CARA ALTERNATIF MENJADI GEREJA DI ASIA TAHUN 1990-AN oleh Oswald Hirmer
Sidang Pleno Kelima: Panduan
Diskusi Lokakarya[1]
CARA ALTERNATIF MENJADI GEREJA
DI ASIA TAHUN 1990-AN
oleh Oswald Hirmer
oleh Oswald Hirmer
Selama berabad-abad, kita mengira
bahwa kita tahu persis apa yang diharapkan di dalam Gereja, bagaimana aktivitasnya
yang dapat diatur, siapa yang harus melakukan apa dan kapan, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita menyetujui pandangan
Gereja yang sangat tetap dan bahkan stereotip
yang membuatnya menyulitkan anggota Gereja, dan terutama orang luar, untuk menemukan
Kristus di balik muka gedung Gereja. Bagi banyak orang, Gereja menjadi tidak
relevan dengan kehidupan sehari-hari dan banyak pastor merasa bahwa mereka hanya
berputar-putar dalam sebuah lingkaran.
Dalam lokakarya kita ini, kita
akan mengajukan pertanyaan: adakah cara
alternatif untuk menjadi Gereja di Asia pada tahun 1990-an?
Pada awalnya kita akan
merenungkan 'Lima Model Tahapan Gereja yang mendewasakan’ yang dapat
membantu kita menemukan arah dan fokus utama dalam pendekatan pastoral kita.
Kemudian kita akan mempraktikkan
dua program pastoral Lumko untuk mendapatkan makna ‘cara alternatif untuk menjadi Gereja.’ Program-program ini disusun
sedemikian rupa sehingga bisa dilakukan sendiri oleh orang-orang tanpa adanya
seorang 'ahli'.
I.
Lima Model Tahapan Gereja yang Mendewasakan
Tujuan pastoral kita adalah
Gereja yang menjadi dewasa, di mana semua orang berperan aktif dalam kehidupan
yang lebih mendalam sebagai saudara dan saudari. Kita merindukan sebuah
komunitas Kristen; dimana semua merasa bertanggung jawab atas misi Gereja di
dunia; sebagai tanda yang bersinar dari 'dunia
alternatif'.
Banyak upaya telah dilakukan,
untuk mencapai visi ini.
Berikut 'Lima Model Tahapan dari Gereja yang mendewasakan' dapat membantu
kita untuk mengetahui di mana kita berada dan apa langkah selanjutnya dalam
perjalanan pastoral kita. Tentu saja, lima tahap pembangunan tidak akan selalu
sama di setiap komunitas paroki. Lima tahap pembangunan itu mungkin
tumpangtindih atau bahkan mengikuti urutan yang berbeda. Juga sebuah paroki
dapat berada pada tahapan yang berbeda di berbagai wilayah kehidupan gereja.
Di masa lalu, kita mengalami
Gereja yang benar-benar disediakan atau disajikan, secara bertahap
mulai hilang dalam bentuk radikal ini. Namun, model ini masih tetap karena pada
dasarnya sama, di mana sekelompok orang di sekitar pastor (misalnya Acies Legio)
atau 'pemimpin lingkungan' melaporkan kembali
kepada pastor tentang kebutuhan komunitas tanpa merasa bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan itu.
Tahapan Gereja yang dilayani |
§ Apa
yang terjadi dalam gambar ini?
§ Apa
yang baik dari 'model' ini dan apa yang tidak begitu bagus dari model ini?
§ Peran
apa yang dimainkan oleh kelompok / kumpulan awam dalam model ini?
CATATAN SEJARAH:
Adalah baik kalau mengingat kembali
bagaimana model Gereja di atas, berkembang di masa lalu. Ini akan membantu kita
untuk lebih memahami kesulitan yang harus kita hadapi dalam usaha untuk
mengubahnya.
Kata ‘awam’ berasal dari kata Yunani ‘laos’
(orang) dan digunakan oleh Paus Klemens I (93-97) untuk membedakan Umat Allah dari
‘ta ethna’, orang-orang kafir.
Pada abad ketiga para rahib
membuat dan menampilkan kehidupan religius mereka di depan umum yang kemudian dianggap
sebagai cara 'sempurna' menjadi
seorang Kristen. Kelompok agama semacam ini muncul sebagai ‘seorang Kisten yang hebat’. Pengacara Gratian Gereja menyatakan bahwa
secara kategoris: 'ada dua macam dari
orang Kristen.'
