IN MEMORIAM “RAJA HOGA BERA TUAN RATU LANA”


Dokpri, tahun April 2011 Tobo du kaka Bapa di Rie Lima Wana Korke Bale Sinar Hading
Hidup ditengah dunia dengan segala pertempuran antara pikiran dan fisik, perjuangan dan persaingan, antara moral dan imoralitas, antara gembira dan duka, antara perajutan tradisi dan penghilangan budaya, tak mengetarkan hati para pejuang budaya kehidupan ini. Mereka justru bersikap hati-hati, mau maju dibilang tidak patuh pada adat dan tradisi. Mau mundur dikatakan kolot. Unik memang! Namun, bagi saya ini adalah situasi “petuah-petuah” kita.

Ketika suatu hari (lupa tanggal, maklum sudah tua) pulang kuliah, saya sempat nongol di Kampung Lama, Lango Bele. Sudah sore sekali. Saya dengan rankel di punggung, dengan jeans terbela di lutut kiri dan kanan. Naik dari “mada” dari jauh saya memanggilnya.

“Tenga,… o… tenga”. Orangtua itu, muncul dari samping Lango Bele. Dengan khas gayanya, dia menyapa saya. “No, moe ane gere jam pi. Goe be pasang pelita. Goe porit ape pe rura, goe ksa gewalik. Ta lodo, tobo lali lango.” Saya jawab,"ah dihala tengah". Langsung saya maju dan jabat tangannya. Moe oli ara pira ne? Saya pun dengan wajah ceria langsung menjawab, “tengah, goe be oli pi, langsung goe gere tede moe.” Kebetulan, sebelumnya saya sudah singgah di rumah bawa. Saya ketemu dengan anaknya, No Bala Liwun. Katanya, orangtua heti Lango Bele. Jadi, saat itu saya langsung ke Lango Bele.

Saya sendiri ingat, bahwa sudah beberapa kali pulang kuliah dan kebetulan liburan, saya singgah di Lango Bele, tidak ada tujuan lain. Saya datang untuk melihat Lango Bele dan ingin sekali berjumpa dan duduk ngobrol bersama “Raja Hoga Bera Tuan Ratu Lana”. Kunjungan saya yang terakhir, kemudian pergi merantau, saya sempat berphoto di pusaran “Sodo Bera”.
Dokpri, Oktober 1999, di pusaran Sodo Bera
Mio Pana Lega Di Mae, Kame Jaga Lewotana Pi

Pergi ke luar Lewotana dan jauh dari Lewotana, bukan merupakan suatu pelarian. Pelarian mungkin tidak, terlalu kasar jika diungkapkan. Mungkin lebih beradab jika dikatakan pergi ke luar Lewotana dan jauh dari Lewotana adalah pilihan hidup namun bukan melupakan Lewo Goe Igo Rian Sina

Keinginan untuk keluar dari Lewotana kuungkapkan kepada “Raja Hoga Bera Tuan Ratu Lana”, saat itu. Kutatap matanya. Kusapanya. Tenga pun mengangkat matanya. “No, ne gae?” Saat itu, pikiran saya terbawa jauh, jauh ke alam yang cukup berbeda. Dari wajah yang keriput dan tersirat sejuta harapan yang penuh perjuangan, tersimpan perpaduan sinkretisisme yang begitu kuat namun elegan. Saya lalu dengan tulus ikhlas katakan kepadanya. “Tengah, goe kaik lega ata tana kia. Ara pira be goe kedi gewalik.”

Dia tertunduk diam. Dalam diamnya itu, saya pun terbawa dalam diam juga. Sejenak, dia mengangkat wajah lalu katakan kepada saya, “Moe pana lega di mae hena, hukut no kame pi. Goe no Haju, jaga Lewo leko. Mio Pana Lega di mae hena.” Mendengar jawabannya, saya pun diam, bathinku getar dalam kesedihan. Mataku menatap langit biru, sekeliling Lango Bele. Pengalaman unik ini, kusimpan dalam hati. Semacam berlian dari penatuah yang menggerakkan langkah pastiku yang akan kubawa dalam ziarah hidupku.

