Promosi Komunitas Basis Basis dan Fasilitator
sebuah sharing pengalaman pribadi
A.
Pengantar
Ada dua bagian pokok yang dibahas pada
topik ini, yaitu Komunitas Basis Gerejawi (KBG) dan fasilitator yang menjadi
ujung tombak di dalam KBG. Kedua topik ini akan dibahas secara sederhana
dibawah ini, untuk membantu kita melihat situasi riil KBG kita saat ini dan
sekaligus mengajak kita yang selalu terlibat dalam KBG tersebut sebagai seorang
fasilitator.
Jujur bahwa kedua topik ini tidak
dibahas secara ilmiah, tetapi dibahas berdasarkan sharing pengalaman yang saya
alami sendiri baik di KBG-KBG di Paroki tempat saya bekerja, dan juga di KBG
saya, dimana saya hidup dan beraktivitas didalamnya. Karena berdasarkan
pengalaman pribadi dan kemudian terhubungan dengan makna sebuah pengetahuan
awal, maka perlu juga didiskusikan lebih lanjut dalam pertemuan kita kali ini.
Ijinkanlah saya untuk beberapa waktu ini
mensharing pengalaman saya ini. Dan sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih
yang berlimpah, atas kesediaan waktu kita semua untuk mengikuti dan diskusi
lebih lanjut soal kedua topik ini.
B.
Istilah-Istilah
KBG
Sidang Agung Gereja Katolik 2000 KBG
sudah dibahas dengan baik. Namun ketika diimplementasikan di setiap keuskupan
di Indonesia, ada banyak keuskupan tidak banyak mengalami perubahan yang
dahsyat. Orang masih berkotak-katik hanya pada tataran sebutan. Kita bisa
membayangkan saja, sebutan nama kelompok atau KBG saja masih dipersoalkan,
bagaimana mau menjalankan KBG sesungguhnya? Rasanya sangat sulit sekali.
Menarik bagi saya ketika pertemuan
Komisi Kateketik KWI, bulan Mei 2013 di
Aula Paroki Kare, Makasar, bukti bahwa orang berkotak-katik soal sebutan
atau istilah itu masih muncul. Sehingga pada kesempatan itu, RP. F.X. Adi
Susanto, SJ mengajak para peserta dari setiap keuskupan untuk tidak lagi
melihat KBG sebagai sebuah istilah atau sebutan dalam pertemuan itu, tetapi
lebih pada isi dan makna yang jauh lebih dalam dari sebatas istilah, sehingga
ketika pulang ke keuskupan masing-masing, KBG dapat didorong untuk menjalankan
fungsi Gereja Universal secara nyata.
Dalam diskusi perkelompok, saya baru
tahu bahwa hampir di setiap keuskupan di Indonesia, menyebut istilah-istilah
KBG dengan beragam sebutan.
1.Komunitas Basis (KomBas): untuk wilayah Gerejawi
keuskupan-keuskupan di Irian / Papua.
2.Komunitas Basis Gerejani (KBG): untuk wilayah Gerejawi keuskupan Maumere, Ende,
Ruteng, Wetebula, Kupang dan Denpasar.
3.Komunitas Basis Gerejawi (KBG): untuk wilayah Gerejawi keuskupan Pangkalpinang, Keuskupan
Agung Pontianak dan Keuskupan Bandung.
4.Umat Basis (UB): untuk wilayah Gerejawi
Keuskupan Larantuka.
5.Lima Warga
(MaWar): untuk wilayah Gerejawi Tanjung Karang.
6.Lingkungan
/ Kring: untuk wilayah Gerejawi Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Jakarta
dan Keuskupan Palangkaraya.
7.Jemaat
Basis Kristen (JBK), Jemaat Kristen Basis
(JKB) dan Komunitas Kecil Kristen (KKK), istilah-istilah
ini akan kita jumpai dalam berbagai sumber buku atau pun dalam media jejaring
sosial seperti internet.