Pada abad XI-XIII (dengan
perkembangan Kuria Roma), wali gerejawi dengan yurisdiksi gerejawi, dalam
situasi itu muncul. Seorang awam adalah orang yang tidak memiliki yurisdiksi
gerejawi dan hak untuk bertindak. Pastor menjadi pemilik atas umatnya.
Pembagian antara klerus dan awam, bertolak belakang dan bahkan menjadi pertentangan.
Surat resmi Paus tentang ‘Clericos laicos’
(pada 2 Februari 1296) dari Paus Bonifasius VIII dimulai dengan kata-kata: ‘Orang awam adalah musuh para klerus. Hal
ini sangat berbahaya dalam memberikan kesaksian di masa lalu dan diajarkan lagi
di zaman kita sekarang.’
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris
Canonici (CIC)) tahun 1917 memberi bantuan kepada orang awam, baik 'untuk menerima dari barang-barang kebutuhan
sehari-hari maupun bantuan yang kuat untuk keselamatan' (Kan. 682). Tidak
ada hak lebih lanjut yang didiakui dari kaum awam selain membiarkan mereka
memberikan instruksi-instruksi tentang kerohanian (Kan. 1453-1455) dan untuk
mengelola dana Gereja setempat (Kan.1521).
Beban historis dari 'kehilangan sebuah nilai' kaum awam
adalah warisan pastoral kita dan ini harus diingat. Berabad-abad 'menyediakan' umat beriman dengan semua
barang rohani yang diperlukan, tanpa memberi mereka hak lebih jauh daripada 'menerima' telah meninggalkan tanda keduanya
baik itu kaum klerus maupun umat awam pada saat itu.
Namun, para Bapa Konsili Vatikan
II telah memberi kita pandangan baru tentang kaum awam dan menekankan martabat
umum yang diterima oleh semua anggota Gereja (LG 32).
Bahkan sebelum Konsili Vatikan II
kita mengamati pergeseran 'teologi
kepausan'. Pada tanggal 14 Oktober 1951, Pius XII menginstruksikan Kongres
Dunia Pertama tentang Kerasulan Kaum Awam: ‘Aksi Katolik ... adalah alat di tangan hierarki dan seharusnya,
seolah-olah, menjadi lengannya yang berkepanjangan '(AAS 43, 1951 hal.
789).
Pada Kongres Dunia Kedua dari
badan yang sama (5 Oktober 1957) Pius XII menggunakan bahasa yang berbeda: 'Kerasulan
ini (Aksi Katolik) selalu tetap menjadi kerasulan kaum awam dan tidak menjadi 'kerasulan
hierarkis', bahkan jika itu dilakukan dengan amanat gerejawi '(AAS 49,1957 hal.
928).
§ Apa keuntungan dari sebuah 'Dewan Gereja Paroki?'
§ Apa kekurangan dari 'Dewan Gereja Paroki?'
§ Menurut pendapat Anda, apa perbedaan antara Dewan Kota
dan Dewan Paroki?
BEBERAPA
POIN HUKUM
a)
Dewan
di Tingkat Keuskupan:
Hukum
Kanon yang direvisi menyebutkan tiga badan konsultatif di tingkat keuskupan: Sinode Diocesan[4]
(''... untuk menawarkan bantuan kepada uskup diosesan, Kan. 460), Dewan
Presbyteral[5]
(".... untuk kesejahteraan pastoral,' (Kan. 495,#1) dan Dewan
Pastoral ("..." untuk mengajukan kesimpulan praktis, Kan.
511).
Lingkup
ketiga badan ini tumpang tindih. Kanon sangat fleksibel dalam kaitannya dengan
ketiga organisasi ini.
Sinode
keuskupan (dibaca: Dewan Uskup) benar-benar fakultatif. Hal itu bisa disebut
kapan pun uskup merasa bahwa keadaan memerlukannya (Kan. 461#1). Harus ada
anggota awam di sinode (Kan. 463, 1.5). Uskup menjadi 'memimpin' semuanya itu (Kan.
500#1). Ini tidak berarti bahwa dia harus 'memimpin' pertemuan tersebut. Ini
bisa berarti, tetapi dia tetap 'memimpin' jika dia hadir dalam sebuah tempat
kehormatan dan ikut berperan aktif dalam diskusi.
Dewan
Imam itu wajib. Ini terus ada dan hanya dinonaktifkan atau demisioner kalau uskupnya
meninggal atau pensiun. Dewan ini terdiri dari para imam (Kan. 495#1). Hal ini
tidak dimaksudkan untuk menjadi dewan atasan atau golongan elit. Hal ini
dimaksudkan untuk menjadi badan penasehat bagi uskup dan dalam beberapa hal
menunjukkan kesatuan para pastor di keuskupan di sekitar uskup mereka.
Dewan pastoral bersifat fakultatif.
Namun, karena alasan inilah seorang uskup dapat membuat dewan pastoral
keuskupan sebagai instrumen kunci 'pemerintahan
yang baik.' Di sinilah semua orang di Gereja, terlepas dari fungsinya,
memiliki suara penting untuk memberikan pendapat tentang karya Gereja, arah
pelayanan, dan bagaimana Injil bisa menjadi relevan. Oleh karena itu, dewan
pastoral sangat penting, perlu dan layak. Peran dewan pastoral sangat penting
karena dialog di dalam Gereja dalam skala yang lebih luas untuk merangsang basis
dukungan yang lebih luas dalam menerapkan keputusan.
Dewan
pastoral memungkinkan umat beriman untuk menggunakan hak mereka untuk
mengungkapkan pendapat dan hak untuk didengar pada tingkat pengambilan
keputusan (Kan. 212).
Dewan
pastoral harus mengadakan pertemuan setidaknya setahun sekali (Kan. 514).
b)
Dewan
Pastoral di Tingkat Paroki.
Jika
uskup menganggap tepat, dewan pastoral akan dibentuk di setiap paroki. Dewan
pastoral ini dipimpin oleh pastor paroki dan memiliki suara konsultasi (Kan. 536).
Fakta
bahwa dewan pastoral paroki bersifat fakultatif, tidak berarti hal itu tidak
penting. Ini lebih mengingatkan bahwa paroki harus memiliki dewan pastoral. Ini
sebenarnya, bahwa untuk pertama kalinya aturan Gereja menyarankan adanya dewan
semacam itu, dan oleh karena itu, harus dianggap serius. Juga penting bahwa aturan
Gereja ini menyebut dewan ini sebagai ‘pastoral’, yang berarti para anggota
berbagi dalam tugas pastoral paroki, di samping imam atau pastor.
'Pemimpin
tertinggi' (mirip dengan uskup 'yang
memimpin' dewan presbyteral) tidak berarti bahwa pastor paroki harus
memimpin pertemuan dewan pastoral. Ini bisa berarti begitu, tetapi bahwa dia
masih dapat 'memimpin' (prae-esse) jika dia menyetujui sebuah pertemuan dewan
paroki atau hadir di antara para anggota.
Fakta
bahwa dewan paroki hanya memiliki suara konsultasi tidak menyiratkan bahwa
pertimbangan dan keputusannya tidak penting. Hal ini lebih membuka kemungkinan
untuk 'pemerintahan yang baik' dari sebuah
alkitabiah dan Kristen, tentang 'kepemimpinan yang non dominasi'.
Berbicara
tentang pemungutan suara dan pengambilan keputusan dalam kehidupan Gereja, kita
menerima kenyataan bahwa Gereja bukanlah sebuah demokrasi. Namun, Gereja juga
bukan sebuah kediktatoran. Meskipun ‘semua
kekuatan’ tidak datang ‘dari
masyarakat,’ aturan dasar perilaku manusia yang demokratis harus
diperhatikan dalam memenuhi misi bersama yang diberikan kepada Umat Allah
secara keseluruhan. Aturan dasar perilaku ini, sebagaimana harus diamati di
Gereja, melangkah lebih jauh dan menuntut lebih banyak ‘demokrasi’ daripada peraturan ‘demokratis’
yang dijamin dalam sebuah konstitusi sekuler.
Pola
perilaku di komunitas Gereja didasarkan pada 'persamaan yang benar antara semua yang berkaitan dengan martabat dan
aktivitas yang umum bagi semua umat beriman ...." (LG 32) dan diatur dengan
perintah Tuhan: " ... Engkau hanya
memiliki satu Tuan dan Anda semua adalah saudara (dan saudara perempuan) "(Mat.
23: 8).
1.3.
Gereja yang Bangkit
Ada kerinduan yang luar biasa didalam
diri banyak orang Kristen, bahwa setiap hari mereka
tidak hanya sekedar seorang individu di dalam Gereja. Orang-orang Kristen itu
lalu mengajukan pertanyaan: 'Apa itu Gereja? Siapakah Gereja? Permintaan
yang dibuat oleh umat beriman, sering tanpa penjelasan yang lebih dalam.
Pertanyaan diajukan lagi: 'Mengapa semua berubah ini', Orang-orang Gereja pun
bangkit.
Tahapan Gereja yang Bangkit |
§ Menurut
pengalaman Anda, apa yang membuat orang di paroki merasa 'tidak nyaman'? Apa
yang mereka tanyakan dalam kehidupan Gereja?
§ Di
wilayah-wilayah mana kehidupan Gereja, apakah Anda ingin orang-orang memperoleh
'pandangan baru' atau 'kesadaran baru'?
§ Perubahan
waktu adalah masa penderitaan. Deskripsikan "rasa sakit" yang harus
dialami para pemimpin yang setia dan pemimpin mempunyai pengalaman dalam mencari
harapan baru bagi mereka!
§ Perubahan
waktu juga merupakan masa sukacita. Deskripsikan "keuntungan,"
sukacita dan harapan baru yang mungkin dialami oleh para pemimpin yang setia
dan pemimpin yang memiliki pengalaman dalam mencari pemahaman baru mereka tentang
Gereja.
CATATAN RINGKASAN:
Semangat kebangkitan dapat
diciptakan di paroki dengan ketiadaan kehadiran para imam, dengan surat-surat
pastoral uskup, dengan khotbah, dengan literatur, dengan seminar, dengan cara
lain yang berbeda, dengan cara yang berbeda untuk menjadi Gereja, dan dengan
menyadari nilai-nilai yang diminta di luar Gereja, misalnya, konsultasi, kesetiaan
martabat yang setara, dll.
Jika kita membayangkan bahwa seluruh
paroki berada di dalam 'gerakan', maka pastor, pemimpin komunitas, dan umat
beriman, harus menerima pandangan baru.
Daftar bidang kesadaran atau
pandangan yang mungkin harus dipengaruhi, tentu saja, tidak terbatas. Setiap
komunitas memiliki 'opini publik' dan
'pendapat yang aneh' yang dengannya kita dihadapkan. Kemungkinan bidang-bidang
dimana prospek baru dibutuhkan adalah:
§ Apa artinya menjadi GEREJA? .... untuk dibaptiskan .... untuk melayani
orang lain ....... untuk bekerja sama dengan orang lain di Gereja .... untuk
bersaksi .... untuk menginjili ..... untuk menjalani Injil hari ini?
§ Apa yang Gereja lakukan berkaitan
dengan masalah dunia sekarang? Dengan
cara dan metode apa kita menghadapi ketidakadilan dan kejahatan? Bagaimana
dengan keterlibatan orang Kristen di partai politik, serikat pekerja, dan sebagainya?
§ Kemungkinan adanya cara yang
berbeda untuk menjadi Gereja, misalnya di dalam Komunitas Kristian Kecil. Apakah cukup untuk menjadi individu gereja
setiap hari? Mengapa sharing pribadi begitu banyak di dalam komunitas kecil?
Mengapa mereka harus mengubah dunia di sekitar mereka? Dll.
§ Bagaimana kepemimpinan
dilaksanakan di dalam Gereja? Bagaimana dengan karisma yang berbeda dari umat
beriman? Bagaimana pemimpin yang dipilih? Haruskah pemimpin komunitas bergilir
atau tetap selamanya? Dll.
Sebuah perubahan dalam pandangan
dan praktik menyiratkan kematian dan sekaligus kebangkitan. Ini membawa rasa
sakit dan keuntungan bagi semua yang terlibat.
Melakukan program penyadaran di dalam
sebuah paroki memerlukan pendekatan yang berbeda dari ‘cerita’ umat. Program penyadaran
mengundang orang untuk menerima pandangan baru dan mengubah nilai ("Saya
suka ini"). Nilai tidak bisa dipaksakan tetapi harus bebas diterima
sebagai pertimbangan hati nurani.
