CURHAT PEREMPUAN YANG BERZINA DAN RELEVANSINYA DALAM PENGEOLAHAN MAKNA SEBUAH KONFLIK

Repro oleh: Alfons Liwun


”Jika anda tidak mau orang lain menceriterakan rahasia anda,
maka jangan ceriterakan rahasia anda pada mereka” (Seneca)

Hantaran:

Dalam dunia dewasa ini, banyak orang dengan berbagai macam cara mau mengekspresikan dirinya. Mengekspresian diri adalah suatu proses sadar untuk mengungkapkan diri (interen) keluar (eksteren) baik kepada orang dekatnya maupun kepada publik, kebanyakan orang. Yang terpenting dalam pengekspresian diri bukan cara/sarana yang dipakai tetapi apa yang terkandung didalam dirinya keluar kepada orang, dengan tujuan tertentu.

Penulis merepro kembali berkas-berkas ekspresi diri seorang perempuan yang berzina (boleh dibaca: Maria Magdalena) yang telah diungkapkannya pada proses penangkapannya yang menakutkan dirinya. Repro ceritera yang akan dirangkaikan di bawah ini dimaksudkan untuk mengajak para pembaca, untuk membaca dan menilainya sendiri. Ceritera ini mungkin kurang lengkap atau belum terlalu menukik untuk menjadi sebuah refleksi bagi kita. Namun lebih dari itu, ini hanya curhat. Mungkinkah sebuah curhat mampu mengubah hidup kita? Sekali lagi, tergantung kita yang menilai dan menjalaninya.

Curahan hati (curhat) sering kita lakukan. Curhat punya nilai dan tujuan tersendiri. Curhat perempuan yang berzina yang direpro kembali disini, jauh berbeda dengan curhat kebanyakan orang dewasa ini. Bedanya ialah mendapat pencerahan khusus dan tujuan yang dicita-citakan tercapai yaitu menemukan kembali jati dirinya yang tersobek dan hilang. Penemuan kembali jati dirinya bukan karena semata-mata berbela rasa si pendengar curhat, tapi karena sisa-sisa kekuatan yang ada dari si pencurhat mengola dirinya dan berjuang secara radikal untuk bangkit dan bergerak menuju Sang Guru. Curhat menjadi kekuatan yang mahadahsyat karena mampu mengubah habitus lama menjadi habitus baru. Mampu bangkit dari rutinitas hidupnya yang lama kepada permukaan realitas luas untuk memulai realitas baru yang sama sekali lain dari yang lain. Inilah repronya, selamat membaca semoga berguna gana bagi perjalanan hidup kita semua.

Waduh...Saya tertangkap
”Saya merasa sangat bosan dan tidak bahagia sama sekali; jiwa saya begitu kosong dan hampa, sampai-sampai saya tidak dapat membayangkan apa yang dapat memuaskannya-oh, bahkan kebahagiaan surgawai pun tidak (the Journals of Kierkegaard)

Isinkanlah saya mengungkapkan isi hati saya. Saya tidak tahu memulai curhat saya ini dari mana dan mau kemana. Namun yang terpenting bagi saya adalah saya telah ditangkap basah kuyup oleh ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi.

Saya ditangkap karena saya kedapatan berzina. Saya dibawa ke hadapan Sang Guru. Dihadapan Sang Guru saya diadili dengan hukum Taurat Musa bahwa harus dihukum rajam dengan batu hingga mati. Mendengar gugatan para kaum elite Yahudi, sekujur tubuh saya gemetar ketakutan. Seluruh anggota tubuh saya dibasahi keringat panas dingin. Dalam benak hati saya muncul kalimat ini. “Ini saatnya saya harus mati, karena sungguh saya telah melanggar hukum Taurat.” Dibalik pengadilan saya, sebenarnya Sang Guru pun diadili. Mengapa? Karena kaum elite meminta jawaban Sang Guru yang sebenarnya. Pro terhadap hukum Taurat atau pro terhadap saya. Ini yang saya maksudkan Sang Guru pun diadili.

Ketika kaum elite meminta jawaban Sang Guru, telinga saya sungguh-sungguh berada dalam kondisi volume yang paling tinggi untuk stand by mendengar jawaban Sang Guru, walaupun saat itu saya telah memastikan bahwa Sang Guru akan pro terhadap hukum Taurat. Saya tahu ini karena Sang Guru termasuk orang yang taat pada hukum. Mau tahu buktinya? Ingat bahwa ketika genap delapan tahun, orangtua Sang Guru membawa-Nya menghadap Nabi Simeon di Bait Allah untuk disunat menurut Hukum Yahudi. Bahkan seterusnya Sang Guru selalu hadir dalam perayaan-perayaan kaumnya, menurut hukum budaya mereka. Misalnya umur dua belas tahun ikut perayaan paskah di Yerusalem.

Ternyata jawaban Sang Guru lain dari yang saya harapkan; yang membuat saya malu. Namun dalam balutan rasa malu itu, muncul dalam jiwaku suatu “tunas penyesalan” yang mempunyai kekuatan tersendiri dan mulai menjalar ke sekujur ragaku. Tanpa sadar, aku bangkit dari kenistaan dan tanpa malu lagi meransek maju duduk bersanding dengan Sang Guru. Kaum elite Yahudi perlahan-lahan mundur dari kerumunan dan pergi - tanpa menoleh dengan hati gusar, entah ke mana. Jawaban Sang Guru meneguhkan “arsip-arsip dalam bejana jiwaku” yang menggoreskan memori kelam kaum elite yang selama ini juga berrelasi dengan saya. Kenapa ya, Sang Guru tahu? Kenapa ya Sang Guru bisa memberikan jawaban seperti itu? “Barangsiapa yang tidak pernah bersalah, dia-lah yang lebih dulu melempari dengan batu?” Sebuah kalimat yang mencorengkan wajah kaum elite dan memotivasi saya untuk bangkit.

Setelah kejadian di siang bolong itu, saya pun disuruh Sang Guru untuk pergi, dengan pesan. “Pergilah, Aku pun tidak menghukumi engkau.” Sekali lagi, sebuah frase pengutusan bukan bebas untuk tetapi bebas dari. Dengan sisa rasa malu, saya pun pergi. Saya pun tidak mengeluarkan kata-kata untuk Sang Guru.

Qua Vadis?

“Kemanakah saya harus pergi?”, inilah sebuah pertanyaan yang terus menerus muncul dalam pikiranku. Kalau saya pergi ke tempat itu lagi, pada satu saat saya pun akan ditangkap lagi. Mungkin langsung dirajam dengan batu hingga babak belur dan mati, tanpa punya masa depan yang jelas, tanpa dibawa lagi ke hadapan Sang Guru.

Dalam kebingungan, saya lari ke padang gurun melewati aliran sungai dan menepi di sebuah gua di seberang sungai itu. Saya telah basah. Saya buka seluruh pakaian saya. Saya menyandar tubuh saya di tepi pintu gua. Dalam kesendirian itu, saya mengutuk diri saya. Saya minta agar ular-ular piton padang pasir datang dan menelan saya hidup-hidup. Saya biarkan tubuh saya digigit dan dimakan binatang-binatang buas padang pasir.

Di pintu masuk sebuah gua

Desiran angin padang pasir menerpa sekujur tubuh saya. Rasanya butiran angin padang pasir ada yang menyeruak masuk ke dalam pori-pori kulit saya. Bukan hanya masuk namun perlahan-lahan merambat ke kaki, tangan, dada, dan kepala saya. Akhirnya seluruh diri saya terasa dingin dan gemetaran. Saya perlahan-lahan membuka mata dan berusaha bangun untuk mengambil pakaian yang saya jemur tetapi rasanya semakin dingin dan berat. Saya pasrahkan diri, seperti seorang bayi mungil dan dalam hati saya bergeming “biarlah saya mati dengan cara demikian.”

Lalu apa yang terjadi? Seberkas cahaya terfokus pada mata saya. Silau sinar seakan menguatkan saya. Sesosok manusia dalam cahaya itu mendatangi saya. Saya bangkit dari tidur saya, tanpa sadar saya menggerakan tangan saya ke kepala, mengatur rambut saya, agar rambut saya yang terurai panjang bisa menutup seluruh tubuh saya. Mata saya tertuju pada cahaya dan sesosok manusia yang melangkah perlahan-lahan menuju saya. Saya melihat, biasan sinar yang menerangi pintu dan diri saya itu bergerak keluar masuk dalam tubuh sosok manusia itu, seperti bola pijar. Sosok manusia itu semakin mendekat dan saya pun merasa seperti terbakar. Dalam kesakitan karena sinar itu, saya bergeming “Jangan datangilah aku, aku telanjang! Biarkanlah aku berpakian dulu agar seluruh jubah yang pernah saya pakai habis terbakar bersama seluruh diri saya.”

Dengan berseleroh seperti itu, saya lalu mengambil baju dan saya memakainya. Sosok manusia itu berdiri di hadapan saya. Saya pun tidak segan-segan menatap-Nya. Perpaduan sinar mata memunculkan gelora jiwa saya. Dulu tatapan yang sama muncul gelora napsu, kini terasa perih yang menyakitkan karena terasa seperti distrum, yang menghangatkan jiwa saya yang terkulai. Strumnya bukan menghanguskan tetapi menyegarkan daun-daun hati yang akan melahirkan daun-daun muda yang segar dan menghijau. Perpaduan tatapan melahirkan inspirasi hidup baru.

Perpaduan tatapan, memberikan kepada saya untuk menjatuhkan pilihan “Kabar yang Baik atau kembali kepada hidup lamaku.” Dalam membuat pilihan, ternyata Kabar yang Baik, yang mendorong saya untuk tampil di depan umum sebagai tanda pertobatan saya. Perpaduan tatapan menggertakan saya untuk memulihkan sikap dan nilai hidup saya dari yang “bejat” kepada kesempurnaan hidup. Perpaduan tatapan menguatkan saya untuk menunjukkan sikap metanoia.
Di sebuah rumah – di Betania
“Ketololan seseorang merupakan keuntungan bagi yang lain;
karena tidak ada seorang pun sedemikian mendadak
menjadi makmur tanpa melalui kesalahan-kesalahan orang lain”(Francis Bacon)

Inilah saatnya bagi saya untuk memulihkan sikap-sikap saya yang merupakan hasil dari pengadilan dan perpaduan tatapan di sebuah gua di tepi sungai. Dengan keberanian, saya masuk ke dalam sebuah rumah di Betania, tempat Sang Guru datang melawati kaum elite Yahudi. Di depan kaum elite Yahudi, saya mencurahkan seluruh diri dan segala kekayaan yang saya miliki bagi Sang Guru. Dengan sikap berlutut disampaing balai, saya menunduk kepala, mencium kaki Sang Guru. Air mata saya tercurah di atas kakinya yang setiap hari berjalan kemana-mana membawa Kabar Keselamatan.

Lalu saya melap kakinya dengan minyak wangi yang termahal sebagai hadiah pertobatan saya di depan Sang Guru dan kaum elite Yahudi. Tentu kaum elite tercengang bahkan mengerti apa artinya perbuatan saya. Dengan perbuatan saya, kaum elite bukannya memuji dan membanggakan, tetapi malahan cemburu dan “berkilau-kilau seperti burung kutilang” terhadap Sang Guru. ”Mengapa ia lakukan ini semua? Minyak wangi yang termahal ini, kenapa ia tidak menjualnya untuk orang-orang kecil dan menderita? Suatu sikap kepalsuan untuk membela kaum pinggiran. Memang kaum elite hidupnya seperti itu. Mereka tidak mau bertobat walaupun sering kali mereka menjumpai Sang Guru. Keseringan menjumpai Sang Guru semestinya memunculkan sikap baru yang positip bukan sikap baru yang negatip dan berniat buruk. Sebenarnya tanpa sadar Sang Guru menjadikan saya alat pertobatan bagi mereka, tetapi mereka sendiri tidak sadar. Mereka mengerti tetapi tidak membiarkan hati mereka untuk menerima hal baru. Mereka menutup diri rapat-rapat. Benar bahwa mereka adalah seonggok mayat yang berjubah putih tetapi berjiwa harimau.

Pengalaman saya di Betania, telah mengubah hidup saya untuk hidup dalam mental set yang baru. Saya mulai berpakaian yang rapih dan bersih sebagai simbol ungkapan hati saya yang sudah bertobat. Rambut saya yang dulu terurai kini terikat rapi berkepang-kepang (plegmasin) bahkan ditutup dengan selembar kain sebagai tanda saya mulai menghargai diri saya dan hakekat kehadiran saya sebagai citra Tuhan. Pundi-pundi berisi minyak wangi yang mahal yang selama ini saya pakai untuk mewangi tubuh saya sebagai penggoda, kini saya jual dan saya mau memakainya untuk aroma spirit saya (spirit faitting) dalam karya pelayanan.

Tatapan mata saya yang selama ini hiruk pikuk memantau hal-hal yang sensual, kini dengan keredupan saya merenung dan memantau situasi riil seperti kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, dan kekerasaan hidup yang karena kuasa kaum elite, untuk berani tampil dan membela setiap orang dalam tekanan hidup baik karena politik, budaya, sosial, ekonomi dan hukum.

Iluminasi sampai ke radix
”Saya tidak peduli apa yang akan terjadi pada diri saya,
selama perubahan itu menuju arah yang lebih baik” (William Feather)
Pengalaman perjumpaan dengan Sang Guru mulai dari pengadilan saya ketika ditangkap kaum elite, “pertemuan mistis di pintu sebuah gua di seberang sungai” dan di rumah seorang kaum elite Yahudi, mengusik saya untuk selalu keluar dan mengintip perjalanan Sang Guru, kemana dan dimana serta berkumpul dengan siapa. Pengalaman perjalanan Sang Guru bersama para murid-Nya, perlahan-lahan membekas dalam diri saya. Pengalaman yang membekas itu bukan hanya sebuah pengalaman biasa. Namun pengalaman itu luar biasa sebab selalu mendorong saya untuk semakin kuat menyaksikan pengalaman dahsyat yang terjadi mulai dari “ruang makan Yesus” hingga ke taman Getsemani. Dan dari Getsemani ke istana Pilatus menuju Golgota.

Saya mencatat dalam lubuk hati saya, semua pengalaman yang saya alami ketika mengikut Sang Guru dari jauh. Kenapa saya mengikut-Nya dari jauh? Inilah sifat hakiki seseorang yang minder yang barusan menghadapi sebuah pengalaman yang memilukan. Untuk mengikut Sang Guru dengan latar belakang saya yang demikian apalagi pada waktu itu saya cukup terkenal, maka saya pun menyadari diri bahwa mengikuti Sang Guru membutuhkan waktu dan modal yang cukup. Mengapa saya menyebutkan demikian?

Alasan waktu adalah sebuah argumen alternatif. Mengapa alasan ini merupakan argumen alternatif? Waktu merupakan tridimensi - masa lalu, sekarang dan akan datang. Dalam hubungan dengan perjumpaan yang mengubah hidup yang terpuruk menjadi hidup baru, waktu bisa menjadi sebuah alat argumen pembelaan diri. Ya…kapan-kapan lah, baru bisa berubah, misalnya. Pernyataan seperti inilah yang saya sebut argumen alternatif. Jadi waktu bisa dipakai oleh banyak orang menjadi argumen pembelaan diri untuk tidak memulai dalam hidup baru. Yang saya mau katakan, yang terpenting sebenarnya tobat untuk keselamatan bukan tunggu dulu atau nanti. Tetapi justru “sekarang dan disini” (haec et nunc).