Dalam
istilah-istilah bahasa asing KBG disebut dengan ‘Small Christian
Communities (SCCs)’. Singkatan ini
sering kita jumpa dalam teks-teks modul atau bahan pertemuan AsIPA (Asian
Integral Pastoral Approach). Ada juga menyebutnya, Basic Ecclesial Communities
(BECs), ini kita jumpai dalam teks-teks atau bahan pemberdayaan fasilitator di
institut Lumko, di Johannesburg, Afrika Selatan. Pengalaman hidup KBG di Afrika
Selatan ini memunculkan apa yang sering disebut: Black Theologi (Teologi Hitam)
dan pengalaman yang sama ini diteruskan di negara Philipina sehingga kita
mengenal: People Power (Kekuatan Rakyat).
Sedangkan
negara-negara lain dimana KBG tumbuh subur, KBG dikenal dengan istilah: Basic
Christian Communities (BCCs). Istilah ini muncul negara-negara Amerika Latin.
Maka dari sana sering dikenal dengan Buffalo Theologi (Teologi Kerbau) dan
Liberation of Theologi (Teologi Pembebasan).
Dari sekian
istilah ini, sebenarnya merujuk pada satu komunitas Katolik yang berada di
basis dalam suatu paroki dan dalam hubungan yang lebih luas yaitu di dalam
basis suatu masyarakat tertentu.
C.
Komunitas Basis
Gerejawi
Bagian ini semacam review kecil yang mau
menyedot makna yang mendalam dari ketiga kata ini: komunitas, basis, dan
gerejawi.
1.
Komunitas
(communion):
a.Kata
‘komunitas’ berasal dari sebuah kata Latin: communio, yang artinya persekutuan.
Maka yang dimaksudkan dengan ‘persekutuan’ disini ialah persekutuan antar
anggota, bukan sekedar harmonis tapi partisipasi atau ambil bagian dalam satu
hal yang satu dan sama. Dengan begitu, penekanannya terletak pada ‘partisipasi’
sehingga partisipasi anggota komunitas menjadi semangat utama dalam persekutuan
tersebut.
b.Pemahaman
kata ‘komunitas’ berdasarkan proses pembentukan kata itu sendiri.
§ Komunitas dari kata Latin ‘cum – munire.
Kata ‘cum’ artinya bersama, sedangkan kata ‘munire’ artinya saling memperkuat,
saling meneguhkan, dan saling memperkaya satu sama lain. Berdasarkan arti
kata-kata ini maka penekanannya pada ‘relasi antar anggota komunitas. Bahwa
relasi atau hubungan antar anggota komunitas adalah sebuah relasi antar anggota
secara timbal balik yang positif - yang saling meneguhkan satu sama lain.
§ Komunitas juga dibentuk dari kata ‘cum – unire.
Kata ‘unire’ artinya ‘mempersatukan’ atau ‘membuat satu.’ Dari kata-kata
ini dapat dimengerti bahwa komunitas menunjukan pada kehidupan bersama yang
bersatu dan mempersatukan. Dan penekanan kata komunitas ini ialah pada anggota
komunitas. Bahwa anggota komunitasnya berasal dari Rukun Tetangga (RT) dan
bersaudara secara baik.
§ Masih satu lagi, kata komunitas terdiri dari kata
‘cum – unus - tas. Kata ‘unus’ artinya ‘satu’. Kata
‘tas’ ialah sebuah kata akhiran yang memiliki aspek abstrak. Tidak bisa
didefinisikan artinya. Jika disandingkan kata komunitas ini dalam MGP No. 198,
hasil sinode II kita maka komunitas, dari kata ‘cum’ dan unio, artinya:
bersama-sama membentuk kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan. Maka komunitas
adalah satu kesatuan umat oleh ikatan kebersamaan karena ada unsur tertentu
yang mengikat. Penekanannya pada ‘unsur pengikat’. Maka disini unsur
pengikatnya ialah ‘iman’ atau ‘teritori’(ketetanggaan).
2.
Basis (basic):
Kata basis sama dengan kata dasar,
landasan, ‘akar rumput’, fundamen, dan unsur yang paling hakiki. Paham ini
menjurus pada ‘sehimpunan orang dalam jumlah relatif kecil (Sinode I: 7-15 KK
dan Sinode II: 15-20 KK), supaya mudah diorganisir dan pelibatan diri
dimungkinkan.’
Kalau kata basis digabungan dengan
komunitas maka menjadi ‘Komunitas Basis’. Sebutan ‘Komunitas Basis’, untuk umum
suatu masyarakat. Artinya pada suatu masyarakat tertentu dengan latar belakang
hidup yang berbeda pun, mereka tahu ‘komunitas basis’. Tetapi untuk wilayah
Gerejawi tertentu (mayoritas Katolik atau Kristen), ketika menyebut Komunitas
Basis, orang langsung berpikir: ‘KBG’ atau ‘UB’. Karena ciri
khasnya muncul yaitu kata gerewi (ni) dan kata umat atau jemaat. Lain halnya
dengan suatu masyarakat dimana Katolik atau Kristen menjadi minoritas, maka
ciri khas kata gerejawi (ni) atau umat atau kristen harus nampak.
3.
Gerejawi
Kata mana yang mau kita pakai, kata
Gerejani atau Gerejawi? Ini hanya soal teknis dalam bahasa Indonesia. Karena
kata Gereja sendiri merupakan kata serapan dari bahsa asing portugis ‘Igreja’.
Sehingga kata ini disebut Gereja untuk menunjukkan ciri khas ‘orang yang
terpanggil’ secara jelas ada.
Karena itu, entah kata Gerejani atau
Gerejawi, tidak perlu dipersoalkan. Keuskupan lain di Indonesia menyebut
‘Gerejani’ untuk membedakan kata Gereja dan dalam literatur dokumen Gereja kata
‘Gerejawi’. Sedangkan untuk Keuskupan Pangkalpinang memakai kata ‘Gerejani’
dengan maksud menyamakan kata ‘Gerejawi’ didalam literatur dokumen Gereja.
Bahkan menurut bahasa Indonesia, lebih pas atau cocok kita menyebut kata
‘Gerejawi’ karena kata ini disamakan dengan kata yang berakhiran ‘wi’ seperti
orang menyebut kata ‘surgawi’.
Satu makna lebih dalam dari kata Gereja,
berdasarkan asal usul kata bahasa asing ialah kata Gereja dari kata Latin: ecclesia
dan kata benda Yunani ekklesia dan kata kerja Yunani: ekkalein, yang berarti
‘memanggil keluar’. Secara harafiah, kata ini adalah ‘memanggil keluar, membentuk
satu komunitas yang khusus, dan komunitas itu hidup karena memiliki iman yang
sama kepada Allah-yang memanggilnya. Allah-lah yang memanggil keluar seseorang
atau sekelompok orang dari sebuah kelompok tertentu atau suku bangsa tertentu. Komunitas
inilah yang kemudian mempunyai 4 ciri yaitu satu, kudus, katolik, dan apostolik,
itulah yang kita namakan Gereja.
D.
Kedudukan KBG dalam Paroki dan Masyarakat Luas:
Ada dual hal yang menurut hemat saya, cukup mendasar kedudukan KBG dalam
posisinya dalam sebuah paroki dan suatu masyarakat umum. Kenyataannya bahwa
sebagai sebuah paroki dalam bingkai semangat ‘communion of communities, KBG
adalah sebuah basis persekutuan Gereja setempat yaitu paroki. Memang basis
persekutuan yang paling dasar ialah keluarga. Keluarga-keluarga yang
bertetangga itu membentuk persekutuan kecil yang namanya KBG.
Sedangkan dalam bingkai suatu masyarakat yang lebih luas, KBG
sesungguhnya ialah basis masyarakat setempat. Karena itu, KBG kita tidak
dimaknai inklusif disini sebagai komunitas yang terbuka-membuka dirinya untuk
orang-orang lain, tetapi harus dilihat bahwa makna lain dari inklusif disini
adalah ‘diperhitungkan’. Maksudnya ialah bahwa KBG kita termasuk komunitas yang
diperhitungkan oleh kelompok-kelompok atau komunitas lain dalam suatu
masyarakat yang lebih luas. Karena itu, jati diri KBG sebagai Gereja harus
benar-benar nampak.
KBG berbasis subyek bukan objek. Subyek-subyek yang ada didalam basis
gereja setempat dan basis masyarakat setempat perlu ditumbuhkembangkan
jatidirinya. Disinilah sebenarnya KBG boleh kita sebut sebagai basis pemberdayaan
subyek-subyek tersebut. Bagaimana jika subyek-subyek itu tidak diberdayakan,
tentu jatidiri subyek-subyek tersebut sebagai Gereja akan ‘terang’ tetapi
‘terang’nya seadanya saja. Padahal tantangan dunia dewasa ini semakin membahana
dengan menonjolkan individualisme, hedonisme, konsumerisme, dan lain-lain, yang
cukup membuat jatidiri sebagai Gereja menjadi redup.
KBG yang terus menerus diberdayakan, subyek-subyeknya akan menjadi
pribadi-pribadi yang terbebaskan dan saling meneguhkan satu sama lain. Dengan
begitu, subyek-subyek yang ada didalam KBG itu dapat merasul baik secara
internal maupun secara eksternal. KBG boleh kita katakan disini sebagai basis kerasulan
kaum awam, karena di medan inilah kaum awam sungguh hidup dan mengabdi bagi
saudara-saudri dan sesama yang lain.
Dalam kedudukan KBG kita ini baik sebagai satu paroki dan suatu masyarakat
umum, hasil Sinode II kita dalam MGP No. 259, dikatakan bahwa KBG diberdayakan
dengan mengarah pada tiga bintang yaitu: berpusat pada Kristus, membangun
komunio dan menjalankan misi-Kerajaan Allah. Salah satu contoh yang boleh kita
laksanakan ialah ‘merayakan pesta pelindung KBG’. Melalui perayaan pesta
pelindung KBG, ketiga bintang pemberdayaan KBG dapat terlaksana, asalkan perlu
dipersiapkan dengan baik.
Dalam
pemberdayaan KBG, MGP No. 209-212 dan No.
260 juga mengisyaratkan supaya KBG harus memperlihatkan jatidirinya dalam
bingkai 4 ciri khas KBG yaitu: teritori (15-20 KK), sharing Injil menjadi
agenda utama pertemuan KBG, melaksanakan aksi nyata, dan KBG selalu terhubung
dengan Gereja Universal. Jika salah satu ciri khas ini tidak nampak dalam KBG,
maka bukanlah KBG, tetapi dengan nama yang berbeda-beda.
Jika yang ada hanya melaksanakan sharing Injil, aksi nyata, dan terhubung
dengan Gereja Universal, maka kelompok ini disebut ‘kelompok umum’ atau
‘kelompok kategorial’. Jika yang tidak ada ialah sharing Injil maka kelompok
itu disebut ‘kelompok aksi’ atau ‘LSM’. Jika yang ada hanya teritori, sharing
Injil, dan terhubung dengan Gereja Universal maka kelompok itu kita sebut ‘kelompok
doa’ atau ‘kelompok iman.’ Jika yang tidak ada ialah terhubung dengan Gereja
Universal maka kita sebut ‘sekte’.
E.
Tujuan Ber-KBG:
Secara
detail boleh kita sebut disini, tujuan kita ber-KBG:
a.
Meningkatkan
dan menghidupkan Cara Baru Hidup Meng-Gereja.
b.
Membebaskan.
c.
Memberdayakan.
d.
Membangun
KBG untuk mandiri dalam hal kerohanian, skill dan finansial.
e.
Mengejahwantahkan
Gereja Universal secara nyata, sebagai wujud Kerajaan Allah di tengah dunia.
F.
Apa yang sudah
kita miliki dalam Kelompok kita saat ini?
Jujur bahwa sekarang kelompok-kelompok
kita di paroki-paroki belum sempurna disebut KBG. Karena ke-4 ciri khas dan
proses pemberdayaan KBG yang mengarah pada tiga bintang sedang dilakukan
bersama-sama. Jika belum, maka lebih baik kita masuk dalam ‘goal setting’ KBG
yang kita buat setiap tahun dengan sasaran dan target masing-masing.
Kita juga perlu jujur juga bahwa
kenyataannya, kelompok-kelompok di paroki kita itu, telah memiliki beberapa
hal, yang hampir dipastikan mampu menjadi sebuah KBG, yaitu:
a.Kelompok-kelompok
dengan teritorial tertentu, dengan nama-nama khusus berdasarkan santo / santa
pelindung
b.Kelompok-kelompok
dengan pengurusnya masing-masing
c.Kelompok-kelompok
ini sudah bertemu seminggu sekali atau seminggu dua kali
d.Isi
pertemuan kelompok seminggu sekali atau seminggu dua kali dengan: doa rosario,
Ibadat Sabda (HUT, arwah, dll)
e.Misa
dengan ujud tertentu
f. Fasilitator
g.Jadwal
rutin????
h.