Kutahu bahwa saat itu Lewotana sedang dalam kemelut. Kemelut mungkin terlalu kasar. Lebih baik dikatakan, lagi beda berpikir. Perjumpaan saya dengan dia, bukan sendirian. Soalnya, sore itu saya (lupa lagi tanggalnya) bersama beberapa orang hadir dan bekerja membuat fondasi Lango Bele sekarang ini. Saya paham, bahwa membuat fondasi Lango Bele saja, menuai banyak kritik. Tapi, tidak apa-apa, saya melihat dengan sikap kritis. Bahwa itukan tuan rumah yang lagi memperbaiki lango ulinya.

Memugar rumah (lango uli), itu hal positip. Memugar rumah dengan fondasi semen yang kuat, “biar anak cucu tidak perlu perbaik dalam waktu dekat”, ungkapnya. Ungkapan dan tindakkan suku kliwu saat itu, merupakan suatu “tindakkan reformasi diri”. Sebuah zaman transisi antara pola berpikir lama dan pola berpikir baru, yang sedang dipertaruhkan. Yang lama menghendaki, supaya tetap sesuai dengan lama. Yang baru berusaha untuk sesuai dengan perkembangan zaman. Sikap yang baru biasanya saya sebut sebagai “Gembala Tradisi dan Nabi Masa Depan.” Pola sikap yang tetap mempertahankan yang lama biasanya saya sebut, “Gembala Tradisi tapi tidak mau jadi nabi masa depan.”

Disinilah letak disintegrasi dalam cara berpikir dan melihat situasi zaman serta meletakkan perubahan itu dalam konteks hidup sosial dan budaya. Dimana hidup sosial, sedang berubah akibat arus urbanisasi dan ekonomi. Sementara hidup berbudaya pun mau tidak mau harus ditransformasi dalam bentuk yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat. Dalam diskusi yang panjang lebar di sore itu, saya secara pribadi sangat mendukung sikap mereka yang telah mampu menatap masa depan. Dalam refleksi saya, boleh saya sebut disini: “penatuah-penatuah dan saudara-saudara saya ini, tidak merasakan pendidikan seperti saya alami, namun mereka mampu dan sanggup berpikir lintas batas, tidak hanya untuk diri mereka dan Lewotana, tetapi untuk masa depan.

Dalam renungan saya selanjutnya, muncul dalam pikiran saya begini. “Apakah mereka ini tahu tentang hidup masa depan? Bagaimana menjalankan hidup di masa depan yang akan selalu berubah sepanjang saat atau tahun? Apalagi era globalisasi dewasa ini terus berubah!

Dalam refleksi saya itu, teringatlah apa yang pernah dikatakan dosen Filsafat Manusia waktu di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero Maumere, namanya: Pater Dr. Leo Kleden, SVD. Bahwa manusia itu bukan hidup secara linear. Tetapi secara ko-linear. Dalam arti bahwa manusia ini hidup selalu belajar dari masa lalu, kemudian bersama masa kini ia hidup. Dan hidup masa kini akan menjadi pengalamannya untuk mewujudkan masa depan. Jadi masa depan ialah perwujudnyataan masa lalu dan masa kini.

Saya sendiri, menyamakan cara berpikir penatuah saya ini dengan mengutip kata-kata filsuf Jerman, Gabriel Marsel, bahwa Manusia adalah misteri dan problematika. Misteri manusia terletak pada simpanan daya juang yang ditenunnya selama hidup, dan hasil simpanan daya juang itu, diungkapkan dalam proses penyelesaian masa dalam hidup ini. Gagasan dan cara hidup manusia ini, persis seperti dihidupkan oleh “Raja Hoga Bera Tuan Ratu Lana”. Dan tidak salah juga, kalau keluarga dan sanak saudaranya yang dekat dengannya, menyebut dengan mahkota ini. Moe pana di a dihala, kame pi jaga lewotana di mae hena, sebagai renungan saya hingga saat ini.

Perjuangan Melanjutkan Reformasi diri

Ketika sedang membangun fondasi Lango Bele, sempat dibicarakan untuk memperbaiki Korke Bale. Dan rencana itu sungguh saya apresiasi. Karena Korke Bale saat itu cukup memprihatinkan. Atapnya rusak, kayu-kayu mulai patah dan rontok. Tatkala hujan, didalamnya basah. Sayang, kayu-kayu yang sebenarnya berkualitas, ketika kena hujan, bisa rusak. Untung bahwa banyak photo saya tentang ini ada dalam laptop lama yang lagi rusak. 