Alasan bahwa harus cukup modal merupakan suatu alasan primer. Apa yang harus menjadi modal untuk mengikut Sang Guru? Pertama-tama saya harus katakan bahwa mengikut Sang Guru harus ada penyangkalan diri. Penyangkal diri ini penting. Penyangkal diri artinya pergeseran hidup secara perlahan-lahan menuju hidup baru. Didalamnya punya niat yang bening, memiliki jiwa besar dan punya orientasi yang jelas. Perubahan hidup secara radikal memang tidaklah gampang. Bagi saya perubahan hidup secara radikal merupakan sebuah iluminasi yang berakar dalam suatu ruang khusus jiwa saya. Tanpa iluminasi ini dan hanya iluminasi biasa, hanya akan terjadi perubahan hidup yang sesaat saja. Maksudnya, sekali berubah untuk kebaikan, kebenaran, dan keadilan tidak akan berpulang lagi pada manusia lama yang terpuruk dalam jeratan dosa.

Mengikut Sang Guru dari jauh
”Dari jauh ketatap penuh pesona, pesona itu ternyata objek
yang mengintimkan diri demi suatu pergeseran nilai untuk kebaikan” (NN)
Hidup baru berarti hidup dalam relasi intim dengan Sang Guru. Bagi saya, perjumpaan dengan Sang Guru telah memacu saya untuk memulai babak baru. Mengikut Sang Guru mulai dari jauh itulah langkah kedua saya setelah merasa tergerak hati untuk keluar dari sikap keterpurukkan yang saya alami. Dalam pengalaman perjalanan saya mengikut Sang Guru dari jauh selama ini, rasanya seperti ceritera seorang buta yang disembuhkan-Nya bahwa secara perlahan-lahan, ia mulai melihat seperti bayangan pepohonan yang bergerak sampai melihat secara jelas dan terang.

Dengan spirit ala orang buta, saya pun merasa diri bahwa cara mengikut Sang Guru dari jauh, harus diubah dengan model pendekatan persuasif - memberanikan diri untuk bergabung dalam kelompok keduabelas orang. Dengan spirit ala orang buta, saya mulai mendekati diri dengan kelompok duabelas. Dan mulai saat itu, kemana Sang Guru pergi, saya selalu ikut dan belajar melayani dan belajar untuk hidup di depan publik. Saya menyadari bahwa dengan cara beginilah, saya selain semakin dekat dengan Sang Guru, mengenal kelompok 12 tetapi lebih jauh dari itu didalamnya saya berproses menggali potensi saya untuk mengarungi samudera hakikat kemanusiaan saya dan orang lain.

Mendekatkan diri dalam kelompok 12.

Kelompok 12 maksudnya jumlahnya ada 12 orang. Kelompok 12 adalah kelompok inti. Kelompok 12 adalah orang-orang pilihan Sang Guru sendiri melalui suatu proses pembelajaran yang cukup panjang. Kelompok 12 merupakan orang-orang yang setia, penuh kerelaan hati, dan rela berkurban setiap saat untuk mengikuti Sang Guru. Walaupun diantara mereka terkadang kurang kompak. Ijinkanlah saya menyebut kelompok 12 ini sebagai kelompok ”elite.” Karena selama saya mendekati dan bergaul dengan mereka, ternyata dari kelompok ini, mereka adalah orang-orang kecil, orang-orang pinggiran, orang-orang anonim yang memiliki semangat juang yang tinggi dan punya jaminan hidup yang layak di kemudian hari. Mereka memiliki materai hidup, sebagai tanda pengenal yang selalu melekat di hati mereka. ’Tiba saatnya, Aku akan pergi. Dan dimana Aku pergi, di situpun kamu ada bersama aku.” Karena ”bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Jaminan seperti ini memotivasi saya juga untuk semakin erat melekat pada Sang Guru dan kelompok 12. ”Akulah pokok anggurnya, dan kamulah ranting-rantingnya.”

Jaminan bagi mereka yang dijanjikan Sang Guru, terus terang saja bahwa saya pun betul-betul tertarik. Karena itu, mulai saat itu, saya menghubungkan peristiwa perjumpaan ”sinar mistik” di depan pintu sebuah gua. Semakin dalam saya menerawang memikirkan pengalaman itu, juga sikap-sikap yang dimiliki kelompok 12, rasanya bagaikan struman listrik yang menyengat saya tetapi sekaligus juga mengundang saya untuk masuk dalam kelompok mereka yaitu ”dunia perjanjian dan jaminan mereka.”

Semakin jauh saya menerawang, semakin mengerti apa makna sebuah kehidupan yang tengah dijalani. Ternyata hidup yang ditempuh ini, hanya sebentar. Karena itu, hidup yang hanya sebentar itu, diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama yang ada di sekitar kita. Ketenggelaman saya dalam rutinitas hidup, kini saatnya untuk bangkit dan bergerak ke permukaan realitas hidup yang lebih luas. Dengan demikian, hidup adalah perjuangan memaknai apa yang telah ditenunin dan menjahit makna hidup yang telah koyak. ***
”Jangan pernah berhenti menyakini,
kalau hidup ini akan menjadi lebih baik,
baik bagi kehidupan anda sendiri
maupun bagi kehidupan orang lain” (André Gide)


Refleksi kita, apa?
”Larilah sekuat tenagamu untuk mencapai tujuan yang diimpikan;
lalu tanyakan pada dirimu, kemana engkau harus tuju?” (NN)
Jahitan repro ceritera tadi, penuh dengan konflik batin dari tokoh utama Perempuan berzina (Maria Magdalena). Konfliknya bersettingkan kecemasan yang tertaut dalam ketakutan. Konflik inilah yang kita refleksikan untuk memaknai suatu perjalanan hidup yang tengah kita lalui. Saya tidak menampilkan teori tentang konflik yang sering dipelajari di bangku studi.

Dari ceritera tadi, kita diberi peluang untuk merumuskan kembali konflik dan bagaimana mengola konflik itu menjadi sebuah peluang yang membongkar kecemasan dan memecahkan ketakutan yang meliliti diri. Agar kita pun mampu untuk menyikapi persoalan-persoalan hidup yang kita hadapi dalam dunia dewasa ini.

Saya dan anda ataupun siapa saja, dalam perjalanan waktu selalu tenggelam dalam realitas hidup. Realitas hidup yang saya maksudkan disini adalah rutinitas kerja ataupun kegiatan yang dilakukan secara terus menerus. Rutinitas setiap hari seseorang adalah perjuangan untuk memuaskan keinginan biologis dan psikologis. Dalam perjuangan ini, jati diri menjadi pertarungan sebuah makna yang hanya sesaat. Seluruh rangkaian potensi yang menyelimuti jati diri tersobek hanya karena suatu keinginan. Hidup yang sebenarnya merupakan suatu anugerah dan tugas yang harus diberi makna secara positip malahan menjadi sebuah asesoris palsu yang perlahan-lahan memudarkan jati diri.

Dengan begitu, manusia menjadi alienasi dengan jati dirinya tapi sekaligus memaknai jati dirinya secara lain dengan menerobos ke dalam suatu realitas hidup yang majemuk. Martin Heidegger (1889-1976) menyebutnya sebagai suatu ”keterlemparan” ke dalam sebuah kanal yang mahadashyat yang pada gilirannya menyebabkan manusia menjadi cemas dan takut untuk hidup. Kecemasan manusia akan hidupnya seakan tidak memiliki ”objek” yang jelas. Seakan-akan ”kosong”, ”gelap”, dan ”tanpa dasar.” Sedangkan dalam ketakutan manusia, objek yang ditakuti jelas. Memiliki dasar yang kuat yang dalam perjalanan hidup, manusia bisa mengatasinya. Dengan kata lain, kecemasan manusia jauh lebih luas ketimbang ketakutan manusia itu sendiri. Karena itu, hidup yang adalah perjuangan pemaknaan hidup, sebenarnya mencari solusi mengatasi ketakutan dan memaknai secara baru realitas kecemasan manusia itu sendiri.

Kembali kepada konflik Perempuan berzina, ia sendiri disadarkan dengan peristiwa penangkapan dirinya oleh kaum Farisis. Apakah tanpa tindakan kaum Farisi, ia mampu menemukan kembali jati dirinya yang sebenarnya? Entahlah! Satu hal yang pasti adalah peristiwa penangkapan Maria Magdalena telah membuat dirinya sadar akan seluruh rangkaian perbuatan yang selama ini dilakukannya. Penangkapan adalah suatu moment pemenggalan sinetron hidup dirinya. Penangkapan dirinya merupakan moment pengesetan kembali ”balada penyaliban dirinya” menjadi ”mazmur teduh” yang menghanyutkan dirinya untuk menggapai cita-cita, yaitu menenun kembali jati diri yang tersobek.

Apa yang ditenun Maria Magdalena? Menyusun kembali sejarah hidupnya dengan berlari mendiamkan diri sejenak di depan sebuah gua, di pinggiran sungai. Disinilah ia memulai membuat peta pengolahan konflik. Dalam kasah kusuk penyusunan peta pengolahan konflik, ia dibantu oleh pencerahan sinar misterius. Pencerahan di depan gua menjadi pemotivasi yang mengubah pola pikir dan pola bertindak yang lama menjadi pola pikir dan cara bertindak yang baru (habitus baru).

Peta pengolahan dirinya berproses dilaluinya. Mendekatkan diri pada Sang Guru yang dimulainya dari kejauhan, mengintip setiap gerak gerik perjalanan Sang Guru. Untuk mencapai kepada Sang Guru, pendekatannya dengan para murid dilakukankannya. Berdialog dan berusaha untuk memahami kelompok 12. Dan pada akhirnya, ia mampu mencapai garis terdepan, yang selalu duduk dekat kaki Sang Guru mendengarkan dan melaksanakan suara Sang Guru. Bahkan dalam penggalan repro ceritera lanjutan dari sumber kepingan repro, ia mampu meraih hati Sang Guru untuk menjadi seorang murid perempuan yang lebih dahulu mendapat rahmat kebangkitan.

Tanpa sadar atau tidak, peta perjalanan hidup kita dalam rutinitas, kita hampir setara dengan perempuan berzina. Karena terlalu tenggelam dalam rutinitas, kita lupa akan realitas luas yang ada di sekitar kita. Realitas yang luas itu, bisa menawarkan sesuatu yang lain, yang lebih baik tapi tidak terlalu buruk seperti rutinitas yang ada. Bagaimana kita bisa keluar dari rutinitas, yang seakan-akan mendera jati diri menjadi berkeping-keping untuk mengatasi rutinitas yang menakutkan dan menjembatani rutinitas agar kita tidak terlalu cemas? Kierkegaard (1813-1855) mengajak kita untuk menjembatan kecemasan yang gelap itu dengan membangun kembali relasi kita dengan Sang Guru. Atau istilah filsuf eksistensialis dengan ber-iman kepada Sang Guru. Dalam waktu menjawabi solusi rutinitas agar keluar dari kecemasan diri, Perempuan yang berzina dan Kierkegaard sama. Sebab dalam berrelasi dengan Sang Guru, proses pencerahan ada. Pencerahan yang ada itu mengisi kecemasan diri yang gelap sehingga menjadi pelaku baru yang terus memotivasi untuk beralih dari pola pikir dan bertindak yang lama menjadi pola pikir dan bertindak yang baru. ***

Sumber Kepingan Repro:
1.Yoh. 8:1-11: Perempuan yang berzina – Maria Magdalena.
2.Yoh. 12:1-8; Mat. 26:6-13; Mrk. 14:3-9; Luk. 7: 36-50: Yesus diurapi di Betania
3.Luk. 8: 1-3: Perempuan-perempuan yang melayani Yesus, termasuk Maria Magdalena
4.Mrk. 15: 42-47; Mat. 27:57-61; Luk. 23: 50-56; Yoh. 19:38-42.: Yesus dikuburkan, Maria Magdalena dan perempuan yang lain melihat Yesus dibaringkan.
5.Mrk. 16:1-8; Mat. 28:1-10; Luk. 24:1-12; Yoh. 20:1-10: Kebangkitan Yesus-Maria Magdalena pergi ke kubur Yesus membawa rempah2 untuk meminyaki jenazah Yesus.
6.Mrk. 16: 9-20: Yesus menampakan diri beberapa kali termasuk kepada Maria Magdalena.
Sumber Buku: Gudang Ilmu:
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG-PT. Gramedia, 2010.
=****=





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik