Arak dan Politisi Partai Menjelang Pesta Demokrasi 2014 Di Flotim
Menjelang akhir tahun 2013,
warga Flotim digeger dengan persoalan MT. Tidak terhitung, berapa ton keringat
para warga yang keluar dari dirinya untuk MT. Keringat warga itu memang
bertetes-tetes yang mungkin tidak enak kalau dicium. Tapi keringat yang
ber-ton-ton dari anggota keluarga Flotim itu adalah keringat uang. Keringat
uang adalah keringat masa depan warga.
Awal tahun 2014, muncul lagi
persoalan ini: ARAK. Walaupun persoalan ini terjadi pada tahun 2013, mungkin
kalah saing dengan persoalan MT. Namun menjadi heboh ke publik adalah pada
2014, ketika proses penyelidikan dan pengadilan dirasakan bener-benar tidak
adil, oleh empat janda penjual ARAK di pasar Flotim. Melanggar PERDA FLOTIM
saja rasanya seperti melanggar UUD 1945.
Kedua persoalan ini, seakan
dibiarkan saja, sehingga ada peluang lain dengan munculnya “sang ratu adil”.
Persoalan tidak dapat diselesaikan dengan rasa keadilan malahan menjadi
bumerang untuk warga kecil. Jika berpikir secara linear, persoalan MT dan ARAK
merupakan persoalan yang menyetuh ekonomi warga. Kalau digali lebih dalam lagi,
bukan hanya ekonomi saja, tetapi Hak Hidup, Hak Asasi seorang dikebiri dan
dihilangkan begitu saja. Heran...bin ajaib, kan? Galau kali....!
Arak: Apakah bisa mencapai
kesepakatan hingga bertemu Tuhan?
Ide ini terasa sangat
fenomenal. Mengapa? Ada dua kajian logis yang boleh kita munculkan disini.
Pertama, ketika tua-tua adat menyelesaikan perkara, dan perkara itu boleh
dianggap sah, ada term-istilah “raduk neak”. “Raduk” dalam arti yang kasar
tabrak. Kalau rasa bahasa yang halus, “raduk” sama dengan bertemu, bertatap
muka. Dalam pengertian yang lebih jauh, “raduk” sama dengan pencapaian kata
sepakat. Sehingga apa yang sudah disepakati itu, deal, setuju, sepakat, tidak
diganggugugat lagi. “Neak” sama dengan batok kepala, yang sudah dibersihkan dan
dipakai untuk tempat minum atau makan. Dalam konteks “raduk neak”, neak dipakai
untuk tempat minuman.
Dalam wacana “raduk neak”,
didalam neak diisi ARAK, kemudian diadukan sebagai tanda kesepakatan telah
dicapai. Makna yang tersirat didalam “raduk neak” adalah kedua belah pihak
dengan gigih dan berani untuk menyepakati bahwa persoalan yang muncul itu,
telah disepakati dan damai. Kedua belah pihak telah menyatakan keberaniannya
untuk siap menjalankan solusi yang disepakati itu. Tidak ada tawar menawar
lagi. “Arak” dalam makna simbol ini diartikan sebagai simbol keberanian dan
perjuangan untuk menyelesaikan persoalan.
Kedua, “raduk neak” sepakat
untuk bertemu Tuhan? Warga Lamaholot, ketika “raduk neak” ini ada, tidak ada
term-istilah Tuhan. Mereka hanya mengenal bahwa keyakinan mereka akan kata
sepakat menyelesaikan permasalahan itu direstui oleh Wujud Tertinggi, yaitu
nenek moyang mereka. Nenek moyang mereka disimbolkan dengan sebutan “ratu nini”
atau diterjemahkan secara harafiah “dewa perempuan.” Kalimat “ratu nini” ini,
dalam makna antropologis disebut “Rera Wulan Tanah Ekan.” Dua simbol kosmik
langit mengetahui hasil kesepakatan para wakil warga (tua-tua adat) yang duduk
menyelesaikan persoalan. Bukan hanya itu, “Tanah Ekan”, sebagai simbol kosmik
bumi pun mengetahui persoalan dan sekaligus penyelesaiannya yang disepekati
bersama. Terjadi simbolik “Communio” vertikal-horisontal yang tidak gampang
dipahami.
Sampai disini, boleh kita
membuat kompedium pertama, bahwa kesepakatan bersama para tua-tua adat
peristiwa “raduk neak” membawa makna spiritual. Mengapa? Karena persoalan dan
hasil kesepakatan bersama yang diputuskan oleh tua-tua adat, secara transenden,
telah meminta kesepakatan “Rera Wulan Tanah Ekan”. Kesepakatan bersama bukan
hanya terbatas vokal, tetapi harus mencapai aksi bersama. Aksi bersamanya
adalah kedua belah pihak berani menjalankan solusi yang diberikan dalam
keputusan bersama atas persoalan yang dibahas. Bukan hanya meminta kesepakatan
“Rera Wulan Tanah Ekan, tetapi juga supaya Rera Wulan Tanah Ekan itu, menyertai
para warga untuk menjalankan hasil “raduk neak” dengan jujur, adil, dan damai.
“Raduk Neak”: Persekutuan
Tua-tua Adat Dengan Wujud Tertinggi.
Dalam Eklesiologi, ada
term-istilah yang mirip dengan “raduk neak”, yaitu “Communio” atau dipaham
dengan kata bahasa kita “Persekutuan.” Komunio yang Ekaristik, umat
dipersatukan di dalam Kristus, suatu persekutuan didalam keanekaragaman. Umat
yang berasal dari pola pikir, jenis pekerjaan, suku, bahasa, dan lain-lain,
disatukan melalui simbol perpaduan “air dan anggur” (simbol perpaduan dalam
Liturgi Ekaristi) melalui kehadiran Kristus dalam pribadi imam (in persona
Christi), sehingga seluruh alam ciptaan-Nya bersatu untuk menyembah Allah.
Peristiwa Komunio yang Ekaristik ini, tersembunyi dan tidak pernah selesai
diwahyukan oleh Allah.
Makna lain dari “Persekutuan”
ini adalah imam dengan kekayaan yang dimilikinya dalam imamat-Nya, menjadi
“duduk bersama” atau satu Dewan dengan Trinitas (Allah Bapa, Allah Putera, dan
Allah Roh Kudus). Imam mendamaikan segala perbedaan yang dimiliki umat dengan
Allah. Dan karena itu, segala doa dan pujian yang dibawakan umat diyakini
diterima oleh Allah.
Dalam konteks “raduk neak”,
simbol ARAK didalam neak, terlaksananya persekutuan antara tua-tua adat dengan
“Rera Wula Tanah Ekan.” Bahkan tua-tua adat menjadi satu kelompok dengan Wujud
Tertinggi, untuk berdamai menyelesaikan segala perbedaan dan persoalan yang
muncul. Terjadi damai secara kosmik. Kita boleh mengambil makna ARAK secara
kultural, budaya kita Lamaholot.
“Raduk Neak”: membawa persoalan
berakhir?
Raduk neak adalah proses
pencapaian kesepakatan. Proses ini belum selesai. Proses selesai ketika kedua
belah pihak berani menjalankan komitmen dan dengan setia menyelesai persoalan
dengan solusi yang disepakati bersama. Kapan selesainya? Tentu tidak pasti.
Karena ketika menjalankan solusi ada banyak hal, bisa saja muncul dan
tenggelam, walaupun hasil kesepakatan telah memberikan tengat waktu tertentu.
Jika solusi yang disepakati itu mudah dilaksanakan, pasti perkara yang dibahas
akan cepat selesai. Jika perkara yang diselesaikan dengan solusi yang berat,
inilah yang menjadi satu persoalan lagi. Maka hampir dipastikan bahwa persoalan
terkadang berlarut-larut hingga sampai pada beberapa negerasi berikutnya.
Raduk Neak adalah sebuah budaya
lokal Lamaholot untuk menyelesaikan suatu persoalan. Pertanyaannya adalah
apakah persoalan itu benar-benar tuntas diselesaikan? Lalu apakah sudah terjadi
saling mengampuni didalamnya? Ini tidak gampang. Memiliki persoalan tersendiri.
Arak dan Politisi: Dewan yang
mewakili Warga
Kita ingat makna ARAK secara
spiritual dan budaya yang disampaikan tadi dalam topik ini. Politisi adalah
wakil rakyat yang diusung oleh partai-partai tertentu. Mereka hadir dan
mewakili warga. Artinya bahwa segala persoalan, permasalahan, dan perkara yang
menyentuh rasa ketidakadilan, ketidakdamaian, ketidaksejahteraan, dan
lain-lain, diharapkan melalui wakil-wakil rakyat ini, mereka mampu membawa rasa
keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan lain-lain, untuk warga.
Ketika “duduk bersama” dalam
dewan menghasilkan sebuah produk lokal yang namanya “perda” tidak membawa rasa
keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan lain-lain, “persekutuan antar dewan”
perlu dipertanyakan oleh warga. Bahkan warga boleh saja mengajukan petisi untuk
tidak mempercayai lagi para anggota dewan yang terhormat tadi. Karena apa?
Mereka tidak mampu memayungi warga dengan rasa damai, adil, sejahtera, dan
lain-lain. Mereka adalah pilihan warga, yang semestinya menjadi corong warga
dalam persekutuan para dewan.
Tua-tua adat dalam menyelesaikan
perkara, persoalan, dan permasalahan mereka memiliki keputusan yang bermakna
“horisontal” bertanggungjawab kepada warga dan “vertikal” yang terarah kepada
Wujud Tertinggi. Sebaliknya, para anggota dewan pun, harus demikian. Bahkan
seharusnya para anggota dewan ini, mempunyai tanggungjawab yang lebih dari
tua-tua adat tadi, karena para dewan digaji rakyat, sedangkan tua-tua adat
adalah wakil warga yang tidak bergaji, tetapi memiliki komitmen dan kesetiaan
untuk membantu warga. Kita boleh membuka wawasan lagi, bahwa para imam kita
adalah “anggota dewan dalam Trinitas” dan sangat bersikap santu dan berbuat
lebih baik dan bagus, walaupun tidak bergaji.
Arak: Sebuah Fenomenal masa
kini
Arak merupakan sebuah minuman
khas Flotim karena berasal dari pohon lontar, dibuat dengan tekonologi
sederhana dan dimanfaatkan dalam upacara-upacara adat masyarakat Flotim. Makna
dari pemahaman ini khususnya ARAK dalam pemanfaatan ARAK dalam upacara-upacara
adat masyarakat semakin kabur karena fungsi ARAK mulai bergeser ketika ARAK
dikonsumsi sebanyak-banyak oleh orang-orang tertentu yang berakibat pada
kemabukan dan merugikan banyak pihak. Persekutaun tidak lagi menjadi warna khas
kehidupan masyarakat lokal, karena dirusak oleh para penggemar minum arak
berlebihan.
Ketika fenomenal ini mulai diatur
dalam rana pemerintahan, banyak orang terusik dan kebakaran jenggot, karena
dianggap melanggar nilai budaya dan spiritual. Ketika rasa keadilan, kedamaian,
kesejahteraan, dan lain-lain, dihancurkan oleh orang-orang tertentu karena
mabuk ARAK, orang lalu menggeneralisasikan bahwa itu kekuatan massal, sehingga
kalau mau hukum, hukum massal saja. Bukankah cara semacam ini, menghilngkan
juga makna ARAK secara spiritual dan budaya communio, perdamaian, dan keteraman
kita?
Mungkin jalan keluar yang
paling tepat dan cocok bagi kita, para pendidik, politisi, dan siapa saja yang
berkehendak baik adalah persiapkan pendidikan dalam keluarga yang baik dan
benar. Orangtua sebagai pendidik utama dan pertama, sudah saatnya mengambil
peran ini secara konsisten, komitmen yang benar, dan setia untuk berproses
dalam keluarga utama. Sehingga makna ARAK secara spiritual dan budaya,
senantiasa tidak terkikis dan mendapat tempat dalam relung hati Flotim. Karena
sebuah spiritual yang baik adalah spiritual yang mampu menyatukan yang
horisontal dan vertikal dengan baik dan penuh perdamaian. Sebuah budaya yang
baik bila budaya itu selalu dihargai dan dimaknai dengan cara yang baik dan
santun. Budaya harus terbuka untuk melihat “masa lalu, sekarang, dan memaknai
masa depan” yang didalamnya tumbuh subur ruang untuk kreativitas anak-anak
budaya. salam harmoni untuk-mu saudara-saudariku.***
Komentar