Aksi
Nyata?????
G.
Fasilitator
1.
Data
Fasilitator:
Data fasilitator yang diminta untuk diisi mencakup:
a.Identitas Fasilitator:
nama, tempat/tgl. lahir, kelompok asal, tempat/tanggal. baptis, pendidikan
akhir, pekerjaan, jabatan di KBG/DPP/DPHBP, Nmr HP/Pin BB, dll.
b.Identitas KBG/keadaan KBG:
nama pelindung KBG, jumlah KK, jumlah anggota KBG, jumlah anggota lak-laki, jumlah
anggota perempuan, jumlah Kaum Muda / OMK, jumlah anak remaja, jumlah
anak-anak, jumlah fasilitator, jumlah fasilitator yang ikut pelatihan AsIPA,
jumlah fasilitator yang belum ikut pelatihan AsIPA
c.Komitmen ikut Pelatihan AsIPA:
apa motivasinya, apa target pribadi selama pelatihan, bagaimana komitmen anda
selama pelatihan, dll.
2. Tim Pemberdayaan
KBG
RD. Frans Mukin, menyebut fasilitator
yang pernah mengikuti seminar AsIPA, dengan nama ‘Tim Pemberdayaan KBG.’ Hemat
saya, lebih memilih untuk menyebut Tim
Pemberdayaan KBG sebagai ‘Kelompok
Fasilitator Inti’. Karena Tim Pemberdayaan KBG sudah ada didalam
seksi-seksi Dewan Pastoral Paroki. Kelompok Fasilitator Inti ialah orang-orang
yang menjadi fasilitator yang sudah mendapat pembekalan tentang fasilitator dan
tema-tema lain dalam modul-modul AsIPA. Karena itu, ditangan Kelompok Fasilitator
Inti inilah yang nanti akan melipatgandakan fasilitator baru di KBG mereka
masing-masing.
Apa yang dijalankan oleh Kelompok
Fasilitator Inti ini? Dibawah ini saya menggariskan beberapa poin berikut ini:
a.
Memulai dengan Kelompok
Fasilitator Inti pemula. Mereka yang sudah pernah menjadi fasilitator
ataupun belum pernah menjadi fasilitator di KBG tetapi belum dibekali
pemberdayaan fasilitator melalui modul-modul AsIPA, mereka-mereka sedang dalam
proses pembekalan inilah yang kita sebut ‘pemula.’
b. Kelompok
Fasilitator Inti pemula ini harus berintegral dengan masyarakat setempat dan
KBG. Kelompok
Fasilitator Inti ini, setelah mendapat pelatihan atau pembekalan, mereka ini
akan kembali ke KBG masing-masing. Dan akan tinggal dan beraktivitas dalam
KBG-nya. Mereka bersama KBG-nya merasakan dan mengalami makna hidup ber-KBG
yang disinari oleh Sang Sabda. Dan berusaha untuk membuka diri dengan
masyarakat sekitarnya selain dengan sesama anggota KBG.
c.
Menyertakan –
Informasi situasi KBG awal. Kelompok Fasilitator Inti ini harus mengetahui
situasi KBG-nya. Mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang KBG-nya.
Termasuk didalamnya peta KBG, mengetahui batas-batas teritori KBG-nya, jumlah
anggota KBG-nya, dan lain-lain.
d. Memilih daerah
yang paling mungkin menjadi model. Setelah mendengar informasi awal KBG,
terkadang Kelompok Fasilitator Inti terpanggil untuk memetahkan beberapa KBG
untuk lebih dahulu dikembangkan untuk menjadi model. Prinsip ini baik dan
sah-sah saja. Namun, ini butuh waktu yang lama. Karena itu, mungkin jauh lebih
baik, perlu mendorong setiap KBG untuk bangkit dan bertumbuh bersama sebagai
sebuah komunitas dalam Gereja Paroki. Tidak ada prinsip yang baku untuk
menjadikan beberapa KBG menjadi model terlebih dahulu.
e.
Mengunjungi
orang-orang potensial untuk menjadi fasilitator tahap pelatihan berikutnya. Karena Kelompok
Fasilitator Inti berasal dari KBG-nya sendiri, maka fasilitator perlu mengenal
dan memahami anggota-anggota KBG-nya yang potensial. Setelah itu, berani untuk
mendekati orang-orang yang potensial itu, untuk menjadi fasilitator berikutnya
dengan melalui proses pelatihan atau pembekalan lewat modul-modul AsIPA.
f. Kondisi awal Kelompok
Fasilitator Inti ini.
Dalam Kelompok Fasilitator Inti perlu saling mengenal satu sama lain lebih
mendalam sejak dari awal. Sehingga dalam perjalanan, situasi-situasi antara
mereka semakin diperbaharui untuk menjadi sebuah Kelompok Fasilitator Inti yang
lebih berpotensi dan dewasa untuk berperan bagi kepentingan Gereja.
g. Kelompok
Fasilitator Inti memiliki pengetahuan dasar untuk bekerja. Supaya Kelompok
Fasilitator Inti ini bisa bekerja sebagai fasilitator yang diandalkan dalam
KBG, perlu pelatihan melalui modul-modul AsIPA dan pemberdayaan secara
berkelanjutan. Bila perlu sebulan sekali mereka bisa saling berjumpa lagi untuk
terus menerus belajar baik tentang Kitab Suci, Gereja, dan lain-lain maupun
kegiatan pembaharuan rohani seperti rekoleksi atau retret.
3. Kelompok
Fasilitator Inti dan KBG
Relasi Kelompok Fasilitator Inti dengan
KBG, bagaikan ‘sayur dengan garam’. Sama-sama saling keterkait satu sama lain.
Sehingga sangat mungkin ada kemajuan bersama dalam beberapa poin berikut ini;
yang menjadi perhatian bersama.
a.
Kelompok
Fasilitator Inti ini harus menyatu dengan strateginya. Setelah
pelatihan dan kemudian pemberdayaan terus menerus, fasilitator harus mempunyai
strategi yang sama untuk tetap bertahan dalam pemberdayaan KBG. Apa yang
dijalankan bersama dan yang menjadi kesepakatan bersama, saling membantu dalam
pelaksanaan. Tidak bisa tidak bahwa ada yang menjalankan, ada yang tidak;
bahkan saling bersungut di belakang-belakang, ketika mau menjadi fasilitator di
KBG-KBG. Hasil kesepakatan bersama tidak dijalankan, atau dijalankan pun, tidak
maksimal.
b.
Kelompok
Fasilitator Inti ini harus mempunyai hubungan kepercayaan. Antara satu
fasilitator dengan fasilitator yang lain, saling kenal, akrab, dan membangun
persaudaraan diantara mereka. Dengan begitu, muncul saling percaya satu sama
lain. Saling percaya satu sama lain, akan membantu anggota KBG untuk maju
bersama.
c.
Kegiatan pertama
yang dilakukan harus mempunyai daya tarik yang kuat: mukjizat. Setelah
pelatihan bersama, dan telah sepakat untuk dijalankan di KBG, perlu semangat
untuk mendorong satu sama lain, baik antar fasilitator maupun fasilitator
dengan anggota KBG. Semangat kebersamaan dan persaudaraan yang muncul, perlu
dimaknai dalam arti yang baru sebagai sebuah ‘mukjizat’.
d.Kegiatan harus
melibatkan sebanyak mungkin umat dari kalangan bawah. Anggota KBG
terdiri dari berbagai lapisan: kaya-miskin, kecil besar, tua-muda-anak-anak,
yang rajin-yang malas, yang baik-yang brengkek. Semuanya itu adalah anggota KBG
yang satu dan sama menjadi anggota Gereja. Satu hal yang lebih bijak, bila
fasilitator terlebih dahulu merangkul sebanyak mungkin mereka yang selama ini
terpinggirkan-minoritas baik secara ekonomi, psikologis, maupun secara etnis.
e.Memimpin
refleksi setelah kegiatan. Kelompok Fasilitator Inti harus mampu mengadakan
refleksi-refleksi yang membangun-mendidik, dan mendorong untuk maju dalam
banyak kegiatan lain. Hal ini akan membantu-memotivasi pelibatan fasilitator.
f.Kegiatan
berhasil jika mobilisasi pendidikan yang diperlukan, mengkonsolidasi keuntungan
KBG.