Rencana itu apa dan bagaimana dilaksanakan, saya waktu itu sudah keluar dari Lewotana. Baru sekitar tahun 2001/2002, saya baru dapat informasi bahwa Lango Bele dan Korke Bale sudah diperbaiki. Lango Bele dengan fondasinya dan Korke Bale dengan atap seng. Ini informasi yang saya terima dari Kampung Halaman saat itu.

Dalam hati saya saat itu, rupanya gong reformasi diri yang sudah ditabu, kini berlanjut juga pada perbaikan Korke Bale. Suatu sikap konsisten dan komitmen untuk mau maju. Walaupun, gejolak badai saat itu semakin kuat berguncang. Jujur saya harus katakan bahwa itu suatu tindakkan yang berani dan profetis. Luar biasa tindakkan penatuah dan saudara-saudara saya di Lewotana. 

Pengalaman semacam ini dalam sejarah peradaban manusia entah dalam budaya lokal maupun budaya di daerah-daerah luar negeri, hal ini sangat biasa sekali. Hanya sikap kita terhadap masa lalu dan masa kini dan sekaligus masa depan, jauh berbeda dengan harapan masa lalu dan kekiniaan. Baru beberapa tahun kemudian, karena ada kunjungan turis, takut dilihat seng-nota bene tidak asli, mau menggantikan dengan atap kenuki. 

Sikap Diam, “Raja Hoga Bera Tuan Ratu Lana” itu bernas sekali
Dokpri, April 2011
Sikap diamnya, Tenga Hoga,  dalam bahasa para petapa Padang Gurun disebut “meditatif-kontemplatif.” Dalam bahasa kerohanian modern dikatakan sebagai “Lokusi Bathin.” Sejajar dengan apa yang dikatakan tadi, dengan apa yang dilakukan Tenga Hoga, diam bukan berarti tidak berbuat apa-apa, juga bukan takut, tapi hanya mengungkapkan rendah hati. Diam yang menjadi sikapnya, bukan berarti “orang bodoh”. Diam yang menjadi kekhasannya adalah “diam bernas.” Disinilah, diam tak tergoyahkan. Diam itu berakar dalam tradisi, dan berbuah lebat di masa sekarang dan masa depan.

Apa maksudnya “Diam itu Bernas?” Saya menemukan sikap diamnya dalam berbagai pengertian. Pertama, diam adalah sikap reflektif. Tengah Hoga dalam sepanjang hidupnya, memiliki kemampuan merefleksikan tentang ziarah hidupnya. Mampu “mengawinkan”masa lalu, masa kini, dan memproyeksikannya ke masa depan.

Kedua, diam berarti sedang aktif. Aktif tidak hanya fisik. Aktif disini, sedang berpikir. Disinilah terbaca kemampuan intelektualnya. Saya harus mengakui bahwa pola asuh dan pola makan orangtua zaman dulu, luar biasa hebat. Bagaimana orangtua dulu mampu mendidika anaknya sehingga anaknya dapat mengaktualisasikan dirinya dengan sikap diam. Jarang zaman sekarang anak itu diam, duduk lama di tempat duduk.  

Ketiga, diam yang dibangunkannya menjadi pengola budaya. Dalam hati, pikir, dan bathinnya tersimpan banyak “harta karun” masa lalu. “Harta karun” masa lalu dimilikinya itu, perlu digali oleh anak-anak muda zaman kini. Dan hemat saya, hal ini jarang terjadi. Diamnya disini memiliki makna menunggu. Biar anak-anak muda zaman kini datang dan belajar tentang budaya. Tentang hal ini, beliau selalu katakan, lebih baik diam walaupun dikatakan tidak tahu, daripada tutu a tou di nae noi, tetapi dalam banyak hal, apa yang ditutu itu salah!.

Keempat, diam yang menjadi kekhasannya memiliki rasa, asa, asuh dan perspektif filosofis. Ini yang dikatakan oleh Filsafat Manusia, setiap manusia mampu menjadi filsuf serentak menjadi subyek yang terbuka untuk masa depan. Tanpa ini manusia itu kerdil. Tak bisa maju. Kalau majupun hanya mampu mengkritik dan dibelakang menjadi perusuh.