Dalam program penyadaran,
orang-orang itu sendiri harus secara aktif terlibat dalam proses dan diizinkan
untuk menemukan cakrawala atau pandangan baru. Argumen dan fakta harus
disediakan sehingga dapat diterima atau ditolak oleh umat.
Program penyadaran harus diterima.
Oleh karena itu, presentasi mereka harus menunggu sampai muncul kesempatan di
mana kebutuhan akan sebuah pandangan baru dirasakan (misalnya, imam yang sakit.)
Keuntungan dari program penyadaran
yang dirancang sendiri terbukti baik dan bagus. Program Penyadaran yang
diterbitkan oleh Lumko:
No. 1: Program Penyadaran
untuk kepedulian sosial.
No.3: Program Penyadaran
untuk melatih anggota Dewan Paroki.
No.14: Program Penyadaran
untuk komunitas Kristen yang melihat kepemimpinan di dalam Gereja dengan cara
baru.
No.18: Program Penyadaran untuk memperkenalkan bagian kemasyarakatan.
No.19: Program Penyadaran
untuk Komunitas Kristen Kecil (3K).
1.4.
Gereja sebagai Kelompok Tugas /
Kerja
Di sebuah paroki, di mana umat
beriman telah menjadi sadar akan tanggung jawab
bersama mereka, 'kelompok tugas/kerja' atau panitia akan
berkembang untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Imam menjadi penyelenggara
kelompok ini. Model ini pada dasarnya tetap sama jika paroki dibagi menjadi
beberapa bagian/seksi atau tempat di mana kelompok tugas/kerja serupa dibentuk
di 'tingkat lingkungan'.
Tahapan Gereja sebagai Kelompok tugas/Kerja |
§ Apa yang terjadi dalam gambaran
tentang 'Gereja sebagai kelompok tugas / kerja' ini?
§ Apakah nilai dari model Gereja
ini? Apa kekurangannya?
§ Kesulitan dan keuntungan apa yang
dialami oleh umat beriman dan pemimpin mereka dalam 'model' Gereja ini?
CATATAN RINGKASAN:
'Gereja sebagai Kelompok tugas /
Kerja' adalah langkah maju yang hebat dalam perjalanan menuju Gereja 'Partisipatoris'. Fungsi dasar Gereja
terpenuhi secara efisien, semuanya diatur dengan baik dan termasuk 'hal-hal
sedang terjadi.'
Namun, model ini paroki yang
biasa sering terbebani oleh banyak masalah dan kelompok orang yang suka menuntut
perhatiannya. Misalnya, kelompok tugas/kerja diminta untuk peduli dengan kaum
muda, orang tua, orang-orang yang lanzia, orang-orang yang baru saja
diperkenalkan dan juga orang-orang yang bercerai, pekerja yang menderita,
pekerja menganggur, manajer, migran, paduan suara, orang miskin, aksi sosial,
program katekese, liturgi, perkumpulan/asosiasi, Marriage Encounter, dan
sebagainya.
Kelompok tugas/kerja yang berbeda
cenderung bersaing satu sama lain untuk mendapatkan waktu dan perhatian.
Sedikit pelatihan dapat ditawarkan kepada ‘pegawai/petugas’,
baik dalam keterampilan maupun dalam pertumbuhan spiritual.
Peran
para fulltimer di paroki semacam itu
akan berubah menjadi
penyelenggara dan pengelola. Dalam kasus ideal mereka akan menjadi penaggungjawab
dan pelatih. Mereka akan merasa bertanggung jawab bahwa semua fungsi dipenuhi
secara efisien oleh kelompok tugas / kerja dan panitia mereka.
Namun, 'kelompok klerikalisme' dapat berkembang di paroki semacam itu, karena
mereka menyerap dan mengklaim 'karisma' dan tanggung jawab yang dimiliki semua
orang di komunitas Kristen.
Animasi, koordinasi, dan
pelatihan yang terus-menerus akan menjadi penting. Bahayanya adalah bahwa
anggota kelompok tugas / kerja dapat dilatih hanya sebagai 'pegawai / petugas' tanpa membangun komunitas atau membantu mereka untuk
bertumbuh secara rohani dan mental. Mereka yang memikul tanggung jawab di
Gereja dapat merasa puas karena telah mencapai 'Gereja yang efisien' di mana fungsi yang diperlukan sedang
'dilakukan dengan cara yang terorganisasi dengan baik. Pelatihan mungkin
terbatas pada 'pelatihan keterampilan'.
