AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL
Catatan kecil ini dibuat oleh
Alfons Liwun dari Pengantar RD. Frans Mukin
pada pelatihan fasilitator
KBG-KBG Paroki Regina Pacis-Tanjungpandan
Negeri Lansakar Pelangi,
11 September 2014
A. AsIPA-PIPA
AsIPA
sebenarnya adalah sebuah metode pengembangan KBG yang berkonteks Asia.
Modul-modul AsIPA ini sangat sederhana. Karena sederhana maka dapat digunakan
di negara mana pun di Asia ini, termasuk Indonesia. Bahkan modul-modul ini
sudah dikenal secara internasional. AsIPA, kepanjangan dari Asian Integral Pastoral Approach.
Penekanan AsIPA ialah pada ‘integral’. Mengapa? Karena di Asia ini ada banyak
situasi yang sama yang dialami oleh tiap-tiap negara. Juga di setiap negara di
Asia ini terdapat banyak agama dan budaya, didalamnya hidup dan terintegrasi
didalam suatu masyarakat dalam sebuah negara. Karena itu untuk memajukan
semuanya ini harus harus dicari sebuah ‘jalan baru’, sebuah jalan yang ditempuh
dalam berkarya, jalan baru itu disebut pastoral secara terpadu-integral.
Sejak sinode
II Keuskupan Pangkalpinang, bahan-bahan AsIPA yang dipakai di Asia, juga
dipakai di keuskupan kita. AsIPA untuk nama di Asia sedangkan dalam konteks
keuskupan kita dinamakan PIPA (Pangkalpinang Integral Pastoral Approach).
Bahannya ambil dari AsIPA dan disusun berdasarkan konteks Keuskupan
Pangkalpinang. Bahan-bahan ini dalam bentuk modul. Bahan-bahan ini pun sebagai
bahan dasar pembekalan fasilitator untuk pengembangan KBG. Mereka yang menjadi
fasilitator di KBG, modul-modul ini wajib untuk didalami bersama. Sehingga para
fasilitator akan menjadi ‘penyalur’-pipa-pipa yang mampu menyalurkan untuk
hidup KBG dan anggota KBG itu sendiri.
B. KBG-Sharing Injil
Membangun KBG
tidak gampang. Sulit. Walaupun demikian, hasil Sinode II telah menyepakati
bahwa dalam misi yang telah dirumuskan, KBG merupakan fokus utama pengembangan
menjadi Gereja Partisipatif. Karena itu kelompok-kelompok kita saat ini harus
dikembangkan menjadi sebuah KBG. Pengembangan KBG mengarah pada tiga bintang
yaitu: berpusat pada Kristus, membangun
komunio, dan melaksanakan misi-Kerajaan Allah.
Dalam KBG, kelompok
kecil yang paling dasar ialah keluarga. Kenyataan mencerminkan bahwa ada banyak
keluarga kita yang tidak semua anggotanya katolik. Ada beragam-ragam agama dan
kepercayaannya didalam sebuah keluarga. Syukur-syukurlah bahwa dalam satu
keluarga semua anggotanya katolik. Ini pun tidak banyak.
Namun, yang
katolik tidak bisa diam. Yang katolik harus berbuat sesuatu untuk anggota
keluarganya walaupun anggota keluarganya bukan katolik. Dalam kenyataan ini pun
rupanya tidak mudah. Memang harus diakui bahwa keluarga dan bahkan KBG kita
kini mengalami perubahan yang cukup signifikan akibat modernitas globalisasi
dewasa ini. Dimana pengaruh-pengaruh ini membuat anggota keluarga kita ‘tidak
lagi mengalami kebersamaan’ dalam keluarga. Ada banyak anggota keluarga kita
yang walaupun satu keluarga tetapi selalu saja memiliki agenda keluarga yang
berbeda-beda. Sehingga susah sekali mengalami kebersamaan dalam keluarga
sebagai agenda utama. Justru hal ini akan berdampak juga dalam KBG. Kebersamaan
dan persekutuan hidup dalam KBG akan menjadi kesulitan.
Walaupun
sulit, perlu kita pahami bahwa Gereja Partisipatif memberi gambaran mengenai
perilaku saling berbagi dan saling memberi kontribusi untuk kepentingan
bersama. Bila perilaku saling berbagi dihayati dengan baik, maka gaya hidup
individualistik yang dalam banyak hal merupakan produk modernitas, dapat
diminimalisir. Perilaku saling berbagi, melahirkan rasa kebersamaan yang
tinggi, dan itu menjadi modal untuk mewujudkan Tugas Perutusan Gereja,
sebagaimana dikehendaki oleh Kristus sendiri. Gereja dibangun dan diutus untuk
mewartakan Kabar Sukacita, dan ini merupakan perutusan yang penting tetapi
sekaligus tidak mudah. Perutusan ini mustahil dijalankan oleh satu atau
segelintir orang, ia hanya bisa sukses kalau banyak orang berpartisipasi dan
memberikan kontribusi yang nyata.
Gereja Partisipatif yang membuka peluang
kepada banyak anggota bekerjasama dan berpartisipasi dalam pelbagai program dan
agenda diyakini bisa menciptakan apa yang dinamakan Christian Enviroment, ‘Lingkungan’ (dibaca : suasana) Kristiani,
yang ditandai dengan relasi sosial yang sehat dan menyenangkan, di semua
bidang, misalnya Keluarga, Sekolah, Rumah Sakit, Biara, Organisasi, dan sebagainya.
Suasana Kristiani ini menjamin terlaksananya Pekerjaan Perutusan atau Misi
Gereja.
KBG bukan sebuah Kelompok di dalam
Gereja, ia adalah Gereja itu sendiri, meskipun di tatanan akar rumput. Sebagai
Gereja, para anggotanya berkumpul dalam Nama Tuhan, dan menjadikan kehidupannya
berpusat pada Kristus, melalui perayaan-perayaan Sakramen dan Sabda Tuhan yang
dibaca dan direfleksikan bersama.
Mengingat KBG adalah cara untuk mencapai
Gereja Partisipatif, maka upaya untuk membangun partisipasi harus dijalankan
secara efisien di dalam setiap KBG. Semua agenda yang dirancang di dalam KBG
dimaksudkan untuk membuat para anggotanya belajar tentang partisipasi,
mempraktekkannya, dan menjadikannya sebagai kebutuhan. Lebih mudah belajar
mempraktekkan partisipasi di dalam ruang lingkup kecil seperti KBG ketimbang di
dalam ruang lingkup sebesar Paroki.
Tantangan yang senantiasa ada ialah
tidak mudah membangun partisipasi, apalagi di dalam konteks perkembangan dunia
moderen yang membuat orang kebanyakan lebih tertarik hidup bagi dirinya
sendiri. KBG sudah menjadi semacam ‘sekolah’ untuk belajar mempraktekkan
perilaku partisipasi. Namun harus diakui bahwa untuk sampai kepada penghayatan
semangat partisipasi yang baik butuh waktu dan usaha yang berkesinambungan.
Salah satu jalan yang ditempuh agar
warga KBG sungguh dapat belajar mempraktekkan partisipasi dalam konteks
kehidupan bersama sebagai Gereja adalah pelaksanaan Sharing Injil. Melalui
Sharing Injil, anggota KBG mendapatkan inspirasi yang mendorong mereka
melakukan aksi-aksi nyata yang dengannya partisipasi dibangun. Partisipasi
dipraktekkan atau dilaksanakan melalui pelbagai aksi dan program. Apa yang
diperoleh dari Sabda Allah itu adalah yang menjadi inspirasi untuk mendorong
kepada kerelaan melaksanakan aksi bersama. Berbekal dari pesan-pesan teks Kitab
Suci, para anggota KBG diharapkan sampai kepada keyakinan bahwa apa yang hendak
mereka lakukan sebagai aksi nyata adalah karena Kristus menghendakinya.
KBG sebagai Gereja yang sesungguhnya
tidak bisa hidup tanpa berpusat pada Kristus, mengingat Kristus adalah Kepala
Spiritual setiap KBG. Apapun yang dijalankan di dalam KBG ditegaskan sebagai
pelaksanaan amanat yang diberikan Kristus sebagai Kepala. Untuk itu, semua
agenda pengembangan KBG senantiasa menempatkan Sabda Tuhan sebagai modal dan
kekuatannya. Itulah alasannya mengapa Sharing Injil ditetapkan sebagai agenda utama
KBG yang dilaksanakan sekali setiap Minggu. Di dalam setiap Sharing Injil,
dimana Alkitab yang terbuka ditempatkan di tengah, Kristus hadir dan
mempersatukan para anggota di sekeliling-Nya. Refleksi dan sharing selama
Sharing Injil menjadi moment dimana setiap anggota berjumpa secara rohani
dengan Kristus dan mendengarkan pesan-pesan-Nya untuk dilaksanakan.
Metode Sharing Injil misalnya Metode
Tujuh Langkah, dikemas sedemikian rupa untuk memungkinkan para anggota berjumpa
dengan Kristus, terutama melalui ayat-ayat yang dipetik, lalu dijadikan sebagai
mutiara bagi kehidupan. Di balik ayat-ayat itulah pesan Kristus tersembunyi dan
siap untuk diambil untuk dilaksanakan, atau diambil untuk menjadi inspirasi dan
motivasi bagi pelaksanaan semua aksi nyata yang direncanakan nanti. Tidak ada
inspirasi lain yang lebih sempurna untuk mendorong kepada pelaksanaan aksi atau
agenda KBG selain Sabda Tuhan sendiri. Apapun yang hendak dijalankan sebagai
program, harus mendapat inspirasi dari Kristus sendiri, sehingga dijamin bahwa
rencana aksi yang sudah disepakati bisa terwujud.
Sasaran Sharing Injil adalah pertemuan
pribadi dengan Kristus. Bila orang secara pribadi berjumpa dengan Kristus
melalui ayat-ayat yang dipilih, maka diyakini bahwa Kristus memberi pesan
kepadanya untuk sesuatu yang hendak dikerjakan, atau Kristus mengingatkan dia
untuk sesuatu yang harus menjadi perhatiannya. Oleh karena itu Sharing Injil
harus dipelajari dengan baik, dan dijalankan dengan baik juga, sehingga menjadi
kesempatan bagi para anggota KBG berjumpa secara pribadi. Tanpa perjumpaan
pribadi dengan Kristus, Sharing Injil menjadi tak bermakna dan membosankan, dan
lalu tidak mendorong kepada pelaksanaan aksi nyata yang direncanakan.
Apa yang ditegaskan di atas tadi, pada
akhirnya membawa kepada peranan para fasilitator Sharing Injil. Setiap
fasilitator yang bertugas memimpin Sharing Injil harus menyiapkan diri secara
memadai. Mereka berperanan membuat Sharing Injil sungguh menjadi moment dimana
peserta sharing pada akhirnya secara pribadi dengan Kristus. Itulah alasannya
mengapa calon fasilitator harus melewati semua tahapan pelajaran, misalnya
melalui seminar atau proses pelatihan dengan modul-modul AsIPA, untuk membuat
mereka mampu memimpin Sharing Injil dengan baik. Para fasilitator harus
menyadari dengan baik bahwa Sharing Injil yang dilaksanakan mempunyai target
penting, yakni perjumpaan pribadi para peserta dengan Kristus, sehingga Kristus
sendiri yang pada akhirnya memberi inspirasi kepada semua untuk suatu tugas
atau aksi nyata tertentu. Tanpa perjumpaan tersebut, Sharing Injil menjadi
tidak menarik dan membosankan, dan lalu tidak memberi kontribusi untuk
membangun kerjasama dan semangat partisipasi.
Bila ditanyakan apa korelasi antara
Sharing Injil dan Gereja Partisipatif, maka jawabannya ialah seperti yang telah
diuraikan diatas. Gereja Partisipatif dibangun bermodalkan pesan Kristus yang
diperoleh di dalam Sharing Injil. Di dalam ayat-ayat dari teks Kitab Suci yang
dipetik terdapat pesan Kristus. Refleksi terhadap ayat-ayat yang dipilih dalam
keheningan Sharing Injil tersebut membawa peserta kepada perjumpaan pribadi
dengan Kristus. Dalam perjumpaan rohani itulah kita bisa menangkap apa yang
Kristus katakan, juga apa yang Kristus ingatkan. Inilah modal untuk menjalankan
aksi nyata, dan kita yakin bahwa aksi nyata demi aksi nyata yang dijalankan
bersama-sama cepat atau lambat akan membangun kebersamaan dan partisipasi.
Gereja Partisipasi terwujud melalui proses ini.
C. Modul AsIPA dan Makna Warna Cover
Modul:
1.
Modul A berisi tentang Sharing
Injil, dengan sampul luar berwarna kuning. Warna kuning memiliki arti emas,
kekayaan. Dalam hubungan dengan Sharing Injil, warna kuning bermakna kemuliaan
Sabda Allah. Ketika KBG memakai Sharing Injil untuk sebuah pertemuannya di KBG,
maka KBG itu semakin hari semakin bertumbuh lebih baik, karena KBG memuliakan
Sabda Allah, semakin hari hidupnya semakin disempurnakan oleh Kristus. Karena
Sabda Allah menjadi dasar hidupnya.
2.
Modul B berisi tentang
Komunitas Basis Gerejawi. Sampul luarnya berwarna biru. Biru warna melambang laut
di Asia. Biru bermakna perjuangan. Membangun KBG tidak gampang. Membangun KBG
membutuhkan proses yang terus menerus diperjuangkan oleh setiap anggota KBG.
Dalam proses perjuangan itu KBG menjadikan Kitab Suci sebagai pusatnya, dan
sarana yang dipakai KBG untuk tetap berpusat pada Sabda Allah ialah Sharing
Injil.
3.
Modul C berisi tentang
Gereja Partisipatif, dengan cover luar berwarna merah muda. Warna merah mudah bermakna
cinta kasih. Dalam KBG setiap anggotanya berjuang untuk mengalami cinta kasih.
Karena Sharing Injil yang dipakainya untuk tetap berpusat pada Kristus. Anggota
KBG akan mendapat apa yang disebut ‘power
of love’. Tanpa hal ini KBG tidak akan memperoleh kekuatan cinta ini, maka
tidaklah heran, KBG akan selalu gagal dalam melaksana aksi nyata, dan endingnya
Gereja Partisipasi yang dicita-citakan itu, tidak pernah terwujud. Karena
anggota KBG-nya selalu berjalan sendiri-sendiri.
4.
Modul D berisi tentang
pemberdayaan skill-kepemimpinan dalam KBG. Warna cover luar modul D ialah
hijau. Makna warna hijau ialah pertumbuhan, belajar tanpa henti. Maka pemimpin
di KBG harus belajar terus tanpa henti supaya baik pemimpinnya maupun KBGnya
tetap tumbuh dalam Kristus dan mewarnai persekutuan dan persaudaraan didalam
KBG-nya.
*) sebuah
pengantar dalam pembukaan pelatihan fasilitator
KBG Paroki
Tanjungpandan Belitung, 11 September 2014
Komentar