Kelima, diam adalah ciri khas penjaga tradisi. Tradisi itu dihidupkan. Kontrodiktif kan? Apakah dengan diam, tidak bisa menghidupkan budaya? Tentu bisalah. Namun yang dimaksud disini dalam diam ciri khas penjaga tradisi adalah:

Pertama, kemampuan untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan. Yang sudah dilakukan itu baik, maka akan diteruskan dan diwariskan. Yang dilakukan itu, tidak baik, maka itulah yang harus ditinggalkan, dibuang, odo pnonu, Kedua, kemampuan untuk mengambil keputusan. Keputusan untuk melanjutkan terus sesuatu yang baik, diperlukan sikap diam. Begitu juga pengambilan keputusan ketika sesuatu itu dikatakan tidak baik. Ketiga, kemampuan bertransenden. Kemampuan ini dimaksudkan bahwa dalam diam Tenga Hoga mampu berdialog atau berkomunikasi dengan Kaka Bapa-nya. Jawaban dari Kaka Bapa-nya itulah, yang dijalankan dan dihidupkannya. Jadi, sesuatu yang dihidupkannya adalah hasil dari “bisikan” atau dalam istilah teologis, hasil dari communio-nya dengan Kaka Bapa. Rohani sekali makna diam ini!

Berita Meninggal Tenga Hendrikus Hoga Liwun


Dokfb Thobias Liwun
Berita duka datang dari Kampung Halaman tercinta, melalui SMS Oa Esi Timu Liwun pada pukul 12: 58: 58, tanggal 9 Juni 2020. Oa Esi menulis SMS demikian: "Mat siang ade, tenga Hoga mata kae. Apa kabar mio pe?"
Respons SMS dari keluarga ini, saya lalu diam sejenak. Seperti biasa ketika mendengar kabar duka dari Kampung Halaman, jika ada berita yang tidak menyenangkan, sayaberhenti kerja lalu hening sebentar, dan kemudian berjalan menuju Kapela Kantor dan berdiam diri, berdoa bagi mereka, termasuk kali ini untuk Tenga Hoga. Dalam keheningan doa pribadi, saya mencoba membangkitkan kembali daya ingat saya, saya menghadirkan peristiwa-peristiwa perjumpaan saya dengan Beliau. Dalam doa, saya mencoba mengungkapkan segala karya baiknya membangun Lewotana tercinta. Satu harapan dalam hati, "Yesus akan menerima dia dalam rumah-Nya. Karena, bagaimanapun karya baiknya akan menghantar jiwanya mengalami belaskasih Allah Tritunggal.

Pulang dari Kapela, saya mencoba membuka FB saya. Rupanya sudah banyak saudara-saudari dari Kawaliwu telah mengirim postingan photo-photo hingga upacara pemakamannya. Pulang kerja saya  menceritakan kepada isteri dan anak, bahwa ada berita duka dari Kampung Halaman. Isteri kenal, hanya anak saya yang tidak kenal. Karena belum pernah jumpa. Kalau isteri pernah berjumpa dengannya. Dan persis, photo Tengah Hoga di awal tulisan ini adalah hasil jepretannya. Ungkap isteri saya: hanya doa dan kenangan indah yang bisa keluarga kita, kenang dan bawa dalam doa-doa.
Dokfb keuarganya, bersama anaknya Bala Liwun, masa-masa sakitnya
Dengan demikian, secara pribadi sangat setuju dengan sikap diamnya, Tenga Hoga. Diam memiliki kekuatan yang mampu mengasahnya untuk melakukan sesuatu yang baik dan indah demi Lewotana yang dicintainya selama hidupnya. Dan saya sendiri pun sangat yakin bahwa dengan diamnya pula, Beliau hadir dalam peziarahan hidup Lewotana Sinar Hading; dalam ziarah perjuang hidup anak-anak Lewotana masa kini.

Belajar dari sikap diamnya ini, maka kita perlu juga berdiam diri juga, merenungkan segala peristiwa hidup kita, memberi makna terdalam dari hidup itu, dan membuka diri untuk melakukan segala sesuatu yang baik dan indah demi untuk Lewotana tercinta.

Dokfb keluarganya. Wajah asli termakan usia, tapi tidak tua tradisi Kawaliwu
Sebelum akhiri tulisan ini, satu doa yang terselip untuk Orangtua tercinta, Tenga Hendrikus Hoga Liwun:

Tengah Hoga,
Doakanlah kami selalu.

Tengah Hoga,
Moe Eka hoga dari Kawaliwu.

Tengah Hoga,
Moe dari jauh
Tetapi hadir dalam ziarah peradaban anak Lewotana.

Tede kame ana moe.
Doakan kame selalu.
Amin.

Pangkalpinang, 11 Juni 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik