IN MEMORIAM “RAJA HOGA BERA TUAN RATU LANA”
Dokpri, tahun April 2011 Tobo du kaka Bapa di Rie Lima Wana Korke Bale Sinar Hading |
Ketika
suatu hari (lupa tanggal, maklum sudah tua) pulang kuliah, saya sempat nongol
di Kampung Lama, Lango Bele. Sudah sore sekali. Saya dengan rankel di
punggung, dengan jeans terbela di lutut kiri dan kanan. Naik dari “mada” dari
jauh saya memanggilnya.
“Tenga,… o… tenga”. Orangtua itu, muncul dari
samping Lango Bele. Dengan khas gayanya, dia menyapa saya. “No, moe ane gere jam pi. Goe be pasang pelita. Goe porit ape pe rura,
goe ksa gewalik. Ta lodo, tobo lali lango.” Saya jawab,"ah dihala tengah".
Langsung saya maju dan jabat tangannya. Moe
oli ara pira ne? Saya pun dengan wajah ceria langsung menjawab, “tengah, goe be
oli pi, langsung goe gere tede moe.” Kebetulan, sebelumnya saya sudah
singgah di rumah bawa. Saya ketemu dengan anaknya, No Bala Liwun. Katanya,
orangtua heti Lango Bele. Jadi, saat itu saya langsung ke Lango Bele.
Saya
sendiri ingat, bahwa sudah beberapa kali pulang kuliah dan kebetulan liburan,
saya singgah di Lango Bele, tidak ada tujuan lain. Saya datang untuk melihat
Lango Bele dan ingin sekali berjumpa dan duduk ngobrol bersama “Raja Hoga Bera
Tuan Ratu Lana”. Kunjungan saya yang terakhir, kemudian pergi merantau, saya
sempat berphoto di pusaran “Sodo Bera”.
Pergi
ke luar Lewotana dan jauh dari Lewotana, bukan merupakan suatu pelarian.
Pelarian mungkin tidak, terlalu kasar jika diungkapkan. Mungkin lebih beradab
jika dikatakan pergi ke luar Lewotana dan jauh dari Lewotana adalah pilihan
hidup namun bukan melupakan Lewo Goe Igo Rian Sina.
Keinginan
untuk keluar dari Lewotana kuungkapkan kepada “Raja Hoga Bera Tuan Ratu Lana”, saat itu. Kutatap matanya.
Kusapanya. Tenga pun mengangkat matanya. “No, ne gae?” Saat itu, pikiran saya
terbawa jauh, jauh ke alam yang cukup berbeda. Dari wajah yang keriput dan tersirat sejuta harapan yang penuh perjuangan, tersimpan perpaduan sinkretisisme yang begitu kuat namun
elegan. Saya lalu dengan tulus ikhlas katakan kepadanya. “Tengah, goe kaik lega
ata tana kia. Ara pira be goe kedi gewalik.”
Dia
tertunduk diam. Dalam diamnya itu, saya pun terbawa dalam diam juga. Sejenak,
dia mengangkat wajah lalu katakan kepada saya, “Moe pana lega di mae hena,
hukut no kame pi. Goe no Haju, jaga Lewo leko. Mio Pana Lega di mae hena.”
Mendengar jawabannya, saya pun diam, bathinku getar dalam kesedihan. Mataku
menatap langit biru, sekeliling Lango Bele. Pengalaman unik ini, kusimpan dalam
hati. Semacam berlian dari penatuah yang menggerakkan langkah pastiku yang akan
kubawa dalam ziarah hidupku.
Kutahu
bahwa saat itu Lewotana sedang dalam kemelut. Kemelut mungkin terlalu kasar. Lebih baik dikatakan, lagi beda berpikir. Perjumpaan saya dengan dia, bukan
sendirian. Soalnya, sore itu saya (lupa lagi tanggalnya) bersama beberapa orang hadir dan bekerja
membuat fondasi Lango Bele sekarang ini. Saya paham, bahwa membuat fondasi Lango Bele saja,
menuai banyak kritik. Tapi, tidak apa-apa, saya melihat dengan sikap kritis. Bahwa itukan tuan rumah yang lagi memperbaiki lango ulinya.
Memugar
rumah (lango uli), itu hal positip. Memugar rumah dengan fondasi semen yang
kuat, “biar anak cucu tidak perlu perbaik dalam waktu dekat”, ungkapnya.
Ungkapan dan tindakkan suku kliwu saat itu, merupakan suatu “tindakkan
reformasi diri”. Sebuah zaman transisi antara pola berpikir lama dan pola berpikir
baru, yang sedang dipertaruhkan. Yang lama menghendaki, supaya tetap sesuai dengan lama. Yang baru
berusaha untuk sesuai dengan perkembangan zaman. Sikap yang baru biasanya saya
sebut sebagai “Gembala Tradisi dan Nabi Masa Depan.” Pola sikap yang tetap
mempertahankan yang lama biasanya saya sebut, “Gembala Tradisi tapi tidak mau
jadi nabi masa depan.”
Disinilah
letak disintegrasi dalam cara berpikir dan melihat situasi zaman serta
meletakkan perubahan itu dalam konteks hidup sosial dan budaya. Dimana hidup sosial, sedang berubah akibat arus urbanisasi dan ekonomi. Sementara hidup berbudaya pun mau tidak mau harus ditransformasi dalam bentuk yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat. Dalam diskusi
yang panjang lebar di sore itu, saya secara pribadi sangat mendukung sikap
mereka yang telah mampu menatap masa depan. Dalam refleksi saya, boleh saya
sebut disini: “penatuah-penatuah dan saudara-saudara saya ini, tidak merasakan
pendidikan seperti saya alami, namun mereka mampu dan sanggup berpikir lintas batas, tidak hanya
untuk diri mereka dan Lewotana, tetapi untuk masa depan.
Dalam
renungan saya selanjutnya, muncul dalam pikiran saya begini. “Apakah mereka ini
tahu tentang hidup masa depan? Bagaimana menjalankan hidup di masa depan yang
akan selalu berubah sepanjang saat atau tahun? Apalagi era globalisasi dewasa ini terus berubah!
Dalam
refleksi saya itu, teringatlah apa yang pernah dikatakan dosen Filsafat
Manusia waktu di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero Maumere, namanya: Pater Dr. Leo Kleden, SVD. Bahwa manusia
itu bukan hidup secara linear. Tetapi secara ko-linear. Dalam arti bahwa manusia
ini hidup selalu belajar dari masa lalu, kemudian bersama masa kini ia hidup.
Dan hidup masa kini akan menjadi pengalamannya untuk mewujudkan masa depan.
Jadi masa depan ialah perwujudnyataan masa lalu dan masa kini.
Saya
sendiri, menyamakan cara berpikir penatuah saya ini dengan mengutip kata-kata
filsuf Jerman, Gabriel Marsel, bahwa Manusia adalah misteri dan problematika. Misteri
manusia terletak pada simpanan daya juang yang ditenunnya selama hidup, dan
hasil simpanan daya juang itu, diungkapkan dalam proses penyelesaian masa dalam
hidup ini. Gagasan dan cara hidup manusia ini, persis seperti dihidupkan oleh “Raja
Hoga Bera Tuan Ratu Lana”. Dan tidak salah juga, kalau keluarga dan sanak
saudaranya yang dekat dengannya, menyebut dengan mahkota ini. Moe pana di
a dihala, kame pi jaga lewotana di mae hena, sebagai renungan saya hingga saat ini.
Perjuangan Melanjutkan
Reformasi diri
Ketika
sedang membangun fondasi Lango Bele, sempat dibicarakan untuk memperbaiki Korke
Bale. Dan rencana itu sungguh saya apresiasi. Karena Korke Bale saat itu cukup
memprihatinkan. Atapnya rusak, kayu-kayu mulai patah dan rontok. Tatkala hujan,
didalamnya basah. Sayang, kayu-kayu yang sebenarnya berkualitas, ketika kena
hujan, bisa rusak. Untung bahwa banyak photo saya tentang ini ada dalam laptop lama yang lagi rusak.
Rencana
itu apa dan bagaimana dilaksanakan, saya waktu itu sudah keluar dari Lewotana.
Baru sekitar tahun 2001/2002, saya baru dapat informasi bahwa Lango Bele dan
Korke Bale sudah diperbaiki. Lango Bele dengan fondasinya dan Korke Bale dengan
atap seng. Ini informasi yang saya terima dari Kampung Halaman saat itu.
