FILOSOFI HUMANIORA DARI MASYARAKAT KAWALIWU
Kawaliwu, sebuah desa yang dulu menjadi bagian dari Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam kebersamaannya dengan desa-desa lain dalam wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Kawaliwu dikenal dengan nama baru yaitu Desa Sinar Hading. Sebuah desa yang terpatri di sepanjang pantai utara - berhadapan dengan Laut Flores - 20-an kilo meter dari Kota Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur dan 500-an kilo meter dari Waiklibang, Ibu Kota Kecamatan Tanjung Bunga.
Nama baru yang disandang Kawaliwu – Sinar Hading, ketika masih bergabung dengan Kecamatan Tanjung Bunga, hemat saya disebabkan oleh tiga alasan berikut ini.
Pertama, alasan geografis. Kawaliwu terletak di sepanjang sebuah teluk yang dikenal dengan nama ’Teluk Hading.” Dari nama Teluk Hading ini, ditambah satu kata ”sinar” sinonim dengan cahaya atau nur atau terang. Penempatan ”Sinar” di depan kata Hading dipandang sebagai sesuatu yang nyata bahwa di Kawaliwu tempat terbitnya matahari, sumber sinar atau cahaya bagi bumi. Dengan begitu nama Kawaliwu dalam perspektif baru adalah ”dari Teluk Hading terpancang cahaya yang terus bersinar, memancarkan cahaya tanpa redup.
Mungkin alasan yang kedua ini untuk menjawabi situasi baru pada tahun 2006, ketika ada pemekaran Kecamatan Tanjung Bunga. Posisi Kawaliwu menjadi ibu kota pemekaran kecamatan dari Kecamatan Tanjung Bunga. Kini Kawaliwu menjadi Ibu Kota Kecamatan Lewolema.
Sebagai ibu kota Kecamatan Lewolema, Kawaliwu semakin eksis dalam bersinar bagi keempat desa lain yang ada di sekitarnya (Desa Bantala – Lewotala, Desa Balukhering – Belogili, Desa Painnapan – Lamatou, dan Desa Leworahang). Mengapa demikian, karena historisnya berbeda dengan sejarah keempat desa lain. Kelima desa – dalam Kecamatan Lewolema harus bekerjasama untuk membangun masyarakat yang ada di desa-desa ini. Mengapa kerjasama ini penting? Paling kurang ada beberapa alasan yang cukup diterima untuk saling bekerjasama. Alasan yang disampaikan ini merupakan refleksi atas pengalaman hidup selama di Lewolema dan sekaligus memandang baru dalam pola pikir yang luas.
Pertama, alasan geografis. Dari kelima desa dalam Kecamatan Lewolema, ada dua desa yang tidak memiliki laut, yaitu Desa Lewotala dan Desa Lamatou. Ada tiga desa yang memiliki laut yaitu desa leworahang, desa Belogili dan Kawaliwu. Kelima desa memiliki hak tanah diwilayahnya berdasarkan peranan suku-suku yang khas pula. Tanah yang diolah untuk perkebunan dan pertanian.
Rata-rata baik di laut maupun di darat bisa menghasilkan sesuatu untuk kebutuhan perekonomian dalam Kecamatan Lewolema. Selain hasil laut dan hasil darat, masih ada hasil dalam kerak bumi Lewolema yaitu tenaga uap panas dari sumber Ile Kdeka dan Ile Wai Kerewak. Selain itu masih ada barang tambang yang usianya masih muda seperti emas, timah dan minyak bumi di pesisir pantai Kawaliwu, Belogili dan Leworahang.
Kedua, alasan historis. Dari perjalanan sejarah desa-desa di Lewolema, hampir semua desa memiliki suku raja tua. Suku-suku itu adalah suku Koten, Kelen, Hurit dan Maran. Suku-suku raja tua ini dipandang sebagai suku-suku yang memiliki hak yang besar. Mereka dilihat sebagai pembangun dan pendiri desa-desa tersebut.
Sejarah kelima desa menuturkan bahwa masing-masing desa memiliki pendirinya. Pendirinya itu berasal dari Ile Jadi dan dari Tena Mao. Pertanyaannya muncul, mengapa dari asal usulnya berbeda tetapi di setiap desa memiliki raja tua. Apakah karena tiap-tiap desa itu saling berdekatan? Apakah kelima desa ini telah terjadi suatu urbanisasi yang tersembunyi? Mungkin inilah yang harus digali oleh para penerus Lewolema.
Bagi saya, ada dua pola pikir yang menetralkan perspektif kelima sejarah desa di Kecamatan Lewolema. Kedua pola berpikir yang netral ini, dasarnya dari tutur kata bapak Hendrikus Haju Liwun (orangtua saya). Bahkan pertanyaan saya tadi pun muncul dari apa yang disampaikan oleh orangtua saya. Maka argumentatifnya sebagai berikut:
Pertama, kalau di kelima desa itu sama-sama punya raja tua, artinya sejarahnya berasal dari asal usul pendiri yang sama. Pendiri itu bisa berasal dari Ile Jadi bisa juga berasal dari Tena Mao. Pendirinya tampil dalam dua wajah. Maksudnya supaya pertambahan anggota dalam setiap desa itu semakin banyak dan bisa mengolah tanah yang ditempati sekarang. Jika kelima desa itu memiliki raja tua yang sama, lalu posisi suku-suku yang lain ada dimana? Inikan ketidakadilan yang dibangun pendiri dalam berbagai hal.
Kedua, agar konteks keadilan antar semua suku, suku raja tua harus mengaturnya secara bijaksana. Konteks pengaturannya adalah semua raja tua yang ada dalam kelima desa berkumpul dan berbicara bersama-sama mencari jalan keluar dari ”benang kusut” dalam sebuah persoalan antar desa. Maka konteks baru yang ditempatkan dalam habitus baru antar desa agar semua suku masuk dalam permainan peranan yang sama dan saling menghargai satu sama lain adalah ”konteks humaniora” atau pola pikir kemanusiaan yang adil dan beradab. Pola itu bisa kita baca dalam contoh gambar berbentuk manusia berikut ini:
Sejak dulu filosofis kemanusiaan Kawaliwu ini telah muncul dalam setiap derak langkah manusia Kawaliwu. Bukti yang paling riil dan nyata yang sampai sekarang hidup dalam desa ini adalah:
Pertama, ”kawin mawin”. Kawin mawin selain untuk menambah hidup keberlangsungan sebuah suku tetapi juga menambah jumlah sebuah desa. Dalam kawin-mawin, pihak Opu (pihak laki-laki) datang kepada pihak Blake (pihak perempuan). Kehadiran Opu menjalankan proses kawin-mawin dengan pihak Blake yang dimulai dengan ”hupo sura”, pinang hingga menjalankan perkawinan.
Dalam proses ”hupo sura” Opu dan Blake berjumpa, membicarakan soal kecocokan atau tidak kedua pasangan yang mau menikah. Selain berbicara soal hal tadi, Blake akan berbicara soal belis (mas kawin). Bagi masyarakat Kawaliwu, mas kawin berupa gading dan sarung tenun khas Kawaliwu atau khas desa lain kalau salah satu pihak berasal dari luar Kawaliwu. Mas kawin pertama-tama dipandang bukan harga seorang perempuan tetapi lebih dari itu sebagai pengikat tali kekerabatan antar suku. Setelah proses ini mencapai kata sepakat biasanya Blake akan mengeluarkan ”sirih pinang” untuk dimakan, sebagai tanda bahwa kesepakatan telah sampai finis dan siap untuk tahap berikutnya yaitu meminang.
Proses meminang adalah proses Opu mengantar hasil kesepakatan sebelumnya. Yang diantar adalah berapa banyak dan besar gading yang telah disepakati. Selain itu, ada beberapa sarung tenun khas desa yang bersangkutan dan sirih pinang serta bahan makanan untuk makan bersama. Opu akan dijemput oleh Blake di depan rumah dan siap dengan sirih pinang sebagai tanda penjemputan. Sebelum diberi sirih pinang, pihak Blake akan mengecek apakah hasil kesepakatan itu telah dibawa semua atau belum. Dalam tahap meminang ini Opu dan Blake akan berbicara soal waktu dan tempat kedua pasang akan menikah. Ini tahap terakhir dalam proses adat perkawinan. Selanjutnya perkawinan akan diurus oleh Opu dengan pihak Gereja. Opu akan menyerahkan proses keberlangsungan perkawinan kepada pihak Dewan Pastoral Paroki/Stasi yang siap untuk mengurusnya.
Kedua, ”kesuburan pengolahan tanah.” Mayoritas masyarakat Kawaliwu adalah petani, berkebun di atas lahan garapan miliki suku. Mengapa? Karena pola pikir masyarakat Kawaliwu bahwa segala hak milik tanah (=eta/newa) adalah hak milik adat, bersama. Yang mengatur di dalamnya adalah pihak raja tua.
Dan dalam proses pengolahan tanah, raja tua begitu penting, karena mereka adalah pemilik otonomi ”nuke-huke” Maka jelas bahwa didalam sistem pengolahan tanah, paling kurang ”raja tua” harus ada. Proses demikian, kita belum menemukan peran perempuan yang adalah simbol kesuburan. Memang, kesuburan bukan hanya pada pihak laki-laki tetapi juga perempuan. Lalu pertanyaan kita, dimana peran perempuan dalam kesuburan tanah?
Sebelum kita melihat peran perempuan, saya mengajak anda untuk melihat keberadaan sebuah ”lahan olahan/kebun” masyarakat Kawaliwu.
Melihat gambar tadi, sebagai masyarakat Kawaliwu, langsung mengetahui letak pusat kesuburan sebuah kebun-lahan garapan. Hedik Era, dalam dialek bahasa Lamaholot, terdiri dari dua kata. Kata ”Hedik” artinya berdiri tegak sedangkan kata Era artinya bibit. Maka secara sederhana ”Hedik Era” adalah pusat pembibitan/persemaian yang merupakan pusat kesuburan dalam sebuah lahan garapan/kebun. Dari ”Hedik Era” akan mengalir kesuburan bagi semua tanaman yang ada dalam sebuah lahan garapan/kebun.
”Hedik Era” adalah simbol persemaian bibit-bibit yang baik dan unggul. Hedik Era dalam istilah masyarakat Kawaliwu, ”Nuba Nogo Gunu”, Tempat Ratu Kesuburan. ”Hedik Era” terbuat dari beberapa lempeng batu yang menjadi lantai/tempat pijakan ”Era”, sebatang kayu yang sudah dikupas kulitnya lalu dipancang ke dalam tanah di bagian kepala batu tempengan tadi, sebagai simbol aliran rahmat kesuburan yang dihasilkan antara ”Rera Wulan Tana Ekan.” (Kaka Bapa). Di ujung bagian atas kayu tadi terdapat sabut kelapa bagian dalam yang diikat kuat menutup ujung kayu, sebagai simbol pertemuan - persekutuan Rera Wulan Tana Ekan.
”Hedik Era” boleh kita sebut sebagai ”Nuba Nogo Gunu”. Sebagai ”Nuba Nogo Gunu”, tempat Ratu Kesuburan” peran perempuan ada disana. Peran perempuan dapat kita lihat dalam ritus kesuburan sebuah lahan garapan/kebun. Seorang Raja tua akan memakaikan sarung (=kewatek) kepada seorang perempuan di Hedik Era. Sebagai tanda bahwa kesuburan sudah ada. Sehingga seluruh tanaman perlu dirawat dengan baik. Inilah tugas selanjutnya bagi si pemilik lahan garapan/kebun.
Penutup
Masih banyak contoh dalam kehidupan masyarakat Kawaliwu yang mencermin hidup damai baik antar suku maupun antar keluarga. Folosofi humaniora Kawaliwu memberikan kepada publik ramai bahwa masyarakat Kawaliwu sangat menghargai manusia, laki-laki dan perempuan. Kehadiran manusia, laki-laki dan perempuan merupakan kehadiran yang saling melengkapi. Kehadiran keduanya saling memberikan makna tersendiri. Maka segala hak dan kewjiban yang ada dalam suku perlu dipertimbangkan dan dimaknai secara seimbang. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sama. Tidak ada yang lebih besar dan tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Sama-sama mempunyai peran yang khas dalam suku dan keluarga.
Hak dan kewajiban yang selama ini diatur secara dipaksakan harus dibedakan dari hak dan kewajiban Raja tua. Kalau Raja tua dalam sebuah desa maka laki-laki dan perempuan ada dalam suku dan keluarga. Tidak etis jika laki-laki dinomorsatukan dan perempuan dinomorduakan.
Mudah-mudahan dengan sepotong refleksi atas realitas yang hidup dalam masyarakat Kawaliwu ini memberikan angin segar bagi laki-laki yang selama ini dituanagungkan. Dan memberikan pencerahan baru bagi keberanian perempuan untuk mendapat hak dan kewajibannya secara seimbang. ”Sama-sama punya ”Rera Wulan Tana Ekan”, dan sama-sama pula dalam melayani ”Rera Wulan Tana Ekan.” ***
Komentar
Kawaliwu surga kecil kita.....