SHARING PENGALAMAN RD. LUCIUS POYA HOBAMATAN: INSPIRASI UNTUK KBG DI KEUSKUPAN LAIN




Komunitas Basis Gerejawi: Cara Baru Hidup Menggereja di Abad 21, merupakan tema utama yang menjadi refleksi para peserta dari Keuskupan Agung Makasar, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Agung Pontianak, Keuskupan Pangkalpinang, Keuskupan Tanjung Karang, Keuskupan Bandung, Keuskupan Purwokerto, Keuskupan Denpasar, Keuskupan Banjarmasin, Keuskupan Tanjung Selor, Keuskupan Manado, Keuskupan Larantuka, dan Keuskupan Jayapura. Pertemuan itu diselenggarakan oleh Komisi Kateketik (Komkat) KWI pada 20-23 Mei 2013 di Wisma Kare Makasar, Sulawesi Selatan. Melalui pertemuan ini, Komkat mengajak animator dan animatris atau dalam istilah Gerejawi kita, fasilitator untuk merefleksi kembali bagaimana menghidupi KBG di setiap keuskupan di Indonesia.
 
Hadir dalam pertemuan itu selain peserta sebanyak 42, juga para staff Komkat KWI dan RD. M. Purwatma sebagai pemberi catatan kritis dan proses pertemuan. Yang lebih menarik dan khusus lagi RD. Lucius Poya Hobamatan, Pastor Paroki Tembesi Batam. Pada kesempatan malam harinya (21/5/2013), RD. Lucius Poya diberi kesempatan untuk mensharekan pengalaman ber-KBG selama ini di Pulau Batam. Beliau menyampaikan sharing pergulatannya merintis dan mengembangkan KBG di tempat tugasnya, Paroki Tembesi, Batam. Rm. Poya, dengan gaya rambutnya yang khas memulai sharing pengalamannya dengan refleksi demikian. 

Situasi umat Paroki Tembesi, kebanyakan buruh galangan kapal dan industri elektronik. Upah minimum buruh Rp 1.150.000. Untuk buruh yang masuk dari jasa outsourcing. Upahnya bisa hanya tinggal sekitar 750 ribu rupiah. Upah yang minim seperti itu, maka buruh cenderung mengejar lembur untuk menambah penghasilan. Maka mereka pun mengabaikan soal iman.

Banyak juga dari antara umat di paroki merupakan orang-orang buangan yang menghuni rumah-rumah liar. Mayoritas umat berpendidikan SMP ke bawah. Kebanyakan umat beretnis Batak, Flores, Jawa, dan lain-lain. Maklumlah Batam, banyak orang pingin datang mencari pekerjaan. Pada saat awal kedatangan saya, ada trauma karena pernah ada ‘perang etnis’ antara Batak dan Flores. Jumlah umat 7.500 jiwa dengan 1.500 keluarga muda. Tuntutan kerja yang tinggi melemahkan perhatian pada iman. Iman pun sekedar menjadi obat bius. Dari situasi umat semacam itu, saya diminta mempersiapkan tempat tersebut menjadi paroki. Dari tugas menjadi pastor paroki di situ, saya merenung: untuk apakah imamat saya? Apakah cukup hanya menjadi pelayan sakramen? Apakah juga menjadikan Gereja menjadi sakramen keselamatan bagi dunia? Apa prioritas pelayanan: membangun gedung gereja atau membangun communio? Apa yang mau dilakukan bagi umat: memberi kail atau memberi ikan?

Berdasar data riil, saya mengunjungi umat. Kunjungan untuk membangun visi paroki. Dalam refleksi bersama umat ketika kunjungan, muncul jawaban-jawaban umat yang menjadi kondisi riil dan dambaan umat. Mereka mengalami bahwa di wilayah itu primoldialisme tinggi dan kehidupan iman lemah karena tuntutan hidup tinggi. Gereja ya hanya soal sakramen dan mingguan. Kurang percaya diri karena pemahaman iman lemah. Apatisme tinggi: urusan gereja adalah urusan pastor, uskup, bruder, dan suster.

Dari kunjungan itu lahirlah agenda pertama: membentuk tim, awalnya lima orang, untuk menganimasi pembentukan communio yang sudah menjadi visi keuskupan sejak Sinode tahun 2000. Umat menanggapi dengan mengusulkan adanya Kotak Persembahan Keluarga, Kotak 1000. Spiritualitas janda miskin menumbuhkan solidaritas untuk menjadi persekutuan. Meski ada respon positif, toh tetap ada yang tidak setuju.

Tahap berikutnya adalah membentuk 4 KBG. Keempatnya mendapat kunjungan ekstra. Dengan kunjungan, banyak hal bisa didapatkan. Ketika keempat KBG ini mulai bertumbuh, wilayah-wilayah lain diberi cerita untuk menyemangati membangun komunitas. Ketika paroki diresmikan, baru ada 12 KBG. Mereka ini juga yang menjadi Dewan Pastoral Paroki. Dalam perjalanan, muncul masalah ada banyak umat yang tidak mau masuk KBG. Mereka ini ditangani langsung oleh saya.  KBG pun berkembang menjadi 24. KBG bertemu setiap minggu malam karena hanya di hari itulah mereka mempunya kesempatan untuk bertemu. Hari lain mereka lembur. Umat mendapat keuntungan ekonomis dengan masuk komunitas. Ketika tidak bersatu dalam komunitas, mereka sulit cari kerja. Namun karena masuk komunitas, mereka bisa saling berbagi informasi kerja.

Sejak 2004, saya mengembangkan KBG. Saya terbantu dengan metode AsIPA. Dengan pengalaman mini yang saya terima ketika belajar AsIPA di Paroki Tanjungpinang. Dari pengalaman yang sedikit itu saya mencoba. Dalam refleksi saya, KBG tanpa AsIPA tidak mungkin, sebab bahan-bahan AsIPA sederhana dan dapat membantu membentuk komunitas, membangun iman serta mendorong aksi sosial berdasarkan iman Katolik dan Magisterium Gereja. Bahan-bahan AsIPA dikembangkan di dekenat. 2005-2006 dengan mengajak tim untuk melatih bahan-bahan AsIPA.

Bagi saya, kalau hanya menjadi peserta, bahan AsIPA baru diinternalisasikan 35%. Namun ketika menjadi fasilitator, saya dan fasilitator lain bisa menangkap 100% karena membantu peserta memahami. Setelah selesai proses pelatihan, fasilitator mengikuti retret dan Jalan Salib, baru kemudian peserta menerima salib perutusan. Disinilah fasilitator telah siap untuk masuk ke dalam KBG.

Di tahun berikut, terbentuklah 48 KBG baru. Selama 10 tahun ini, setiap tahun saya melatih utusan komunitas-komunitas untuk berlatih AsIPA. Sekarang sudah ada sekitar 400 fasilitator. Munculnya KBG membawa efek besar dalam kehidupan paroki. Hampir di semua KBG ada pendampingan anak dan remaja. Mereka mempunyai modul-modul sendiri berdasarkan tahun liturgi. Muncul juga dengan sendirinya kebutuhan akan pelatihan liturgi yang baik dan benar. Setiap hari Minggu keempat, KBG-KBG kumpul dan membahas permasalahan yang ada. Muncul juga pemberdayaan sosial ekonomi lewat Credit Union.

Kotak Persembahan Keluarga, yang umumnya berisi Rp 1.000 rupiah dipergunakan untuk pembangunan gereja dan karya kasih. Dengan KBG, sudah ada gereja yang cukup memadai bagi umat. Dananya 100% dari umat sendiri. Dana tersebut juga bisa untuk memberi beasiswa sekolah, bahkan sudah bisa menyekolahkan seorang anak menjadi katekis. Dengan KBG, reaksi tanggung jawab sosial umat bisa sangat cepat. Memang aksi keluar umat belum banyak. Tetapi sekarang mulai berkembang kesadaran politis. Salah satu aksi sosial dari KBG yang biasa dan mempersatukan mereka adalah KBG menyepakati bahwa apapun yang terjadi harus selalu berbahasa Indonesia. Di KBG ada legio, dan lain-lain. Kelompok kategorial terjadi dan ada di Komunitas Basis Gerejawi.

Dari pengalaman yang demikian, muncul juga tantangan. Karena pekerjaan sistem kontrak, mobilitas umat sangat tinggi: datang dan pergi. KBG bukan hal mudah bagi para (calon) imam. Kehadiran saya di Paroki Tembesi sekarang,  untuk memelihara para fasilitator. Setiap bulan ada rekoleksi, memelihara skill dan pemahaman baru. Dengan pertumbuhan KBG, imamnya juga semakin sibuk. Sebab, kebutuhan akan iman semakin tinggi. Sehingga imam pun semakin berfungsi sebagai gembala dan harus mau belajar banyak hal.

Dari rangkaian pengalaman saya, saya menemukan hal yang mendasar, ternyata KBG menolong memaknai kegembalaan saya. Sebagai gembala, saya tidak hanya memberi makan umat, namun datang dan memahami situasi umat. KBG juga menolong memahami Gereja sebagai kandang, suatu tempat di mana gembala dan domba berada bersama. KBG juga menolong memahami tema SAGKI 2000, “Gereja yang mendengarkan”. KBG juga menolong memahami semangat Gaudium et Spes, “kegembiraan dan harapan, suka dan duka manusia adalah kegembiraan dan harapan, suka dan duka Gereja”. KBG juga menolong tetap menjadi murid. Dihadapan orang yang pendidikannya rendah, sungguh terpahami mengapa Yesus menggunakan perumpamaan. KBG menolong membangun kepemimpinan bersama umat: ada bersama umat, bekerja sama dengan umat, dan lain-lain. Maka jelaslah KBG sebagai cara hidup menggereja yang baru: harus mempunyai dua sisi kebutuhannya, imamnya merasa butuh dan awam juga merasa butuh. ***

Komentar

Rencana Sembiring mengatakan…
"....Kotak Persembahan Keluarga, yang umumnya berisi Rp 1.000 rupiah dipergunakan untuk pembangunan gereja dan karya kasih. Dengan KBG, sudah ada gereja yang cukup memadai bagi umat. Dananya 100% dari umat sendiri....."

Apakah gereja yang dimaksud disini adalah gereja Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi ?
Jika ya, maka jelas pernyataan ini tidak valid.
Agama agama mengatakan…
Semoga umat Allah semakin bertambah baik dlm jumlah maupun iman dan Romo Poya juga semakin menjadi gembala yg rela memberikan nyawanya bagi domba2nya

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik