MITRA TIARA: MELEMAHKAN SEMANGAT PERKOPERASIAN NEGERI FLOTIM
http://harissparepart.blogspot.com/
|
Membaca
segala berita di internet dan mendengar obrolan dari keluarga saya tentang
Mitra Tiara (MT) sebagai sebuah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), hati saya sendiri
tersentuh untuk menulis sebuah artikel mini ini. Artikel ini ditulis bukan sebagai
pengungkapan unek-unek saya atau pun berita-berita yang saya baca dan saya
dengar langsung dari anggota keluarga saya yang menyimpan uangnya di MT, tetapi
lebih pada sebuah permenungan hati menjelang tutup tahun 2013.
Permenungan
saya ini menyorot dua hal dasar yang merupakan sendi hidup sebagai manusia, makhuluk peziarah (homo viator) dalam dunia ini.
Pertama, Mitra
Tiara: mengubah cara pandang Masyarakat Flotim tentang Koperasi. Ketika sebagai siswa SMP di SMPK
San Pankratio Larantuka, sekarang sudah tutup, (1987-1991), saya mendapat pelajaran tentang Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Didalam ilmu ini berbicara juga tentang Perkoperasian
di Indonesia yang dicetus oleh Bung Moh. Hatta, sebagai bentuk pembangunan perekonomian
kerakyatan yang cocok. Mengapa? Sederhana sekali jawabannya. Karena didalamnya
termaktup nilai-nilai yang sudah lama dihidupi oleh nenek moyang kita.
Nilai-nilai itu seperti gotong royong, kekeluargaan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai-nilai
dalam perkoperasian kita ini mengatakan bahwa nilai-nilai ini adalah milik
bangsa.
Milik bangsa berarti nilai-nilai
ini lahir dari kandungan bangsa sendiri. Lahir dari kandungan bangsa sendiri bermakna bahwa
nilai-nilai ini merupakan ungkapan jati diri manusia Indonesia termasuk
saudara-saudariku di Flotim. Mengungkapkan jati diri sebagai manusia Indonesia
lebih dalam lagi, mau menyatakan bahwa segala kekayaan baik kekayaan yang
diciptakan oleh manusia Flotim maupun kekayaan yang dihasilkan oleh alam
Indonesia, khususnya Flotim mempunyai martabat yang luhur. Keluhuran martabat
sebagai manusia dan alam inilah yang merupakan harga yang tak ternilaikan
dengan uang dan materi. Keluhuran martabat manusia dan alam ini, terkait erat
dengan pola berpikir kreatif dan cerdas masyarakat setempat.
Karena itu, tidak elok jika
membangun perekonomian Flotim dengan cara berkoperasi lalu menghasilkan “cara-cara yang tidak fair” adalah
bertentangan dengan martabat jati diri manusia. Mungkin satu aspek yang bagus
yang perlu kita bangkitkan di sini adalah bagaimana peran dinas Koperasi dan UKM
Flotim untuk menangkal pembentukan koperasi yang berinvestasi dengan dua wajah, suatu bentuk cara yang tidak biasanya demikian ini.
Juga akan merusak cara pandang
masyarakat kita tentang arti dan nilai-nilai yang ada di dalam koperasi itu
sendiri. Mungkin saja, orang akan berpolapikir, jangan-jangan koperasi sebagai
kedok penipuan terhadap masyarakat. Lebih tragis lagi, jika ada yang berpikir,
mungkin ini cara baru hidupnya korupsi di negeri ini.
Konsekuensi logis dari cara berkoperasi
yang dibentuk MT ini, menambah aroma ketidakpercayaan pada masyarakat semakin
luas. Bahkan banyak masyarakat akan berpikir dua sampai tiga kali untuk masuk
berinvestasi dengan wajah perekonomian lain, seperti Credit Union (CU) yang sedang tumbuh subur
di Pulau Bunga ini. Konsekuensi logis lain adalah kesadaran masyarakat kita untuk
menyimpan uang, berkurang. Mungkin lebih aman, walaupun tidak efektif,
menyimpannya di rumah sendiri.
Kedua, Mitra Tiara:
menghancurkan pola pendidikan masyarakat Flotim Saudara-saudariku berceritera
demikian. Mungkin uang itu saya bisa menyekolahkan anak. Tapi saya lebih
berkeinginan untuk menabung di MT. Anak saya sebenarnya tahun ini bisa
melanjutkan ke PT, hanya saya tundakan dulu supaya uang biaya masuk ke PT bisa
terbayarkan. Namun, apa yang mau dibilang? Galau..., uang bayar PLN saja nunggak beberapa bulan. Padahal, PLN baru masuk ke kampung. Natal 2013 ini saja
listrik mati total. Misa dalam kegelapan “paskah”. Mungkin ke depan kami kembali
memasang pelita lagi. Karena matinya pelita tergantung ekonomi hidup sehari-hari.
Pernyataan di atas ini termaktup
di dalamnya dua hal mendasar. Pertama, kebutuhan untuk pendidikan akhirnya,
sirna. Harus pergi merantau dulu ke negeri jihan sebagai “budak” supaya bisa
mendapat uang lagi. Iming-iming mempunyai anak untuk melanjutkan pendidikan
yang lebih tingga, kandas. Duduk menerawang jauh, seperti seorang pecandu.
Kedua, kebutuhan akan penerangan dalam RT, perlahan-lahan putus. Pihak PLN
mulai menagih listrik dari rumah ke rumah setiap bulan, tetapi juga belum
dibayar. Apakah PLN mau memutuskan kabel-kabel listrik yang sudah terpasang? PLN,
mungkin kebingungan? Karena takut gejolak dari masyarakat yang menyimpan uangnya di MT. Mungkin
bukan karena takut, tetapi bahasa halusnya “memahami kesulitan” yang dialami
masyarakat. Tetapi, sampai kapan PLN harus memahami kesulitan ini?
Dalam kesulitan yang diakibatkan
oleh “cara MT berkoperasi” mungkin saja akan muncul “sang ratu adil”. Sang Ratu
Adil ini akan menawarkan banyak hal termasuk, hal mau menyelamatkan kesulitan
yang disebabkan oleh MT. Di sinilah masyarakat perlu bersikap cerdas dan kritis.
Kecerdasan dan kekritisan masyarakat harus dibangun dengan cara kolektif supaya
tidak merugikan lagi secara kolektif. Kecerdasan dan kekritisan juga diusahakan
untuk mencari solusi baru. Solusi baru yang ditemukan harus lebih pada “tiga
tungku”. Dan ketiga tungku ini, saling terkait erat satu sama lain. Ketiga tungku
itu adalah membangun masyarakat dengan cara pendidikan yang berkelanjutan, meningkatkan
solidaritas yang berwajah kekeluargaan dan kerja sama, jujur dan adil, dan yang
terakhir adalah swadaya dari masyarakat itu sendiri. Swadaya dari masyarakat
sendiri bermakna tidak tergantung kepada lembaga dan pihak mana pun. Swadaya di sini
juga berarti ungkapan jati diri yang bermartabat tadi, dikelola secara swadaya
dan bermanagemen transparan, bukan telanjang.
Akhirnya, saya mengajak
saudara-saudariku, mari, kita belajar banyak hal dari pengalaman hidup setiap
hari, dalam konteks berelasi dengan sesama. Berelasi dengan MT telah
menyebabkan keterpuruknya perekonomian kerakyatan kita, telah membangun relasi yang
bertransendius buruk dengan banyak pihak termasuk lembaga-lembaga yang selama
ini mengayomi hidup kita. Mari kita angkat topik, menunduk kepala, menyimpul
tangan di dada dan mulut kita berteriak: “Aku
tak berdaya ketika engkau menipu aku. Aku belajar dari cara engkau penipu aku.
Cukup sampai disini! Please...!” ***
Komentar