Keluarga Dalam Desiran Arus Zaman Dewasa Ini
Sebuah Refleksi tentang Hidup Berkeluarga Ditengah Pergerakan Zaman Modernitas Dewasa ini.
Mengajak Anak bermain-main dengan anak tetangga |
Hidup
berkeluarga adalah sebuah panggilan untuk mengabdi pada Sang Khalik. Ini
motivasi hidup yang perlu dipikirkan dengan matang sebelum mengarungi bahtera
bersama sang pasangan hidup. Jika, hal ini tidak dipikirkan dengan baik, hidup
dalam bahtera adalah sebuah petaka yang hanya melakoni rutinitas belaka. Maka,
yang harus dipikirkan lagi setelah mengarungi bahtera adalah memaknai rutinitas
hidup setiap hari. Tanpa pemaknaan rutinitas yang terus menerus, hidup dalam
bahtera seperti ‘jiwa dipenjarai tubuh’, kata sang pemikir Plato. Jiwa harus
dibebaskan. Pembebasan jiwa yang terpenjara itu hanya dapat dilakoni oleh cara
berpikir atau dengan kata yang ngetrend saat ini ‘pola berpikir’.
Melalui
‘cara berpikir’, solusi ditemukan, aksi nyata atas solusi ditindaklanjuti
bersama. Hidup dalam bahtera menjadi lebih hidup untuk menemukan arti
sebenarnya atas anugerah hidup yang diberikan secara cuma-cuma oleh sang Khalik
kepada kita. Didalamnya terjadi reformasi mental terus digalakan, rutinitas
hidup mendapat makna baru, dan motivasi untuk hidup dalam keluarga semakin
mendapat nilai baru dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Desiran Arus Zaman Dewasa
Ini
Globalisasi
dewasa ini begitu deras menunjukkan ‘pola berpikir’ baru. Sementara, keluarga
sebagai sel terkecil dalam suatu masyarakat, termasuk gereja, pun tidak bisa
dipungkiri untuk mampu menanggulangi desiran arus zaman dewasa ini. Keluarga
mau tidak mau harus ikut ngetrend, namun sejatinya tidak terbuai dan bergulir
karena terbawa arus zaman ini.
Pola
pikir ‘konsumerisme, hedonisme, radikalisme, fatalisme, relativisme,
pragmatisme, individualisme, dan egoisme adalah arus zaman dewasa ini yang
boleh kita sebut sebagai ‘tubuh’. Tubuh yang mampu memenjarakan jiwa kita. Yang
pada akhirnya, tidak bebas lagi untuk bertindak secara positif untuk ‘bebas
dari...’ dan ‘bebas untuk...’ melakoni hidup keluarga sesuai motivasi dasar
hidup berkeluarga. Maka, keluarga sebagai sel terkecil dari suatu masyarakat –
gereja yang lebih luas, perlu memperhatikan sebuah ‘pendidikan nilai’ didalam
keluarga itu sendiri.
Bagaimana Pendidik Nilai
dalam Keluarga?
Memperkenalkan anak kepada keluarga besarnya |
Saat
ini, banyak keluarga terseret dalam ‘pola pikir’ globalisasi. Tidak ikut
ngetrend dewasa ini, dibilang ‘kolot’. Memakai ipad, hp, internet, dan
lain-lain lalu tidak tahu dan bertanya kepada yang tahu, dikatakan ‘gagap
teknologi’. Memegang merk hp yang tidak canggih, dibilang ‘untuk apa kamu
banyak duit tetapi pola pikirnya masih kampungan.’ Serba salah, semuanya.
Pada
titik ini, jika keluarga tidak mampu bertahan lagi, akhirnya terjerembab dalam
arus modernitas. Setiap anggota dengan keinginan yang berbeda, akhirnya sulit
untuk berjumpa dan berkumpul. Atas nama kesibukan di luar dan atas nama
teknologi globalisasi, mentalitas perorang bahkan keluarga, berubah total.
Sulit lagi, mau duduk bersama. Semakin sulit untuk makan bersama, doa bersama, dan
lain-lain yang memiliki khas kebersamaan sebagai anggota keluarga.
Jika
bahtera keluarga dengan dihinggapi ‘pola berpikir’ demikian, maka pertanyaan
dasarnya ialah ‘kapan dan bagaimana pendidikan nilai itu dijalankan dalam
keluarga?’ Lalu, pertanyaan lanjutnya ialah ‘masihkah ada motivasi hidup
berkeluarga seperti direncanakan pada awalnya?’
Makan bersama: Pola Kolot
Menjalankan Pendidikan Nilai dalam keluarga
Keluarga menghantar anak berjumpa dengan Pastor |
Bapak
dan ibu saya, sejak awal mengajarkan kepada kedelapan anaknya begini: kita
makan bersama dalam keluarga setiap malam, setelah semua anggota keluarga habis
mandi malam. Karena prinsip ini, sebelum anggota keluarga selesai mandi malam,
maka makan malam belum dilaksanakan. Konsekuensinya ialah mandi malam bergilir
dan teratur. Sehingga mau makan malam, semua sudah mandi.
Dalam
makan malam, bapak menempati kepala meja, ibu pun menempati kepala meja yang
lain. Sedangkan anak-anak duduk mengelilingi meja. Begitu juga ketika mengambil
makanan, mulai dari bapak, ibu, kakak-kakak kemudian adik-adik, selalu
berurutan. Sebelum mengambil makanan, bapak menginstruksikan, mengambil makanan
ingat-ingat dengan yang lain. Artinya, semua anggota keluarga harus mendapat
jumlah dan makanan yang sama.
Menemani anak bermain, sambil mengajarkan alat-alat bermain |
Jika,
sampai pada yang terakhir ada yang tidak cukup, maka kami diminta untuk saling
berbagi satu sama lain. Setelah semua anggota keluarga mendapat makanan, bapak
akan omong, mari kita mulai makan... dalam makan bersama itu, bapak mulai
membicarakan banyak hal, baik tentang keluarga, tentang hubungan antar anggota
keluarga, tentang hasil-hasil usaha, tentang kegiatan sehari-hari. Bahkan,
mulai menceritakan pengalaman sehari-hari setiap anak, apa yang dirasakan
selama sekolah, kerja, dan lain-lain. Saling berbagi cerita dan saling
memberikan masukan hingga mendapat nasihat dari orangtua.
Dari
perjalanan makan bersama yang hingga sekarang masih berlaku, secara pribadi,
saya mencatat:
a. Makan bersama adalah ‘sekolah
dasar’ yang bernilai pada jiwa. Mengapa? Karena didalam makan bersama,
jiwa-jiwa keluarga mendapat keadilan, kebersamaan, kekeluargaan, saling berbagi
satu sama lain, dan saling meneguhkan atas pengalaman hidup seharian.
b. Makan bersama adalah meneladani
hidup Yesus dan para rasul dan murid-Nya. Jujur bahwa bapak dan mama saya
menjadi Katolik barus tahun 1999. Tetapi tradisi makan bersama merupakan
penerusan dari kakek saya. Dalam makan bersama, bapak akan bertanya kepada
anak-anaknya, hari ini kerja atau tidak; bagaimana belajar di sekolah hari ini,
dan lain-lain. Disinilah, teladan pengajaran dari orangtua dan kakak-kakak
diperdengarkan. Saling mendengarkan muncul disini. Didalam makan bersama ini,
muncul saling melayani satu sama lain.
c. Makan bersama,
menghidupkan manusia sebagai makhluk sosial. Mengapa tidak, dalam makan
bersama, setiap anggota saling kenal, saling tahu lebih mendalami sikap anggota
keluarga satu sama lain. Makan bersama, disana muncul nilai-nilai seperti
saling memperhatikan, saling memberi-berbagi, saling melayani, dan saling
peduli satu sama lain. Disinilah, jiwa manusia memunculkan ‘rasa’ yang akan mengasah
cara berpikir untuk suatu kebaikan dan kemuliaan diri, yang membuka horison
berpikir untuk melihat situasi di luar diri dan di luar keluarga.
d. Makan bersama akan
menyalibkan egoisme diri dan membuka ‘pundi kedewasaan diri’ untuk berpikir
secara holistik tentang usaha dan perjuangan hidup seseorang ketika menghadapi
kesulitan hidup dan mengalami kebahagian hidup sebagai sebuah anugerah dari
sang Khalik. Disinilah muncul nilai kerendahan hati, menguburkan sikap sombong,
membangun opini baru yang positip membebaskan jiwa dari penjara badan atau
tubuh.
e. Makan bersama menuai rasa
hormat yang mendalam kepada orangtua dan kakak-kakak sebagai pelaksana perintah
keempat dari Dekalog. Dengan pola ini, anggota keluarga akan mengaktualisasikan
misi rasa hormat ini kepada anggota masyarakat yang lain. Disinilah, sebenar
sebuah kritik tajam kepada kita semua yang saat ini, tidak menampilkan sikap
rasa hormat lagi kepada orang-orang yang lebih tua.
Akhirnya,
keluarga yang kini hidup di zaman modernitas, perlu juga belajar dari suatu
tradisi purba yaitu ‘makan bersama’ dalam keluarga. Tanpa peristiwa ini,
mentalitas keluarga yang hanya menaruh harapan kepada ‘orang lain’ untuk
memberikan pendidikan nilai dalam keluarga, akan sangat sulit terjawab.
Impian
bahwa keluarga adalah sel terkecil yang perlu dibangun dalam kedamaian dan
kebahagiaan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk
dilaksanakan dalam realitas hidup sehari-hari, akan buntu dan menemui titik
klimaks kebingungan sendiri. Keluarga adalah wujudnyata dua pribadi. Keluarga
adalah kelanjutan motivasi bahtera yang disepakati bersama. Keluarga adalah
jati diri dua pribadi yang telah disatukan, yang merupakan ekspresi jiwa yang
menjumpai Allah dalam ‘keheningan’. Maka ‘berkat Allah’ inilah yang nampak
dalam hidup keseharian kita. ***
Komentar