Review Nonton Film ‘Pesan dari Samudera’
(sebuah sharing
pribadi)
1.
Pengantar
Singkat:
Saya tidak ingat
lagi kapan tanggalnya Metrotv menayangkan ‘Film Pesan Dari Samudra’. Tapi, saya
hanya ingat bahwa waktu itu ditayangkan pada bulan Desember 2013. ‘Film Pesan
Dari Samudra’ produser Miles Films saya tertarik menontonnya dilatarbelakangi
oleh dua hal.
diambil dari film 'Pesan Dari Samudra' |
Pertama, film Pesan
Dari Samudra dibuat atau disutting di Desa Sinar Hading Kawaliwu, khususnya di
‘Tada Tu.’ Saya merasa bangga karena Kawaliwu menjadi tempat disuttingnya film
ini. Latarbelakang saya pertama ini, terasa sedikit ‘egoisme’. Mengapa? Karena,
film-film yang selama ini saya nonton hampir tidak ada yang disutting di
Kawaliwu, masa film baru ini, dengan tempat Kawaliwu, saya tidak mempunyai
waktu untuk menonton? Kan rasanya aneh sekali.
Kedua, produser film
ini Ibu Mira Lesmana, orangnya terkenal dan berkelas tinggi. Produser yang sama
juga pernah menyuting ‘Laskar Pelangi’ di Gantong Manggar Kabupaten Belitung
Timur, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kedua latarbelakang inilah yang
sungguh-sungguh mendorong saya untuk menonton bahkan karena merasa belum
menangkap isi dan makna dari film ini, saya berusaha untuk mendapatkan film
ini.
2.
Menganalisa Karakter
Pelaku dan Relevansi Maknanya:
Saya membuat
analisis para pelaku dalam film ini hanya sebatas pelaku terkenal dan pelaku
tambahan. Dalam pelaku tambahan ini, saya memberikan catatan khusus untuk warga
saya dari Kawaliwu.
Pertama, Samudra dengan
nama Bintang Panglima. Samudra adalah anak-anak yang masih berpendidikan
Sekolah Dasar (SD). Samudra mempunyai bapak namanya Sakti yang diperankan oleh
Lukman Sardi dan ibunya Nara dengan nama aslinya Putri Ayudyn. Samudra tinggal
di kota besar (Jakarta) dengan pola hidup yang berkecukupan. Samudra memiliki
rumah yang mewah, hp, tv, kamar mandi, wc, dan tempat tidur yang bagus, dan
lain-lain. Dari sisi ekonomi, boleh dibilang Samudra hidup berkecukupan. Dalam
hidup yang berkecukupan dan hidup di kota besar seperti Jakarta, tentu semua
orang, khususnya orang Kawaliwu merasa bahwa ‘Samudra orang kaya’, apalagi
ketika pergi ke tempat yang jauh harus menumpang dengan ‘burung besi’.
Ekspresi wajah
Samudra yang disampaikan kepada publik (umum) dalam film itu, ternyata
hati-jiwanya tidak merasa bahagia. Ketidakbahagiaan Samudra, saya melihat ada
dua hal pokok. Pertama, kedua orangtuanya begitu sibuk bekerja dan bekerja,
tetapi lalai dalam perhatian batin kepada Samudra. Sakti, bapaknya begitu sibuk
kerja di kantor, pertemuan dimana-mana ada waktu, tetapi ketika waktunya
mengambil buku raport Samudra, muncul banyak alasan. Begitu juga dengan Nara,
ibu Samudra, seorang dokter yang ditugaskan di Lawaloba, (aslinya: Kawaliwu)
sebuah wilayah Timur Indonesia yang tidak bernama, dan jauh dari peradaban
modern. Kesibukan dalam bekerja mencari nafkah ditempat yang terpencil,
ternyata relasi-komunikasi dalam keluarga terganggu. Ancamannya ialah
‘perkawinan menjadi retak’ bisa-bisa cerai. Sampai disini sudah sangat jelas
bahwa sibuk bekerja walaupun dunia sekarang sangat canggih (hp, tv, pesawat
terbang), tetapi yang menjadi korban ialah ‘karaktek Samudra’.
Kenyamanan-keamanan jiwa-raga Samudra, terganggu melihat ‘kesibukan kedua
orangtuanya’.
