Arak: Penopang Ekonomi Warga Kecil
Saya
memulai tulisan kecil ini dengan sebuah sharing pribadi tentang situasi ekonomi
dalam keluarga saya. Keluarga saya adalah keluarga petani kampungan. Dari pagi
hingga sore, pasti di kebun. Lahan garapan berpindah-pindah, setahun sekali.
Hidup betul-betul sangat bergantung pada kebaikan dan kemurahan hati alam.
Keluarga petani, dengan pekerjaan sampingan mengiris tuak-marak. Sebutan “tuak”
karena rasanya asam kalau diminum. Sedang “marak” rasanya manis. Tuak akan
disuling dengan teknologi sederhana menjadi ARAK. Sedangkan marak kalau dimasak
menjadi “tnasu” (kalau masih kental) dan jika dipadatkan atau dikeringkan,
orang bilang “gula doko”, atau bahasa krennya “gula lontar”.
Semua
hasil penyadapan ini, kalau tidak dipakai habis dalam kebutuhan rumah tangga,
maka keluarga mencari jalan keluar untuk pergi menjualnya. Tempat penjualan
yang dapat dijangkau dengan jalan kaki saat itu adalah “Pasar Oka” di Oka atau
lebih dekat “Pasar Belo Bare” di Desa Sinar Hading, Kecamatan Lewolema,
sekarang. Tujuan penjualan hasil penyadapan lontar ini, jelas menyanggah ekonomi
dalam keluarga. Maklumlah, ekonomi keluarga kami, masih selaras alam.
Sharing
kecil saya di atas, kemudian saya membuat refleksi. Refeksi saya itu, saya
skemakan dalam sebuah tulisan mini ini, yang mungkin membantu kita semua untuk
memaknai kekayaan alam, baik itu hasil alam ala Flotim maupun hasil alam yang
lahir dari imajinasi dan diungkapkan melalui kreativitas orang dulu, yang
hingga sekarang menjadi budaya lokal Flores Timur (Flotim).
Kembali
pada sharing saya tadi. Herannya bahwa, saat itu tidak ada satu lembaga atau
orang-perorang yang melarang penjualan hasil penyadapan ini, termasuk ARAK dan
tuak. Mengapa? Apakah pola berpikir orang dulu belum terlalu maju? Ataukah telah
terjadi “perselingkuhan” antara si penjual dan si pembeli, sehingga sama rasa,
sama suka, sama enaknya? Tentu tidak! Yang ada saat itu adalah kearifan lokal
yaitu penggunaan tuak-ARAK, benar-benar sesuai dengan kebutuhan baik fisik
maupun budaya dan spiritual. Tidak ada orang yang berjalan terombang-ambing di
jalan karena minum tuak-ARAK. Mungkin ada tetapi itu orang gila, bukan gila
karena tuak-ARAK.
Tuak-Arak: Kreativitas
Nenek Moyang yang Hebat
Dari
mana nenek moyang, kita tahu bahwa pohon lontar itu menyimpan banyak kekayaan
yang terkandung didalam dirinya? Mungkin ini butuh ahli khusus yang membedahnya
melalui penelitian yang lebih ilmiah. Yang kita tahu dan paham saat ini adalah
bahwa nenek moyang kita, mampu menemukan harta karun yang begitu banyak yang
ada di dalam pohon lontar, yang mampu menyanggah hidup mereka, sesuai dengan
situasi mereka saat itu. Mungkin, “Rera Wulan Tanah Ekan”, menulis didalam hati
mereka bahwa pohon ini akan membantu kehidupan mereka sehingga mereka
beranak-binak memenuhi bumi Flotim.
Tuak-ARAK,
adalah hasil kreativitas nenek moyang yang hebat, mengapa? Ada dua hal dasar
yang boleh kita mengerti disini. Pertama, kreativitas nenek moyang
menciptakan sarana penyadapan seperti pisau, tangga naik untuk sampai pada pucuk
pohon lontar, batang bambu untuk menjadi tempat penyimpanan hasil sadapan, dan
keahlian dalam pemotong “uba” (batang
kecil yang keluar dari lontar jantan untuk keluarnya tuak-marak), dan alat
pembersih tempat penyimpanan tuak-marak. Keahlian nenek moyang ini, tidak ada
bandingnya karena air tuak-marak yang dihasilkan itu sangat-sangat bersih, dan
menyehatkan tubuh orang yang minum. Minuman alami seperti ini, hemat saya sudah
jarang ditemukan masa kini. Hasilnya apa, tubuh dan kesehatan nenek moyang
kita, jauh lebih kuat ketimbang generasi kita saat ini.
Kedua, kehebatan
nenek moyang dulu, tidak hanya sampai disitu. Mereka mampu menciptakan sarana
baru lagi, untuk mengubah tuak-marak menjadi sebuah hasil domestik Flotim yang
kita kenal sekarang “ARAK” dan “gula doko”. Saya bisa tahu sarana-sarana
pengubah tuak-marak ini, karena nenek moyang saya juga meneruskan kreativitas
ini kepada keluarga saya. Bapak saya adalah seorang petani, tetapi juga
penyadap lontar dan memproduksikan TUAK-ARAK. Sampai disini, kita boleh
bertanya sejenak dalam hati kita, apakah teknologi selaras alam Flotim ini,
sampai sekarang masih ada? Masih berlaku? Masih harus diteruskan oleh kita
generasi kontemporer ini? Mungkin sangat bijak bagi kita jika teknologi sederhana
hasil rekayasa nenek moyang kita dimasukan dalam sebuah hasil kebudayaan.
Karena itu, tugas kita semua perlu melestarikannya, dan untuk wakil-wakil
rakyat kita di DPRD, sangat perlu membuat PERDA untuk melindungi dan mungkin
mengusahakan supaya mempatenkan teknologi selaras alam ini sebagai harta budaya
warga Flotim.
Tuak-Arak: Pekerjaan
Sampingan Menunjang Pendidikan Anak
Ketika
saya tamat SD dan melanjutkan di SMP, kebetulan di Larantuka, saya baru tahu
bahwa saya disebut “anak belakang gunong”.
Saya tersontak, karena yang menyebut itu dengan logat, sinis. Tapi bagi saya,
tidak ada persoalan. Mengapa, saya harus jujur bahwa saya orang belakang
gunong, kalau dipandang dari Kota Larantuka. Kalau saya ada di kampung,
belakang gunong Mandiri, saya pun bisa katakan, mereka juga dari belakang
gunong. Iya...sama-sama belakang gunong, tergantung dari posisi mana, cara kita
memandang.
Tetapi
bukan ini yang saya maksudkan. Yang lebih mendasar dari itu adalah bahwa ketika
saya masuk SMP di Larantuka, satu kalimat yang keluar dari bibir bapak saya, “moe pana sekolah, a di hala, tuak-ARAK bisa
bantu moe”. Dalam perjalanan sekolah saya, ternyata hasil pekerjaan
sampingan (penyadap tuak-ARAK) mampu membantu proses pendidikan saya. Sesuatu
yang luar biasa sekali. Bibir orang belakang gunong, setia pada komitmennya
untuk meningkatkan proses pendidikan anaknya. Perjalanan yang luar biasa ini,
semakin menguatkan saya. Sehingga satu komitmen yang hadir dalam diri saya, walau
jatuh-bangun dalam melewati proses pendidikan, saya terus berusaha.
Menjadi
petani adalah pekerjaan yang mulia sekali. Dan pekerjaan sampingan, penyadap
lontar tidak kalah mulia. Karena mampu menghasil tuak-ARAK dengan teknologi
selaras alam Flotim. Bukan hanya itu, tetapi tuak-ARAK menjadi bermakna
spiritual dan budaya Lamaholot hingga saat ini. Satu hal yang saya mau tegaskan
disini adalah bahwa pekerjaan sampingan sebagai penyadap lontar, mampu
menyekolahkan anak-anak. Tidak gampang tetapi itulah sebuah kepastian yang saya
alami, mungkin ada banyak saudara-saudariku juga mengalami hingga saat ini.
Selain
itu, kerja sampingan, penyadap lontar suatu teknik kreatif orang tua untuk
menyanggah ekonomi dalam rumah tangga, jika hasil kebun tidak maksimal mereka
peroleh. Sebuah teknik kreativitas yang lahir dari diri sendiri, yang mampu
memanfaatkan alam sekitarnya. Jauh berbeda dengan teknik kreatif orang-orang
berpendidikan dewasa ini. Karena teknik kreatif orang berpendidikan, merekayasa
banyak hal untuk mengelabuhi banyak orang sehingga peluang untuk berbuat salah
secara sistemik, seperti korupsi semakin hari semakin merambat dalam negeri
ini. Mudah-mudah hal ini tidak terjadi di negeri saya, Flotim yang tahu tentang
Tuhan Yesus dan Bunda Maria.
Pohon Lontar
dalam Masa Kini
Di
kampung saya, Kawaliwu, Desa Sinar Hading, pohon lontar sudah mulai jarang ada.
Kalau ada pun, tidak terlalu banyak seperti saya lihat di masa kecil. Mengapa? Pohon
lontar yang sudah besar ditebang dan dibersihkan sebagai pengganti kayu untuk
membangun rumah. Kebutuhan akan bangunan ini, semakin hari semakin besar. Dan
jika pohon lontar itu tidak dilestarikan dewasa ini, satu saat akan punah.
Hilang. Dan kalau hilang, teknologi sederhana-yang selaras alam tadi pun, ikut
sirna, tidak berbekas lagi.
Refleksi
dari hal ini, mungkin satu usul yang lebih menarik yaitu wakil-wakil rakyat di
DPRD kita supaya membuat sebuah PERDA untuk melindungi pohon lontar dan
sekaligus melestarikannya dengan menanam kembali pohon-pohon lontar sehingga
jaringan kerja dan pelestarian teknologi selaras alam tadi, tetap terpelihara.
Dan hal ini menjadi lebih menarik lagi, jika bisa dieksposkan ketika para
wisatawan datang berkunjung ke wilayah Flotim. Sebuah budaya lokal, akan
menghasilkan devisa untuk pembangunan Flotim.
Bukan
hanya itu, hasil lain dari pohon lontar seperti seni mengayam dan lain-lain,
bisa mendatangkan ekonomi keluarga dan devisa pembangunan daerah Flotim. Semua
hal di atas tadi, hanya bisa dilakukan jika pemerintah dan wakil-wakil rakyat serta
warga berpikir secara bijak dan kreatif untuk membangun “Lewotanah tercinta”,
Flotim.
Ini
satu-dua refleksi saya, yang boleh dibaca dan boleh menjadi bahan refleksi bagi
siapapun lebih lanjut. Salam harmoni dari negeri diaspora. ***
Komentar