BUNDA MARIA: PEREMPUAN YANG REFORMIS SEPANJANG MASA
oleh: Alfons Liwun
Pengantar
Masih ingat dibenak saya, bahwa pada tanggal 29 Oktober 2005 lalu, sebuah peristiwa yang tak terlupakan yaitu bersama rombongan kelompok basis Sta. Theresia I berziarah ke gua Maria Belinyu. Ziarah kami kali ini begitu istimewa karena bisa bermalam di perumahan Pomal, di Belinyu. Ziarah kami dimulai pukul 20.00, yang diawali dengan meniti Jalan Salib Maria menuju puncak Kalvari, tempat Yesus Disalibkan. Di atas puncak inilah kami dihantar oleh Rm. Felix Atawollo, Pr dalam sebuah renungan dengan topik ”Balada Penyaliban”. Renungan itu membongkar kasak-kusuk hati kami, melerai benang kusut perjuangan hidup manusia yang pada akhirnya bermuara pada kemenangan akan kebangkitan Tuhan. Bahwa kebangkitan Yesus mengangkat kembali kemanusiaan kita yang rapuh menjadi manusia sejati, asal mampu mengampuni sesama, menolong orang dalam kesusahan dan menguatkan sesama yang dilanda krisis dalam hidup. Ziarah kami berlanjut lagi hingga merenung peristiwa-peristiwa Rosario di depan arca Bunda Maria Tak Bercela.
Dihadapan arca Bunda Maria, para peziarah kelut, meniti rangkaian rosario hingga selesai. Dalam doa-doa rosario itu, para peziarah begitu khuzuk, saya sendiri dengan mata menatap tajam ke arca Maria. Saya melihat raut wajahnya yang berseri, parasnya begitu cantik dan halus, berwibawa penuh keibuan dan terberesit suatu kekuatan yang begitu revolusioner. Saya sungguh kagum ketika itu dihubungan dengan realitas hidup sehari-hari. Bahwa begitu banyak kaum ibu, lebih luas kaum perempuan belum maksimal terbebaskan dari kungkungan patriarkat. Muncul dalam benak saya, pertanyaan begini: Apakah kaum perempuan mampu meneruskan semangat reformis Bunda Maria? Kemanakah makna sebuah panggilan hidup doa rosario yang selama ini didaraskan? Untuk membantu perjuangkan hidup kita sehari-hari, tulisan kecil ini mengajak kita untuk membaca kembali magnificat Maria (Luk. 1: 46–55) sambil menimbah semangat hidup Bunda Maria yang penuh reformis; yang pernah dilaksanakannya dalam karyanya untuk mendampingi Yesus Puteranya.
Belajar dari Semangat Reformasi Bunda Maria:
Sejak lama Gereja Katolik menghormati Bunda Maria. Karena Maria adalah Bunda Tuhan Yesus, Juruselamat kita dan Bunda Gereja. Gereja Katolik sejagat mengkhususkan dua bulan sepanjang tahun untuk menghormati Maria-Ibu Yesus, yaitu bulan: Mei dan Oktober. Dalam kedua bulan itu umat Gereja Katolik seluruh dunia secara khuzuk dan terus menerus berdoa kepada Yesus melalui Bunda Maria (per Mariam Ad Jesu), berdoa rosario secara bergilir dari rumah ke rumah, membaca dan merenung kitab suci, dan berziarah ke gua-gua Maria. Itu berarti, Gereja melaksanakan isi Kitab Suci, khususnya dalam Injil Yohanes 2: 1-11, yang didalamnya Maria mengambil peranan sebagai pengantara antara tuan pesta dengan Yesus dalam krisis kekurangan anggur, sebuah simbol kewibawaan suatu perjamuan bagi si tuan pesta.
Selain dua bulan khusus tadi, Gereja juga menghadirkan patung atau gambar Maria untuk dipajang di rumah-rumah kita ataupun di tempat ibadat dan gua. Ini sarana yang membantu kita dalam doa kepada Yesus melalui Maria. Dalam doa, kita tidak menyembah arca-patung (Maria atau Yesus atau santo-santa).
Jika kita melihat dan meneliti secara benar, semua arca dan gambar Maria yang ada dan beredar ditangan kita adalah lukisan Maria sebagai sosok perempuan yang halus, cantik, yang seringkali dengan tangan terkatup atau merentang terbuka, seolah-olah hidupnya diisi dengan doa dan pemberi rahmat melulu. Ini suatu lukisan seorang figur ibu Maria dari suatu zaman religius-devosional. Gambaran itu seakan-akan kita mengkotakkan ibu Maria, yang sejalan dengan perempuan dalam struktur patriarkat. Bahwa peran seorang ibu hanya terbatas pada urusan rumah tangga, mendidik, dan membesarkan anak, memasak dan mencuci, serta melayani suami. Betulkah bahwa lukisan Bunda Maria, sosok perempuan di zaman itu dan sekarang hanya memiliki kredibilitas yang demikian kaku?
Membaca, merenung, menafsir, dan mengambil langkah Baru
Hidup adalah suatu perjuangan untuk melewati proses. Didalam proses hidup itu, kita menenun jaringan peristiwa menjadi proses yang utuh. Kita kembali melihat pada Kitab Suci, Lukas, 1:46 – 55 bahwa lukisan Maria disana berbeda sekali dengan apa yang kita lihat dan perhatikan pada arca-patung. Maria juga melewati proses hidup. Maria berjuang untuk mendukung karya puteranya. Bunda Maria adalah seorang perempuan, seorang ibu yang perkasa, seorang tokoh reformis dari kelas bawah yang amat membantu kita dalam revolusi hidup baik secara rohani, politik, maupun ekonomi kita, yang diperjuangkan oleh Yesus Puteranya. Melalui madah Maria yang mengagumkan dalam Injil Lukas, 1:46—55, kita menemukan sebuah nyanyian pembebasan-revolusi.
Pertama: Revolusi Rohani: “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan menceraiberaikan orang yang congkak hatinya.” Sebaliknya “rahmatnya turun-temurun bagi orang yang takwa. Maria memuji kebesaran kuasa Allah, karena rahmat penebusan yang diterimanya, yang membuat dirinya yang berasal dari kaum lemah menjadi manusia yang takwa, hanya percaya pada Allah.
Kedua, Revolusi politik: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang yang rendah. Maria menunjukan visinya dengan menatap jauh akan kejadian yang sedang berlangsung dalam dunia dan dirinya. Bahwa akan terjadi pembalikkan arah kuasa duniawi kepada ”sisi kaum lemah.”
Ketiga, revolusi sosial-ekonomi: “Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa.” Setelah Maria menegaskan kebesaran Allah yang sudah terjadi dalam dirinya, karya Allah bukan hanya sampai disitu, tetapi Allah terus menerus bekerja dan masuk dalam sejarah hidup dunia. Allah mau dunia menjadi kerajaan-Nya, mau berkuasa atas dunia, didalamnya termasuk hidup sosial dan ekonomi dunia.
Penutup
Bunda Maria telah memberikan yang terbaik bagi dunia. Maria sudah lebih dulu menunjukkan jalan reformasi dalam hidup, baik rohani, politik, maupun sosial-ekonomi, yang dilihatnya bahwa didalamnya peran utamanya adalah Allah. Semangat Maria yang demikian ini, sebenarnya juga adalah semangat kita.
Karena telah lama kita sudah menggali semangat Maria dalam doa-doa dan devosi kita. Maria telah memberikan kita jalan keluar sebuah pembebasan dalam hidup baik secara rohani, politik, dan sosial-ekonomi. Masih beranikah kita untuk hidup dalam keterikatan sebuah struktur yang tanpa kompromistis? Kita terus menghormati Maria dalam hidup dengan meretas jalan pembebasan Maria, sambil bersama Maria kita menyanyikan pujiannya, ”Jiwaku memuliakan Tuhan, hatiku bergembira karena Allah Juruselamatku.” ***
Komentar