Karena itu,
Samudra termasuk anak yang hebat pada usia itu. Dia nekad untuk pergi
mengunjungi keluarganya: opa dan oma dan lebih khusus lagi, ibunya Nara. Mana
bisa anak Kawaliwu, atau sekurang-kurangnya anak-anak seumur SD seperti Samudra
berani untuk pergi jauh dari bapaknya di Jakarta dan pergi mengunjungi ibunya
yang begitu jauh di Lawaloba? Ternyata, kenekadan Samudra membuahkan hasil yang
cemerlang. Samudra membawa pesan yang jelas. Menyatukan hati kedua orangtuanya,
yang dirindukan selama ini oleh Samudra. Membangun kembali relasi baik dengan
orang-orang pertalian keluarganya yang selama ini hilang (opa Hali dan Oma
Hana, Thomas, dll).
Kedua, Nara dengan nama asli: Putri Ayudyn. Nara,
berperan sebagai seorang dokter. Dokter yang ditempatkan di Lawaloba, sebuah
desa terpencil. Karakter Nara, ditampilkan secara jelas: seorang pelayan untuk
semua orang sakit, pemberani: mengambil keputusan untuk siap diutus ke Lawaloba
dan meninggalkan kota metropolitan seperti Jakarta. Mana mau dokter hidup susah
kalau ditempatkan di daerah seperti Lawaloba?
Disinilah Nara
mengubah sebuah image kepada publik bahwa seorang dokter siap melayani kapan,
dimana, dan bagaimanapun bahkan mengorbankan keluarganya. Bagi kita, masyarakat
Kawaliwu atau masyarakat lain, kalau sudah menjadi dokter itu hidup senang.
Ternyata, dokter yang ditampilkan dalam diri Nara, benar-benar seorang dokter
yang sangat nasionalis, memiliki kepedulian dan perhatian kepada masyarakat yang
tidak mampu yang berada di daerah-daerah yang susah. Walau Nara bekerja di
tempat yang terpencil, Nara masih mampu membangun relasi dengan suaminya dan
anaknya.
Dalam membangun
relasi ini, ternyata ada link yang tak terpuaskan. Baginya, suaminya yang hidup
dekat dengan anaknya, paling kurang bisa menjawabi keinginan anaknya yaitu
datang ke sekolah dan mengambil raportnya.
Ekspresi Nara,
sangat jelas. Hatinya untuk keluarga: suami dan anaknya di Jakarta, tetapi
hatinya juga untuk pelayanan kepada orang-orang sakit di desa Lawaloba. Bagaimana
kemampuan Nara membagi hatinya dalam karya pelayanan itulah yang patut kita
simak dan refleksikan lebih jauh lagi. Disinilah unsur pengorbanan dan
sukarela. Bukan suka saja tetapi tidak ada kerelaan, bukan juga hanya ada
kerelaan tanpa rasa suka. Namun, sukarela adalah kata aktif yang penuh
pengorbanan yang ditampilkan oleh Nara.
Ketiga, Sakti yang
diperankan oleh Lukman Sardi. Dalam perannya, Sakti adalah seorang bapak rumah
tangga. Dia rajin dan tekun dalam kerja. Dia begitu sibuk dalam mencari nafkah
untuk keluarganya. Inilah tanggungjawab yang diembankan oleh Sakti. Hemat saya,
ini hal yang wajar sekali. Dalam bekerja, ternyata merupakan suatu hal yang tidak
mudah. Kerja yang bagus seperti Sakti yang ada di kantor ternyata memiliki banyak
kesulitan. Kesulitan itu dapat kita temukan dalam relasi antar rekan sekantor
seakan tidak nyambung, sehingga urusan-urusan yang bisa ditangani oleh rekan
sekantor tidak dijalankan malahan menyita lagi waktu Sakti.
Kesulitan lain
yang dialami Sakti adalah kemacetan kota Jakarta. Hiruk pikuk sebuah kota
besar, ternyata membutuhkan waktu yang banyak, karena itu rencana dan proses
kerja menjadi terlambat. Konsekuensi dari kesibukan, relasi Sakti dengan Nara
menjadi renggang. Bahkan dengan Samudra, anak mereka sekali pun.
Samudra menjadi
korban secara psikologis, dan puncaknya ketika Sakti tidak dapat hadir dalam
penerimaan raport anaknya, Samudra. Mungkin tidak hanya ini, namun ketika Sakti
dengan rela meiyakan Samudra pergi mengunjungi ibunya di Lawaloba dengan menumpang
‘burung besi’ sendirian. Padahal, Samudra begitu memiliki kerinduan besar akan
kehadiran kedua atau salah satu orangtuanya untuk hadir dalam penerimaan raport
sekolah dan sekaligu mendampingi perjalanan yang begitu jauh menuju Lawaloba.
Belajar dari
peran Sakti dalam film ‘Pesan Dari Samudra’, kehebatan Sakti sangat nampak pada
keputusannya untuk menyusul Samudra, setelah mendengar berita di layar kaca
bahwa ada ‘gempa bumi’ yang menimpa Pulau Flores. Disini kita dapat mengetahui
bahwa seluruh hidup dan perjuangan dalam kerja Sakti berujung pada ‘Samudra’.
Sakti, tidak mau Samudra, mengalami kesulitan. Sakti tidak mau Samudra ditimpah
bencana apapun termasuk gempa bumi.
Dalam pikiran
dan hati Sakti, Samudra jauh lebih penting dan berarti bagi hidupnya. Karena
itu, Sakti bisa meninggalkan segala pekerjaan dan kesibukan hiruk pikuk kota
Jakarta, untuk menyusul Samudra, anaknya. Dalam dalam sebuah makna peran yang
tersembunyi oleh pencerita Mira Lesmana dan Riri Riza yang ditulis dalam
skenario oleh Prima Rusdi disana muncul martabat sebuah perkawinan yaitu
‘rekonsiliasi relasi antara Sakti dan Nara’ yang disaksikan oleh Samudra
sendiri dan secara publik disaksi oleh peran-peran lain seperti Opa dan Oma,
Taufik, Thomas dan warga masyarakat Lawaloba.
Keempat, Opa Hali dan
Oma Hana. Peran opa Hali oleh ‘Andi Bersama’ dan peran oma Hana oleh ‘Jajang C.
Noor’. Secara sepintas dilihat, saya menemukan bahwa opa Hali dan oma Hana
pernah hidup di kota Jakarta. Opa Hali, peran dengan memiliki karakter khas
orang Lawaloba yaitu keras dalam prinsip dan tegas dalam berbicara, serta
memiliki daya juang dalam proses memperjuangkan hidupnya. Karakter opa Hali
sangat terlihat lebih jelas dalam persoalan warisan yang namanya ‘tanah’.
Disinilah opa Hali membuka wawasan masyarakat Lawaloba tentang ‘tanah’. Dalam
persoalan tentang ‘tanah’ opa Hali seakan menyelidiki ‘tanah’ di Lawaloba,
apakah sudah memuliki ‘surat tanah’ ataukah hanya sebagai peninggalan
leluhur-nenek moyang Lawaloba.
Saya menemukan
bahwa kontroversi cara berpikir opa Hali yang sudah lama tinggal di Jakarta
dengan masyarakat Lawaloba soal tanah. Disatu pihak opa Hali mendukung ‘tanah’
warisan Lawaloba sebagai peninggalan nenek moyang namun disisi lain, opa Hali
mau mengatakan bahwa ke depan ketika arus modernisasi yang kian meluas ini,
persoalan tanah di Lawaloba tidak mudah dalam urusannya. Karena itu, sikap
menutup diri dengan ‘menutup’ jalan setapak merupakan suatu sikap tidak
toleransi kepada semua orang yang akan menggunakan jalan setapak tersebut.
Disisi yang
lain, masyarakat Lawaloba yang mengambil sikap menutup jalan setapak dengan
alasan ‘kehilangan tanaman’ yang ada adalah sebuah sikap baru, yang tidak biasa
dilakukan oleh masyarakat Lawaloba yang pola berpikirnya sangat toleransi
dengan sesama. Disinilah, makna kesosialan masyarakat Lawaloba yang selama ini
hidup sebagai sebuah budaya, terasa mulai sirna. Masyarakat Lawaloba sekarang
seakan-akan ‘telah menanam budaya baru’ dalam masyarakatnya yang dulunya sangat
menjunjungi tinggi makna persaudaraan dan kekeluargaan.
Jika persoalan
‘tanah’ di Lawaloba tidak dipikirkan dengan baik dengan mengambil sikap: mau
membuat surat tanah atau tetap mempertahankan hukum adat atas tanah itu.
Bagaimana ‘tanah’ di Lawaloba diurus secara tertulis supaya ada bukti hitam
diatas putih? Apakah dengan adanya sertifikat tanah di Lawaloba, hukum adat
atas tanah menjadi tidak berlaku lagi? Inilah yang perlu dipahami dengan baik
dan secermat mungkin. Atas persoalan ini, bagi saya sebagai warga ‘Lawaloba’,
hukum adat atas tanah, sangat berguna dan kapan saja tetap berlaku. Hukum adat
atas tanah, bisa melumpuhkan hukum baru dengan kepemilikan tanah yang
bersertifikat.
Oma Hana jelas
memiliki perannya dalam film ‘Pesan Dari Samudra’. Pesan adalah oma Hana
berjiwa Jawa namun ia dengan logat khas Lawaloba. Oma Hana adalah seorang
nenek, yang memiliki karakter sebagai seorang ibu rumah tangga tulen. Di rumah
ia memasuk. Di rumah ia membentuk kelompok karya ‘menenun’. Menenun adalah
sebuah karya warisan nenek moyang yang bernilai kemanusiaan manusia. Menenun
dulu sangat digemari oleh ibu-ibu. Menenun, zaman sekarang jarang dilakukan
ibu-ibu modern. Mereka berpikir, sudah tidak zaman lagi untuk menenun. Karena
itu, di kebun tidak perlu lagi menanam kapas. Dua korelasi karya nenek moyang
yang memiliki tautan yang erat sekali, dalam aktifitas yang sudah membudaya
yaitu menenun. Didalam peran ini, oma Hana mau menunjukkan kepada masyarakat
Lawaloba bahwa ‘menenun’ masih relevan dan berguna. Masih relevan karena
aktifitas ini dilakukan oleh ibu-ibu sebagai sebuah pengungkapan karya seni dan
sekaligus mengungkapkan karakter dasar ibu dalam tata budaya masyarakat
Lawaloba.
Nilai yang lebih
jauh adalah termaktub pembagian peran dalam masyarakat Lawaloba manakala
laki-laki pergi bekerja di kebun. Dikatakan berguna dalam menenun adalah dulu
menenun dilakukan dalam keluarga dan diperuntukan bagi anggota keluarga. Oma
Hana menunjukkan bahwa ‘menenun’ memiliki nilai guna disana yaitu mendatangkan
ekonomi rumah tangga. Mendatangkan ekonomi rumah tangga disini dikerjakan
secara kelompok. Maka dikenal ada kelompok menenun ibu-ibu.
Kelima, Thomas yang
dilakon oleh Bardi Diaz. Posisi Thomas dalam peran ini begitu aktif. Aktif
Thomas sama dengan opa Hali. Maka boleh saya katakan disini, dimana ada opa
Hali, disitu ada Thomas. Thomas dalam peran ini sangat penting sekali. Ia
seperti terlihat menjaga opa Hali disatu sisi. Namun disisi ini, hemat saya,
Thomas menunjukkan karakter sebagai anak kecil dan cucu yang mau mengikuti
opanya. Dalam hal ini, saya mau katakan bahwa Thomas mengikuti opanya untuk
belajar bagaimana hidup secara sosial sebagai masyarakat. Disana, Thomas
berguru soal budaya, sosial, dan tutur berbahasa pada opa Hali.
Karakter Thomas
yang ditampilkan ini, bagi saya kini tergerus juga dari situasi masyarakat
Lawaloba. Disatu sisi, dalam film itu, kita tidak pernah tahu siapa orangtua
Thomas. Saya melihat orangtua Thomas tidak muncul karena pergi merantau. Karena
pergi merantau maka Thomas tinggal dengan opanya. Thomas dididik oleh opanya. Selain
dididik, opa Hali juga memiliki peran-pengganti orangtua Thomas untuk
menumbuhkembangkan Thomas.
Disini, ada
sebuah kritikan besar terhadap ‘budaya baru’ dalam masyarakat Lawaloba. Ada
banyak orangtua yang pergi merantau mencari uang untuk keluarganya. Namun,
orangtua melupakan pendidikan terhadap anaknya. Orangtua merasa bahwa anaknya
sudah cukup hidup dan dididik oleh opa dan omanya atau pun keluarga besarnya.
Orangtuanya cukup mengirimkan uang untuk menyekolahkan atau menghidupkan
anaknya. Disinilah pula, kita salah kaprah dalam memahami ‘pola pendidikan’.
Masyarakat
Lawaloba berpikir bahwa pendidikan untuk anak itu tanggungjawab para guru dan
sekolah. Lupa akan pendidikan dalam keluarga. Pendidikan yang paling pertama
dan utama adalah terjadi didalam keluarga. Hal ini tidak terjadi karena seakan
pendidikan untuk perkembangan anak didelegasikan kepada siapapun termasuk: opa,
oma, guru dan anggota keluarga besar. Film ‘Pesan Dari Samudra’, jelas memberikan
makna ini, supaya mata dan hati para orangtua terbuka untuk melihat dan
berproses dalam ‘pendidikan karakter’ anak, tunas muda masyarakat Lawaloba.
Pendidikan anak tidak bisa diwakili atau didelegasikan kepada siapapun. Hal ini
dengan maksud, anak dapat mengenal orangtuanya. Jangan sampai orangtua anak
kaget ketika pulang dari merantau, anaknya menyapa orangtuanya dengan
‘opu-bine’, ‘mama-tia’, dan lain-lain. Sangat berbahaya sekali!
Keenam, masyarakat
Lawaloba. Lawaloba adalah sebuah nama baru, yang hemat saya tidak ada sama
sekali ada hubungan dengan tempat aslinya desa Sinar Hading atau Kampung
Kawaliwu-Igo Rian Sina. Nama ini adalah nama rekaan dalam film tersebut. Saya
tidak tahu alasan mengapa produser memilih nama ini. Bagi saya, nama Lawaloba, saya
tidak keberatan, nama itu hak produser dan penulis naskah film ‘Pesan Dari
Samudra’. Yang saya mau katakan disini ialah ‘masyarakat Lawaloba’nya.
Gotong Royong Masyarakat Kawaliwu Merehab KOKO |
Masyarakat
Lawaloba adalah masyarakat yang rawan bencana. Karena wilayahnya berada pada
lempeng luar garis gempa tektonik di Indonesia. Saya mencatat bahwa di Lawaloba
ini sering terjadi banjir bandan dan tsunami yang besar pada 12 Desember 1992.
Kalau sebelumnya gelombang laut yang tinggi tetapi tidak setinggi waktu tsunami
92. Sering angin kencang tetapi paling kurang tidak mematikan masyarakatnya,
mungkin hanya merusak tanaman di kebun dan pohon-pohon perdagangan yang ditanam
masyarakat.
Dengan situasi
gempa dan tsunami 92, ada babak baru dalam masyarakat Lawaloba. Babak barunya
apa? Saya mencatat ada tiga hal dasar. Pertama,
pembangunan baru infrastruktur bangunan umum dan bangun rumah-rumah pribadi
masyarakat. Kedua, struktur
masyarakat lama terpecah dari tradisional-kolektif, menjadi ‘post
tradisional-personal’. Istilah ini
sebuah istilah yang saya sebut secara pribadi. Ketiga, titik balik urban-perantauan yang besar.
Gempa bumi dan
tsunami 92 mengisahkan banyak persoalan dalam kalangan masyarakat Lawaloba.
Pertama, pembangunan infrastruktur. Infrastruktur rusak dan hancur seperti
gedung balai desa, gereja, sekolah, sumur air minum, pasar, dan jalan, walaupun
waktu itu jalan masih belum aspal. Dan rusak paling parah adalah rumah-rumah
masyarakat. Nampak bahwa setelah gempa dan tsunami, masyarakat Lawaloba bisa
menikmati jalan aspal. Selain jalan aspal, juga dibangun pasar (walau butuh
waktu yang lama), balai desa baru, dan bantuan rumah murah. Dan perlahan-lahan
masyarakat Lawaloba yang rata-rata beragama Katolik mulai membangun gereja,
sekolah SD ditambah sekarang ada TK dan PAUD, dan sampai dengan sekarang
menjadi pusat kecamatan Lewolema-kantor camat, puskesmas, jaringan telekom, dan
lain-lain.
Sejalan dengan
perkembangan Lawaloba setelah gempa dan tsunami, pola berpikir masyarakat pun
berubah. Entah sadar atau tidak, mulai beralih dari tradisional-kolektif
menjadi ‘post tradisional-persona’. Arah perubahan ini menjadi ‘kurang jelas.’ Disini
ada dua arus yang cukup membawa perubahan yang besar. Pertama, pendidikan.
Banyak para pelajar muncul. Dan konsekuensinya banyak juga para pelajar yang
setelah tamat sekolah atau kuliah menetap di Lawaloba. Integrasi pola berpikir
disini, saya melihat sebagai sebuah ‘perubahan’. Mengapa? Disatu sisi, para
pelajar hidup dengan perjuangan yang sangat besar (cita-cita tinggi yang tak
terungkapkan) supaya apa yang diperoleh selama sekolah dapat diterapkan dalam
masyarakat, tetapi disini lain, mereka ini memiliki kesulitan, semacam ‘utopiah’.
Sedangkan disisi lain, kedua, masyarakat Lawaloba dengan
pendidikan terbatas sekolah dasar dan buta aksara atau melalui belajar informal
dengan jalur perantauan dan menonton di tv, pun ikut perubah namun ‘rasanya
lamban’. Perubahan-perubahan inilah akan mengikis pola berpikir baru-belum
memiliki arah jelas dalam sebuah masyarakat yang perlahan-lahan bergeser dari
masyarakat tradisional agraria-kolektifis ke arah ‘beradaban baru’ tanpa arah
yang jelas.
Dengan
latarbelakang masyarakat Lawaloba demikian, film ‘Pesan Dari Samudra’
memberikan beberapa catatan kritis bagi masyarakat ini. Pertama, soal keberadaan
status tanah di Lawaloba. Tetap berlaku hukum adat atau beralih ke hukum
positif yang ditutuntut harus disertifikatkan. Kedua, keluarga. Banyak
terjadi urbanisasi keluar daerah untuk merantau khususnya ke Malaysia.
Akibatnya, orangtua kurang mempunyai waktu untuk proses pendidikan anak atau
kalau adapun pendidikan hanya dipikirkan atau diurus oleh seorang ibu rumah
tangga. Ketiga, akibat arus perantauan yang besar itu, akan membawa
efek masuk ke dalam Lawaloba yang cukup dahsyat, seperti cara berpikir, pola
pandang terhadap tanah dan pekerjaan bertani, pergaulan hidup, mentalitas
merasa tidak betah di Lawaloba, dan lain-lain.
3.
Keuntungan Bagi
Masyarakat ‘Lawaloba’ Tentang Film Pesan Dari Samudra
Bagi saya secara pribadi, dengan
dibuatnya film ‘Pesan Dari Samudra’ dan kemudian diputarkan di metrotv, saya
melihat ada beberapa keuntungan baik untuk saya secara pribadi maupun untuk
masyarakat Lawaloba sendiri. Pesan Dari Samudra juga bukan hanya ditujukan
untuk masyarakat Lawaloba tetapi juga untuk masyarakat Indonesia yang berada
pada garis lempeng luar rawan gempa dan tsunami.
Ibu-Ibu Kawaliwu memanen padi di Kebun Wai Pleme |
Bagi masyarakat Lawaloba, film
Pesan Dari Samudra memiliki keuntungan sebagai berikut. (a). Mempromosikan
situasi kampung Lawaloba seperti soal kultur tanah dan masih mempunyai sistem
hukum adat nenek moyang yang kuat. Selain itu, mempromosikan tanaman
perdagangan dari masyarakat ini seperti pohon lontar, jambu mente, dan
lain-lain. Juga mempromosikan sarana prasarana seperti pasar, puskesmas, dan
lain-lain yang masih terbatas, dengan itu pemerintah tergerak hati untuk
memulai pembangunan bangsa ini dengan sungguh-sungguh dari wilayah Indonesia
Timur. (b). Mempromosikan tempat sutting film Pesan Dari Samudra, secara khusus
‘Tadatu’. Bagi masyarakay Lawaloba ‘Tadatu’ memiliki kisah dan sejarah hidup
masyarakat yang tinggi, yang sering disebut oleh tua-tua ‘Se-Ma’. Siapa tahu,
pada suatu waktu jika ada yang bisa menulis kisah dan cerita ‘Tadatu’ dapat
mengundang lagi Mira Lesmana dan Riri Riza menjadi produser film tentang ‘Pesan
Dari Tadatu’. (c). Mempromosikan pantai Lawaloba untuk menjadi ajang destinasi
baru di wilayah Kabupaten Flores Timur. Bahkan bukan hanya pantai dengan pasir
hitam yang bersih, sunset di sore hari tetapi juga kultur budaya seperti: rumah
adat dan tarian, lodoana, tenun ikat, upacara-uacara adat, dan karya-karya seni
daerah yang dikemas secara kreatif yang dimiliki masyarakat Lawaloba. (d).
Menyadarkan masyarakat Lawaloba untuk menantisipasi jika terjadi gempa bumi dan
tsunami di masa depan. Dengan itu, hal utama yang dituntut adalah warga
masyarakat menghargai dan mencintai lingkungan hidup dengan menanam sebanyak
mungkin pohon dan bakau di pesisir pantai.
Pantai Wai Kerewak Kawaliwu: destinasi Pantai Pesisir |
Selain masyarakat Lawaloba mendapat
keuntungan secara tidak langsung, juga bagi pemerintah dan masyarakat
Indonesia, saya menemukan keuntungan berikut ini. Pertama, pulau-pulau di
Indonesia berada pada garis lempeng gempa bumi dan tsunami. Dengan film ini,
masyarakat Indonesia dapat mengantisipasi dan mencegah sebulum terjadinya gempa
bumi dan tsunami. Kedua, membantu pihak pemerintah pusat dan daerah serta
instansi terkait untuk memperhatikan wilayah Indonesia Timur dalam hal
pembangunan baik secara fisik maupun secara mental-psikis. Dalam hal ini sarana
prasaran pembangun jalan raya, puskesmas, rumah sakit, dan persediaan banyak
dokter untuk melayani masyarakat di wilayah yang sulit dijangkau. Ketiga,
menjaga stabilitas harga komoditi tanaman perdagangan khususnya kacang jambu
mente. Pemerintah daerah dan pusat memikirkan pembangunan pabrik jambu mente
yang berada didekat wilayah Ranatua-Larantuka atau kota-kota yang terdekat yang
bisa dijangkau oleh masyarakat.
Keuntungan bagi saya secara pribadi
adalah saya bangga akan penyutingan film Pesan Dari Samudra yang dilaksanakan
di Lawaloba. Saya bangga karena Lawaloba yang jauh di Timur menjadi terbuka
bagi banyak masyarakat lain yang menyaksikan film tersebut. Masyarakat lain
tahu bahwa di wilayah Timur hidup apa adanya dan benar-benar ‘selaras alam’.
Saya bangga karena dengan pembuatan film ini, masyarakat lain pun tahu tentang
situasi masyarakat, adat istiadat, fisik saran prasaran dengan demikian
tergerak hati untuk membangun wilayah Indonesia ini dengan lebih utuh.
4.
Penutup
Sebagai akhir dari tulisan saya yang
belum sempurna ini, dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya memohon maaf
atas beberapa catatan yang saya berikan dalam tulisan saya ini. Mungkin saja,
catatan-catatan yang saya ajukan ini tidak sejalan dengan cara masing-masing
kita melihat, menonton, dan membuat analisa atas film Pesan Dari Samudra’ ini.
Lebih dalam dari itu, saya pun tidak
lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada para donatur pembuatan film ini,
sehingga film ini sukses disutting dan ditayangkan di layar Metrotv, walaupun
hanya tiga bulan saja pembuatan film ini.
Juga tidak lupa, saya mengucapkan terima
kasih kepada para pelaku-peran dalam film ini. Saya bangga karena karakter
pelaku sungguh dapat terbaca dengan jelas. Logat bahasa dalam bertutur
benar-benar cocok untuk orang-orang dari Timur.
Saya pun tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada crew-crew pembuatan film ini, penata rias, sinemotografi, penulis
skenario, pencerita, dan produser: Mira Lesmana dan Riri Riza.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya
berpesan untuk para pemeran dan crew-crew film ini, kapan-kapan bisa berjalan lagi ke Lawaloba, bisa berjumpa dengan
masyarakat di sana. Mudah-mudahan ke depan, lokasi-lokasi penyutingan film ‘Pesan
Dari Samudra’ akan menjadi sebuah medan destinasi perfilman Indonesia, sehingga
medan-medan itu terawat dan terjaga seperti ‘lokasi-lokasi pembuatan film “Laskar
pelangi’ dari Belitung.***
Komentar