapa ton keringat para warga yang keluar dari dirinya untuk MT. Keringat warga itu memang bertetes-tetes yang mungkin tidak enak kalau dicium. Tapi keringat yang ber-ton-ton dari anggota keluarga Flotim itu adalah keringat uang. Keringat uang adalah keringat masa depan warga. Awal tahun 2014, muncul lagi persoalan ini: ARAK. Walaupun persoalan ini terjadi pada tahun 2013, mungkin kalah saing dengan persoalan MT. Namun menjadi heboh ke publik adalah pada 2014, ketika proses penyelidikan dan pengadilan dirasakan bener-benar tidak adil, oleh empat janda penjual ARAK di pasar Flotim. Melanggar PERDA FLOTIM saja rasanya seperti melanggar UUD 1945. Kedua persoalan ini, seakan dibiarkan saja, sehingga ada peluang lain dengan munculnya “sang ratu adil”. Persoalan tidak dapat diselesaikan dengan rasa keadilan malahan menjadi bumerang untuk warga kecil. Jika berpikir secara linear, persoal