Pemberdayaan dan pelatihan fasilitator harus mengarah pada keuntungan membangun
subyek-subyek dalam KBG. Sehingga anggota KBG pun mengetahui bahwa rutinitas
pertemuan fasilitator membantu perkembangan KBG. Dengan demikian, anggota KBG
memiliki kepedulian untuk mendukung. Bahkan tertarik untuk mau menjadi
fasilitator baru.
g.
Kekuatan KBG
ialah organisir umat.
Kekuatan KBG ialah bagaimana fasilitator mengorganisasi anggota KBG. Karena
itu, KBG perlu mempunyai jadwal pertemuan yang jelas dan pasti. Jadwal
pertemuan ini dibicarakan bersama dan melibatkan banyak pihak. Jadwal kegiatan
harus dibuat jauh-jauh hari, biar membantu anggota KBG dalam pembuatan agenda
pribadi dan keluarga.
h. Konsolidasi Kelompok
Fasilitator Inti dan perluasannya. Kelompok Fasilitator Inti, perlu
memperluas anggota baru dan sekaligus perluas dalam banyak hal seperti soal
pengetahuan, spiritual, psikologi, dan lain-lain.
i. Kelompok
Fasilitator Inti menyimpulkan pengalaman-pengalaman dan melakukan kritik dan
kritik diri.
Pengalaman-pengalaman kebersamaan dalam Kelompok Fasilitator Inti perlu
dievaluasi. Dalam evaluasi itulah setiap anggota memberikan kritik atas
pengalaman hidup bersama, dan juga saling coreksi (coreksio fraternal).
Sehingga persekutuan semakin terjamin dan persaudaraan antar anggota semakin
mewarnai hidup kelompok ini.
H.
Kompendium
1.
Dengan
memahami arti komunitas secara baik, maka kita akan memahami maksud kita
ber-KBG. Kebersamaan, persekutuan dan partisipasi bersama dalam KBG sebagai
makna Gereja secara benar. Karena kebersamaan, persekutuan dan partisipasi
dalam KBG merupakan ekspresi persekutuan Tritunggal Mahakudus.
2.
KBG
dibangun berdasarkan spirit yang sama dan dalam visi yang sama. Karena itu, KBG
jangan menjadi alat politik dan kekuasaan orang-orang tertentu.
3.
Kelompok
Fasilitator Inti, hendaknya menjadi ‘garam bumi’ dan ‘terang dunia’ untuk
KBG-nya. Dari diri kelompok inilah fokus anggota KBG tertuju untuk membangun
Gereja Partisipatif yang bermula dari KBG-KBG.
*) pertemuan
pengantar kelompok fasilitator inti
Paroki Sta.
Bernardeth, selasa, 26 Agustus 2014 di Aula
Paroki Sta.
Bernardeth
Sumber Materi ini:
1. http://www.fabc.org/offices/olaity/asipa.html
2. A. Margana, Komunitas Basis Geraj Menggereja Kontekstual, Kanisius: Yogjakarta: 2004, p. 75-92.
3. Pedoman Pastoral Keuskupan Pangkalpinang, Menjadi Gereja Partisipatif, Obor: Jakarta, 2012, No. 198-200, p. 108-110; bdk. F.X. Sugiyana, Pr., Lingkungan—Aktualisasi Jemaat Perdana Di Zaman Modern, Kanisius: Yogjakarta, 2013, p. 15-16.
4. Enrique P. Batangan, dkk, 'Komunitas Basis Gerejani - Katalisator Untuk Pemerdekaan, Kanisius: Yogakarta, 2002, p. 29-52.
4. Enrique P. Batangan, dkk, 'Komunitas Basis Gerejani - Katalisator Untuk Pemerdekaan, Kanisius: Yogakarta, 2002, p. 29-52.
Komentar
Terimakasih
Antonius
Wilayah Tanjung Uban
Paroki Tanjung Pinang