Dalam
hati saya saat itu, rupanya gong reformasi diri yang sudah ditabu, kini
berlanjut juga pada perbaikan Korke Bale. Suatu sikap konsisten dan komitmen untuk mau maju. Walaupun, gejolak badai saat itu
semakin kuat berguncang. Jujur saya harus katakan bahwa itu suatu tindakkan
yang berani dan profetis. Luar biasa tindakkan penatuah dan saudara-saudara
saya di Lewotana.
Pengalaman semacam ini dalam sejarah peradaban manusia entah dalam budaya lokal maupun budaya di daerah-daerah luar negeri, hal ini sangat biasa sekali. Hanya sikap kita terhadap masa lalu dan masa kini dan sekaligus masa depan, jauh berbeda dengan harapan masa lalu dan kekiniaan. Baru beberapa tahun kemudian, karena ada kunjungan turis, takut dilihat seng-nota bene tidak asli, mau menggantikan dengan atap kenuki.
Pengalaman semacam ini dalam sejarah peradaban manusia entah dalam budaya lokal maupun budaya di daerah-daerah luar negeri, hal ini sangat biasa sekali. Hanya sikap kita terhadap masa lalu dan masa kini dan sekaligus masa depan, jauh berbeda dengan harapan masa lalu dan kekiniaan. Baru beberapa tahun kemudian, karena ada kunjungan turis, takut dilihat seng-nota bene tidak asli, mau menggantikan dengan atap kenuki.
Sikap Diam, “Raja Hoga Bera Tuan Ratu Lana” itu bernas
sekali
Dokpri, April 2011 |
Apa
maksudnya “Diam itu Bernas?” Saya menemukan sikap diamnya dalam berbagai
pengertian. Pertama, diam adalah sikap reflektif. Tengah Hoga dalam sepanjang
hidupnya, memiliki kemampuan merefleksikan tentang ziarah hidupnya. Mampu “mengawinkan”masa
lalu, masa kini, dan memproyeksikannya ke masa depan.
Kedua,
diam berarti sedang aktif. Aktif tidak hanya fisik. Aktif disini, sedang
berpikir. Disinilah terbaca kemampuan intelektualnya. Saya harus mengakui bahwa
pola asuh dan pola makan orangtua zaman dulu, luar biasa hebat. Bagaimana orangtua
dulu mampu mendidika anaknya sehingga anaknya dapat mengaktualisasikan dirinya
dengan sikap diam. Jarang zaman sekarang anak itu diam, duduk lama di tempat duduk.
Ketiga,
diam yang dibangunkannya menjadi pengola budaya. Dalam hati, pikir, dan
bathinnya tersimpan banyak “harta karun” masa lalu. “Harta karun” masa lalu dimilikinya
itu, perlu digali oleh anak-anak muda zaman kini. Dan hemat saya, hal ini jarang terjadi. Diamnya disini memiliki makna menunggu.
Biar anak-anak muda zaman kini datang dan belajar tentang budaya. Tentang hal ini, beliau
selalu katakan, lebih baik diam walaupun dikatakan tidak tahu, daripada tutu a
tou di nae noi, tetapi dalam banyak hal, apa yang ditutu itu salah!.
Keempat,
diam yang menjadi kekhasannya memiliki rasa, asa, asuh dan perspektif
filosofis. Ini yang dikatakan oleh Filsafat Manusia, setiap manusia mampu
menjadi filsuf serentak menjadi subyek yang terbuka untuk masa depan. Tanpa ini manusia itu kerdil. Tak bisa maju. Kalau majupun hanya mampu mengkritik dan dibelakang menjadi perusuh.
Kelima,
diam adalah ciri khas penjaga tradisi. Tradisi itu dihidupkan. Kontrodiktif
kan? Apakah dengan diam, tidak bisa menghidupkan budaya? Tentu bisalah. Namun
yang dimaksud disini dalam diam ciri khas penjaga tradisi adalah:
Pertama, kemampuan untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan. Yang sudah dilakukan itu baik, maka akan diteruskan dan diwariskan. Yang dilakukan itu, tidak baik, maka itulah yang harus ditinggalkan, dibuang, odo pnonu, Kedua, kemampuan untuk mengambil keputusan. Keputusan untuk melanjutkan terus sesuatu yang baik, diperlukan sikap diam. Begitu juga pengambilan keputusan ketika sesuatu itu dikatakan tidak baik. Ketiga, kemampuan bertransenden. Kemampuan ini dimaksudkan bahwa dalam diam Tenga Hoga mampu berdialog atau berkomunikasi dengan Kaka Bapa-nya. Jawaban dari Kaka Bapa-nya itulah, yang dijalankan dan dihidupkannya. Jadi, sesuatu yang dihidupkannya adalah hasil dari “bisikan” atau dalam istilah teologis, hasil dari communio-nya dengan Kaka Bapa. Rohani sekali makna diam ini!
Pertama, kemampuan untuk merefleksikan apa yang sudah dilakukan. Yang sudah dilakukan itu baik, maka akan diteruskan dan diwariskan. Yang dilakukan itu, tidak baik, maka itulah yang harus ditinggalkan, dibuang, odo pnonu, Kedua, kemampuan untuk mengambil keputusan. Keputusan untuk melanjutkan terus sesuatu yang baik, diperlukan sikap diam. Begitu juga pengambilan keputusan ketika sesuatu itu dikatakan tidak baik. Ketiga, kemampuan bertransenden. Kemampuan ini dimaksudkan bahwa dalam diam Tenga Hoga mampu berdialog atau berkomunikasi dengan Kaka Bapa-nya. Jawaban dari Kaka Bapa-nya itulah, yang dijalankan dan dihidupkannya. Jadi, sesuatu yang dihidupkannya adalah hasil dari “bisikan” atau dalam istilah teologis, hasil dari communio-nya dengan Kaka Bapa. Rohani sekali makna diam ini!
Berita Meninggal Tenga Hendrikus Hoga Liwun
Dokfb Thobias Liwun |
Berita duka datang dari Kampung Halaman tercinta, melalui SMS Oa Esi Timu Liwun pada pukul 12: 58: 58, tanggal 9 Juni 2020. Oa Esi menulis SMS demikian: "Mat siang ade, tenga Hoga mata kae. Apa kabar mio pe?"Respons SMS dari keluarga ini, saya lalu diam sejenak. Seperti biasa ketika mendengar kabar duka dari Kampung Halaman, jika ada berita yang tidak menyenangkan, sayaberhenti kerja lalu hening sebentar, dan kemudian berjalan menuju Kapela Kantor dan berdiam diri, berdoa bagi mereka, termasuk kali ini untuk Tenga Hoga. Dalam keheningan doa pribadi, saya mencoba membangkitkan kembali daya ingat saya, saya menghadirkan peristiwa-peristiwa perjumpaan saya dengan Beliau. Dalam doa, saya mencoba mengungkapkan segala karya baiknya membangun Lewotana tercinta. Satu harapan dalam hati, "Yesus akan menerima dia dalam rumah-Nya. Karena, bagaimanapun karya baiknya akan menghantar jiwanya mengalami belaskasih Allah Tritunggal.
Pulang dari Kapela, saya mencoba membuka FB saya. Rupanya sudah banyak saudara-saudari dari Kawaliwu telah mengirim postingan photo-photo hingga upacara pemakamannya. Pulang kerja saya menceritakan kepada isteri dan anak, bahwa ada berita duka dari Kampung Halaman. Isteri kenal, hanya anak saya yang tidak kenal. Karena belum pernah jumpa. Kalau isteri pernah berjumpa dengannya. Dan persis, photo Tengah Hoga di awal tulisan ini adalah hasil jepretannya. Ungkap isteri saya: hanya doa dan kenangan indah yang bisa keluarga kita, kenang dan bawa dalam doa-doa.
Dokfb keuarganya, bersama anaknya Bala Liwun, masa-masa sakitnya |
Belajar
dari sikap diamnya ini, maka kita perlu juga berdiam diri juga, merenungkan segala
peristiwa hidup kita, memberi makna terdalam dari hidup itu, dan membuka diri
untuk melakukan segala sesuatu yang baik dan indah demi untuk Lewotana tercinta.
Dokfb keluarganya. Wajah asli termakan usia, tapi tidak tua tradisi Kawaliwu |
Tengah Hoga,
Doakanlah
kami selalu.
Tengah
Hoga,
Moe
Eka hoga dari Kawaliwu.
Tengah
Hoga,
Moe
dari jauh
Tetapi
hadir dalam ziarah peradaban anak Lewotana.
Tede
kame ana moe.
Doakan
kame selalu.
Amin.
Pangkalpinang,
11 Juni 2020.
Komentar