MASYARAKATKU RESAH DAN GELISAH: TANAH ULAYAT MENJADI MEDAN PEMBANGUNAN


Kawaliwu, itulah desaku. Kawaliwu, desa gaya baru ”Sinar Hading”. Di Teluk Hading lah, desaku itu tegak berdiri dan kokoh kuat menghadapi laut lepas, Laut Flores, yang berhadapan dengan Ujung Pandang atau Makasar, bila kita menarik sebuah garis lurus.

Sinar Hading, kini telah menjadi ibu kota kecamatan, Kecamatan Lewolema.
Kecamatan ini dimekarkan lebih kurang pada tahun 2006. Usianya kini (2012) masih enam tahun. Masih relatif muda. Apabila kita membandingkan dengan umur seseorang, ya...masih kelas 1 Sekolah Dasar. Jadi, masih belajar membaca dan menulis, menyebut huruf dan angka. Belum mahir.
 
Dalam perjalanan waktu ini, arah pembangunan daerah Flotim tertuju ke sana. Satu hal yang menarik di sana karena masih terbilang aman, bahkan amat strategis bila Sinar Hading menjadi tempat penghubung Kota Larantuka dan Kota Maumere dengan  Kecamatan Tanjung Bunga, sebuah kecamatan paling timur di pulau Flores.

Dalam derap langkah pembangunan Flotim, Pemkab Flotim, bagian Pelayan Listrik Negara (PLN) berencana untuk membuka pembangunan PLTU/PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Uap / Tenaga Batu Bara). Membangun itu penting. Karena mau memajukan masyarakat. Meningkatkan hajat hidup bagi banyak orang. Adalah suatu tujuan yang mahamulia yang terkandung dalam cita-cita negara Indonesia ini berdiri. Membangun, mengubah hidup yang lama menjadi hidup yang baru. Tentu ini nilai positip. Nilai ini bila ditawarkan kepada semua orang, pasti tidak akan satu pun yang menolaknya. Mau menerimanya.
 
Membangun PLTU/PLTB yang direncanakan Pemkab Flotim di Sinar Hading, bila dilihat dalam kacamata ’lokasi’, tentu hal ini perlu dipertimbangkan dengan baik dan matang. Lokasi di Kawaliwu itu bukan daerah datar dan rata relief buminya. Kawaliwu, daerah pesisir pantai dan juga daerah pegunungan.
 
Luas lahannya tidak seberapa. Begitu juga luas pesisir pantainya. Jika kita mengkalkulasi secara kasar dengan pertumbuhan penduduk akhir-akhir ini, 10 tahun ke depan, Kawaliwu telah sempit sekali baik untuk lahan tempat tinggal maupun lahan pertanian atau perkebunan. Itu artinya, masyarakat Kawaliwu sudah terbatas lahan untuk mencari hidup. Jalan keluar, perantauan semakin besar. Konsekuensi atas perantauan itu, begitu banyak penyakit baru masuk ke kampung-kampung.
 
Lahan Sinar Hading yang terdiri dari "Etang" – dengan kepemilikannya adalah adat, hukum adat, sangat sulit untuk mendapatkannya untuk keperluan tempat membangun PLTU / PLTB. Karena lahan itu merupakan wilayah hukum ”rajatua”. Hak lahan, hak ”huke nuke”.  Hak huke nuke, hak pemberian hasil etang kepada Rera Wulan, Tana Ekan. Jika lahan ”Keleka Wutu sampai Ema Hingi” menjadi lahan pembangunan PLTU/PLTB, lalu dimana masyarakat Kawaliwu mencari makan untuk hidup? Karena itu amat sulit untuk menjadi tempat pembangunan ini. Mengapa sulit? Inilah pertimbangannya:
1. Lahan "Mutalaka", yang jauh dari perkampungan Kawaliwu tetapi dekat dengan "perutnya" Masyarakat Kawaliwu. Mengapa? Karena sepanjang lahan yang direncanakan itu adalah kebun-kebun masyarakat. Tempat berharapnya masyarakat untuk hidup. Jadi, jika lahan itu dipakai untuk pembangunan itu, dimana lagi masyarakat Sinar Hading mencari makan? Kemana, mereka harus hidup?
2.    Lahan yang dimaksudkan itu berdekatan dengan daerah pantai-laut. Tempat, masyarakat Kawaliwu mencari lauk-pauk walaupun dengan cara memancing yang masih tradisional. Jika tempat itu menjadi daerah pembangunan, air laut akan tercemar lalu dimanakah masyarakat mencari makan?
3.  Pembangunan PLTU / PLTB, mempunyai konsekuensi yang besar, padahal listrik telah masuk di Kawaliwu. Pembangunan listrik dengan kekuatan uap atau batu bara, memiliki efek ke depan terhadap lingkungan hidup yang kurang sehat. Mengapa? Rencana pembangunan itu persis di tepi pantai. Kawaliwu termasuk, cerobong angin di musim barat untuk daerah ”Lewolema” lainnya. Jika pembangunan itu terlakna, corobong asap batu bara akan dibawah angin dan terbang begitu jauh. Riangkotek, Lewotala, desa-desa Baipito dan bahkan Kota Larantuka akan menjadi tempat leandingnya asap-asap hitam batu bara. Apakah ini berdampak positip bagi kehidupan?
 
Dengan memikirkan tiga alasan pertimbangan di atas, saya, anak Kawaliwu yang berada di tanah perantauan memohon agar pembangunan yang direncanakan itu, dipikirkan dan dipertimbangan dengan maksud untuk dibatalkan pembangunan itu. Saya pun berharap agar para pencinta lingkungan hidup, pencinta kehidupan, dan pencinta keadilan terpanggil juga untuk memberi pertimbangan kepada Pemkab Flotim, khususnya PLN. Sehingga mampu mengambil keputusan yang bijaksana, berdampak ”pro life” bukan hanya saat ini tetapi di masa yang akan datang.
 
Dengan pertimbangan penulis ini, sebagai anak yang lahir dan dibesarkan dari ”perut Kawaliwu” secara jujur saya katakan, saya menolak pembangunan PLTU/PLTB di Kawaliwu dengan beberapa pertimbangan tadi. Bagi saudara-saudari saya yang setuju dengan pembangunan ini, saya berharap perlu pertimbangkan lagi ke depan. Persetujuan saudara-saudari untuk mendukung pembangunan PLTU/PLTB mudah-mudahan murni mendukung dengan memperimbangkan kepentingan umum, bukan mempunyai muatan keinginan yang lain. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik