IN MEMORIAM “RAJA HOGA BERA TUAN RATU LANA”
Dokpri, tahun April 2011 Tobo du kaka Bapa di Rie Lima Wana Korke Bale Sinar Hading Hidup ditengah dunia dengan segala pertempuran antara pikiran dan fisik, perjuangan dan persaingan, antara moral dan imoralitas, antara gembira dan duka, antara perajutan tradisi dan penghilangan budaya, tak mengetarkan hati para pejuang budaya kehidupan ini. Mereka justru bersikap hati-hati, mau maju dibilang tidak patuh pada adat dan tradisi. Mau mundur dikatakan kolot. Unik memang! Namun, bagi saya ini adalah situasi “petuah-petuah” kita. Ketika suatu hari (lupa tanggal, maklum sudah tua) pulang kuliah, saya sempat nongol di Kampung Lama, Lango Bele. Sudah sore sekali. Saya dengan rankel di punggung, dengan jeans terbela di lutut kiri dan kanan. Naik dari “mada” dari jauh saya memanggilnya. “Tenga,… o… tenga”. Orangtua itu, muncul dari samping Lango Bele. Dengan khas gayanya, dia menyapa saya. “No, moe ane gere jam pi. Goe be pasang pelita. Goe porit ape pe rura, goe ksa gewalik. Ta