Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik
I.
Dokumen Resmi Gereja
Katolik Tentang Komunitas Basis Gerejawi:
A. Kitab Hukum Kanonik (KHK)
Ada dua kanon yang boleh kita kutip disini,
untuk mengindikasikan bahwa didalam kedua kanon ini tersirat ada gagasan
Komunitas Basis Gerejawi (KBG), “Paroki ialah komunitas kaum beriman
kristiani tertentu yang dibentuk secara tetap dalam Gereja partikular, yang
reksa pastoralnya, dibawah otoritas Uskup
diosesan, dipercayakan kepada Pastor Paroki sebagai gembalanya sendiri.”[1]
Melalui kanon ini kita menemukan
sekurang-kurangnya ada dua hal pokok. Pertama, bahwa paroki yang didirikan
berdasarkan orotitas Uskup diosesan[2]
dan reksa pastoralnya diserahkan kepada pastor paroki. Kedua,
bahwa umat kristiani yang ada didalam paroki terhimpun dari umat kristiani-umat
yang sudah dibaptis yang menetap dan tinggal didalam wilayah paroki tersebut.
Dalam pemahaman yang kedua inilah kita boleh mengerti lebih jauh bahwa umat
yang sudah dibaptis tinggal menyebar dan menetap secara tetap dalam wilayah
paroki itu hidup dalam ketetanggaan dan memiliki teritorial yang tetap pula.
Selanjutnya, kanon 515 di atas dikuatkan
dalam kanon berikutnya, yang menyebut dengan lebih jelas demikian. “Pada
umumnya paroki hendaknya bersifat teritorial, yakni mencakup semua orang
beriman kristiani wilayah tertentu; ...”[3]
Penegasan ini mau menyampaikan kepada kita bahwa tugas kegembalaan yang
dimiliki oleh pastor paroki, harus menjangkau kepada himpunan umat yang ada
didalam wilayah paroki, baik yang menetap didekat paroki maupun yang paling
jauh dan terpencil dari pusat paroki. Umat yang sudah dibaptis yang tinggal
menetap didalam wilayah paroki, dihimpun dalam kawanan kecil yang hidup
berdekatan-ketetanggaan membentuk sebuah Komunitas Basis Gerejawi (KBG).
Pembentukan ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam karya pelayanan baik doa,
katekese, Sharing Injil, merayakan Ekaristi, dan kegiatan sosial karitatif. Dengan
cara ini KBG dikembangkan pada lingkup tetangga yang berdekatan pada dasarnya
KBG melaksanakan pesan kanon ini, yaitu menghimpun umat beriman yang hidup
berdekatan dalam hidup sehari-hari, sehingga umat beriman itu merasa sebagai
bagian dari Gereja Universal.[4]
Pembentukan KBG merupakan tugas Pastor Paroki
yang berkaitan dengan pelayanannya[5]
dan merupakan hasil kerjasamanya dengan kaum awam yang dipercayakan kepadanya[6].
Dengan pembentukan KBG ini, umat kristiani yang sudah dibaptis-diinkorporasi
dengan Kristus[7]
mempunyai tugas dan hak yang sama yaitu membawa misi Kristus kepada dunia. Umat
kristiani yang hidup dalam KBG, akan diberdayakan untuk menyuarakan panggilan
setiap anggotanya untuk membangun Gereja melalui kekudusan yang ada padanya[8]
sehingga Kabar Gembira dapat sampai kepada semua orang[9].
Dengan begitu, KBG yang dibentuk itu menjadi sebuah komunitas misioner.
Kemampuan sebuah KBG yang misioner hanya dapat dilaksanakan jika KBG-KBG itu
“menjaga kesatuan dengan Gereja[10].”
Hal ini sangat mendasar mengingat membangun komunio harus menjadi karakter
dasar yang harus dimiliki setiap anggota KBG.
B. Konsili Vatikan II, khususnya dalam Dekrit Ad Gentes
Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja menyatakan: ”..., hendaknya para
misionaris, yang bekerja sama dengan Allah, membangun (komunitas-komunitas persekutuan) umat beriman sedemikian rupa, sehingga ...
mereka dengan pantas menunaikan tugas-tugas keimaman, kenabian dan rajawi, yang
oleh Allah dipercayakan kepada mereka. Begitulah komunitas kristiani menjadi
tanda kehadiran Allah di dunia” [11].
Kabar Gembira diwartakan sampai ke pelosok
dunia adalah tugas semua umat kristiani, terutama kepada mereka yang telah
dipanggil secara khusus untuk menjadi duta-duta Allah, para misionaris. Para
misionaris yang bekerja di tanah misi bekerjasama dengan Allah membagun paroki
yang dipercayakan Uskup diosesan kepadanya berusaha untuk membangun umat
beriman kristiani dalam komunitas-komunitas kecil secara teritorial didalam
paroki.
Komunitas-komunitas teritorial itu dinamakan
Komunitas Basis Gerejawi (KBG). KBG-KBG yang dibangun merupakan bagian yang
terikat erat dengan paroki. Komunio KBG dengan paroki, Gereja partikular memiliki
konsekuensi logis memberdayakan anggota KBG sehingga KBG-KBG itu memiliki
kemampuan untuk menjalankan tugas keimaman, kenabian, dan rajawi. Dengan
menjalankan tugas Kristus ini, KBG-KBG menjadi tanda kehadiran Allah yang
sangat dekat dengan masyarakat setempat.
C.
Ensiklik Redemptoris Missio (RM) dari Yohanes Paulus II
Yohanes Paulus dengan jelas mendefinikan KBG
sebagai berikut. ”Komunitas-komunitas Basis Gerejawi merupakan tanda
adanya daya di dalam kehidupan Gereja, suatu sarana pembinaan dan penginjilan,
dan suatu titik pangkal yang kokoh bagi suatu masyarakat baru yang dilandaskan
pada ”peradaban cinta”. Komunitas-komunitas ini
mendesentralisasikan dan mengatur komunitas paroki; pada paroki itulah mereka senantiasa menyatukan diri ... Di dalam
komunitas-komunitas basis, orang kristen secara pribadi mengalami kebersamaan
dan karena itu merasakan bahwa ia sedang memainkan suatu peranan yang aktif dan
didorong untuk ikut ambil bagian dalam tugas bersama... Pada saat yang sama, karena dilengkapi dengan
cinta Kristus, mereka juga memperlihatkan bagaimana perpecahan-perpecahan,
masalah kesukuan, dan rasialisme yang dapat diatasi.” [12]
Definisi KBG yang diberikan kepada kita ini,
termaktup didalamnya beberapa hal pokok tentang KBG itu sendiri. Pertama,
KBG sebagai tanda adanya daya di dalam kehidupan Gereja. Bahwa KBG merupakan
kekuatan kehidupan Gereja Paroki, dimana dalam KBG itu setiap umat beriman yang
sudah dibaptis berpartisipasi membangun Gereja melalui kharisma-kharisma yang
dimilikinya. Kedua, KBG adalah basis pemberdayaan anggota. Setiap
anggota KBG diberdayakan melalui katekese, Sharing Injil, kotbah, dan
pelatihan-pelatihan, sehingga mentalitas persekutuan antar anggota KBG dengan
anggota KBG lain dan dengan paroki, menjadi persekutuan Gereja.
Ketiga, KBG sebagai basis Gereja setempat. Bahwa KBG adalah wujudnyata
Gereja yang nampak dekat dengan masyarakat setempat, karena setiap anggota KBG adalah
anggota masyarakat, yang bersama-sama melaksanakan aksi nyata – misi Kristus,
yang berlandas pada peradaban cinta. Keempat, KBG sebagai basis
membangun communio-basis pewartaan. Bahwa anggota KBG bukan hanya seragam-homogen.
Anggota KBG berbeda-beda, heterogen baik asal usul, suku, budaya, ras, pola
pikir, dan lain-lain. Semua anggota KBG dipersatukan dalam Kristus melalui
pembaptisan. Karena itu, keanekaragaman ini selalu diberdayakan untuk menjadi
sebuah persatuan yang kuat dan utuh, dengan berpedoman pada model persekutuan
Trinitaris. Sehingga segala perselisihan, perpecahan dan persoalan didalam KBG
dapat diatasi dengan beralas pada cinta Kristus atau nilai-nilai kristiani.
D.
Amanat Apostolik Familiaris Consortio dari Yohanes Paulus
II.
”Bagi mereka yang tidak
mempunyai keluarga dalam arti biasa, pintu Keluarga Besar yakni Gereja, harus
terbuka makin lebar. Gereja yang dimaksudkan adalah Gereja yang menemukan
perwujudan konkret dalam keluarga keuskupan dan paroki, dalam
komunitas-komunitas basis gerejawi dan dalam gerakan kerasulannya. Tidak seorang pun
di dunia ini tanpa keluarga. Gerejalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa
saja, khususnya bagi mereka yang “letih lesu dan berbeban berat.”[13]
Memahami maksud Yohanes Paulus II ini,
terindikasi bahwa bagi umat kristiani bahkan bagi siapapun juga, baik yang
pengembara, perantau, pindahan karena berbagai hal, maka KBG-KBG akan menjadi
keluarga dan rumah tangga bagi mereka. KBG-KBG menerima dan menampung mereka.
Bahkan mereka diajak untuk mengenal anggota-anggota KBG serta umat separoki dengan
lebih dekat. Sehingga persaudaraan yang telah dibangun di dalam KBG-KBG, mereka
pun merasakan dan mengalami sebagai satu umat Allah yang sedang berziarah
menuju Bapa.
E.
Sidang Paripurna Kelima Konferensi Para Waligereja Asia (FABC), Bandung 1990:
”Gereja Asia hendaknya
menjadi suatu persekutuan antar komunitas (persekutuan paguyuban-paguyuban),
dimana kaum awam, biarawan-biarawati, dan imam saling mengakui dan menerima
sebagai saudari dan saudara. Bersama-sama, mereka dipanggil oleh Sabda Allah yang
dianggap setara dengan kehadiran sakramen dari Tuhan yang bangkit, mendorong mereka untuk membentuk Komunitas Basis
Gerejawi (misalnya: kelompok-kelompok selingkungan, komunitas-komunitas basis
gerejawi dan komunitas-komunitas yang memiliki komitmen untuk melakukan
kegiatan atau pelayanan tertentu (covenant).
Di dalamnya, bersama-sama mereka berdoa dan men-sharing-kan Injil Yesus, mengamalkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari
seraya saling mendukung dan bekerja sama, serta dipersatukan ”dalam sehati dan
sepikiran.”[14]
Konferensi para Uskup Asia di Bandung
mengetengahkan beberapa hal pokok, antara lain: semua umat beriman (kaum awam
dan kaum tertahbis, biarawan-biarawati) setara, saudara-saudari karena rahmat
pembaptisan. Karena itu dipanggil Allah untuk mewartakan Kabar Sukacita. Dalam
tugas ini mereka mempunyai hak yang sama. Hal ini yang harus ditegaskan-diutamakan
dulu, setelah itu baru melihat perbedaan jabatan berdasarkan sakramen-sakramen
yang lain.
Selain itu, para uskup menegaskan bahwa
Gereja adalah communio of communities. Gereja dibangun berdasarkan
persekutuan antar komunitas-komunitas. Gereja Paroki yang adalah wujud
teritorial yang dekat dengan umat beriman dibangun juga berdasarkan persekutuan
antar komunitas-komunitas baik komunitas basis maupun kelompok kategorial.
Didalam komunitas-komunitas dan kelompok kategorial itu dilaksanakan doa-doa
bersama, Sharing Injil, melaksanakan aksi nyata bersama, dan terus menerus
membangun persekutuan.
F. Musyawarah Konferensi
Para Wali Gereja Afrika Timur (AMECEA), 1979.
”Komunitas-komunitas
gerejawi yang sedang kita bangun merupakan penjelmaan (inkarnasi) yang bersifat sangat lokal dari Gereja yang satu, kudus,
katolik dan apostolik. ”Komunitas-komunitas Basis Gerejawi” adalah sarana
dimana Gereja dapat dihadirkan dan masuk ke dalam kehidupan nyata dan
keprihatinan umat dimana mereka sungguh-sungguh hidup. Di dalam diri mereka,
Gereja mendarah daging dalam berbagai situasi kehidupan manusia.”[15]
Wujudnyata Gereja yang konkrit adalah KBG.
KBG adalah inkarnasi Allah. Allah masuk didalamnya dan menjadi nyata didalam
Gereja, sehingga Gereja menjadi nampak dalam diri umat. Karena itu KBG-KBG yang
telah dibentuk dan diberdayakan menjadi sebuah Gereja yang hidup, yang mampu
merasakan kehidupan riil anggota, sehingga Gereja berakar didalam situasi hidup
manusia. Sehingga wajah umat adalah wajah KBG. Wajah KBG adalah wujudnyata
wajah paroki, dan wajah paroki adalah wajah sebuah keuskupan.
II. Catatan Kritis Atas Beberapa Dokumen Resmi Gereja Katolik Tentang
KBG:
1. KBG tidak dirumuskan dengan lebih jelas didalam Kitab Hukum
Kanonik (KHK) Gereja Katolik. KHK menyebut Paroki sebagai himpunan umat beriman
kristiani-umat yang sudah dibaptis. Harus diakui bahwa secara implisit gagasan
KBG tidak kita temukan secara jelas didalam KHK. Namun, secara eksplisit, kita
memahami lagi bahwa ‘umat beriman kristiani’ yang sudah dibaptis yang tinggal
menyebar dan menetap baik yang dekat dengan pusat paroki maupun yang paling
jauh dari pusat paroki, mereka hidup dalam teritorial dan bertetangga. Mereka
hidup berdekatan satu sama lain. Mereka saling kenal satu sama lain. Mereka ini
dihimpunan menjadi satu KBG berdasarkan ketetanggaan tadi. Sehingga prinsip
wajah Paroki yang baru adalah communion of communities.
2. KBG yang dibentuk merupakan hasil kerjasama Pastor Paroki dengan
umat beriman kristiani yang dipercayakan kepadanya. KBG bukan dibentuk karena
kemauan umat semata-mata atau hanya Pastor Paroki saja. Pembentukan KBG-KBG
dalam sebuah Paroki akan membantu karya pelayanan Pastor Paroki. Jika pastor
berhalangan karena tugas-tugas lain dan karena tidak kuat lagi secara fisik
untuk menjangkau umat yang tinggal di tempat terpencil, maka tugas pemberdayaan
KBG dipercayakan kepada beberapa umat yang dipilih dan menjadi penerus
pewartaan Kabar Gembira melalui doa-doa, katekese dan Sharing Injil.
3. Berdasarkan Dokumen Konsili Vatikan II, RM, FC, FABC 1990 dan
AMECEA, pengerti KBG dengan jelas ditampilkan. KBG yang sudah dibentuk, tidak
bisa dibiarkan saja untuk memperjuangkan hidupnya sendiri. KBG harus terus
menerus diberdayakan sehingga selalu berkomunio dengan Paroki. KBG-KBG memiliki
keterkaitan erat dengan Paroki, wujudnyata Gereja Partikular. KBG terus menerus
diberdayakan sehingga menjadi sebuah KBG yang menjadi basis Gereja setempat,
basis masyarakat setempat, basis pemberdayaan, dan basis misi Gereja.
III. Referensi:
Konferensi Waligereja Indonesia, Kitab
Hukum Kanonik-Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Jakarta, 2006.
R.
Hardawiryana, (penerj.), Dekret Ad Gentes, dalam Konsili Vatikan II, Dokpen
KWI-Obor: Jakarta, 1992.
_____________,
Dokumen Sidang-sidang Federasi Konferensi-konferensi Para Uskup Asian, 1970-1991,
Seri Dokumentasi FABC No. 1, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI,
Jakarta, Agustus, 1995.
Biro
Penerbit Propinsi SVD Ende, di Nita, Modul B/3: Mengapa Komunitas
Basis Gerejawi, Maumere-Flores: Lembaga Pembentukan
Berlanjut Arnold Janssen, 2000.
Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris
Missio (RM), Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta: 1990.
_______________, Familiaris Consortio
(FC), Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta: 1981.
AFER, Vol. 21, hal. 265-266.
RD. Frans Mukin, Teologi Pastoral Di
Balik Komunitas Basis - terjemahan Pastoral Theological Seminar On
Small Christian Communities, Baan Phu Waan Pastoral Training Centre Sampran
Thailand, 31 Oktober-30 Novemver 2011,
[1] KHK 515.
[2] KHK 515 § 2
[3] KHK 518.
[4] RD. Frans Mukin, Teologi Pastoral Di Balik Komunitas
Basis-terjemahan Pastoral Theological Seminar On Small Christian
Communities, Baan Phu Waan Pastoral Training Centre Sampran Thailand, 31
Oktober-30 Novemver 2011, p. 12-13.
[5] KHK 528.
[6] KHK 529.
[7] KHK 204 § 1.
[8] KHK 210.
[9] KHK 211.
[10] KHK 209 § 1.
[11] AG 15.
[12] RM 51.
[13] FC 85 dan Mat. 11: 28.
[14] FABC No. 1, art. 1.1.-1.2, p. 451-452.
[15] AFER, vol. 21, hal. 265-266.
Komentar