Namun, dibutuhkan empat bidang
pelatihan:
a.
Kehidupan
spiritual (mis. memperdalam iman, doa, dll.)
b.
Sikap,
nilai, penyadaran (misalnya, layanan, bukan, kekuatan, membangun komunitas,
kerja tim, tanggung jawab sosial).
c.
Pelatihan
ketrampilan (mis. bagaimana cara membaca, memimpin rapat, cara memecahkan
masalah, bagaimana cara menganimasi kepada orang lain, dll.).
d.
Informasi,
pengetahuan, wawasan (mis. pengetahuan teologis, pengetahuan umum tentang sosial
kemasyarakat-an, dll.).
Pelatihan ini terutama harus
dilakukan di paroki itu sendiri. Tim komisi dan kepemimpinan 'berputar / bergilir', harus dilakukan. Program
Lumko menawarkan berbagai macam program pelatihan keterampilan, misalnya,
melatih animator untuk sharing Injil, pelatihan untuk mengunjungi orang sakit,
melatih pemimpin pemakaman, pelatihan spiritual para pemimpin komunitas, dll. Program
keterampilan ini mengikuti metode pendidikan orang yang dewasa, misalnya,
memungkinkan para peserta untuk menemukan sendiri apa pun yang dapat mereka
temukan, dan menggabungkan fungsi praktis dengan pertumbuhan spiritual.
1.5.
Gereja sebagai Persekutuan dari Komunitas-komunitas
Gereja sebagai persekutuan |
a. Keluarga
yang berdekatan / bertetangga bertemu di luar pelayanan resmi Gereja.
b. Keluarga
yang berdekatan itu mengadakan Sharing Injil, sebagai dasar spiritualitas
mereka.
c.
Mereka
mendukung kerja sama dan bekerja sama atau aksi nyata.
d. Mereka terhubung
atau bersatu dengan kelompok- kelompok lain dalam Paroki dan Gereja Universal.
§ Menurut Anda apa perbedaan antara
Gereja sebagai kelompok tugas / kerja dan Gereja sebagai persekutuan dari
komunitas-komunitas?
§ Menurut pendapat Anda, bagaimana
Anda menggambarkan Gereja yang "ideal" itu?
§ Bagaimana hubungan antara orang-orang
beriman dan kepemimpinan mereka dalam Gereja semacam itu?
§ Apa keuntungan dan kekurangan
dalam model Gereja semacam itu?
§ Apa alasan teologis untuk visi
Gereja semacam itu?
CATATAN RINGKASAN:
Gereja sebagai persekutuan dari komunitas-komunitas
adalah sebuah ideal yang tinggi, sebagai kesatuan yang sama dalam cinta dan
kasih Kristiani. Kita mungkin tidak pernah sepenuhnya mencapainya tetapi
cita-cita tetap ada, dan tetap memberi arahan dan harapan. Alasan teologisnya
yang paling dalam terletak pada ‘kehidupan batin’ dari Berkat Trinitas yang
harus tercermin pada mereka yang dipanggil untuk menjadi anggota Komunitas
Basis Gerejawi.
Sebuah persekutuan dari
komunitas-komunitas dapat mencerminkan ‘perjanjian cinta’ (perjanjian) Allah
dengan umat-Nya secara lebih dalam dari pada jemaat-jemaat individual.
Jika visi Gereja semacam itu ada
di depan mata kita, bahkan kegiatan pastoral yang terkecil pun menjadi arahan
dan menjadi langkah maju tanpa ‘berlari
mengelilingi lingkaran.’! Langkah-langkah seperti itu:
_ Mendorong semua kelompok untuk menumbuhkan
hubungan personal dan iman yang lebih dalam (misalnya, Marriage Encounter,
dll.).
_ Memulai kelompok-kelompok Sharing
Injil yang mau, bukan sebagai lingkungan, namun dengan orang-orang yang
tertarik dari paroki tersebut.
_ Mendelegasikan kepada kelompok-kelompok
semacam itu, beberapa tugas yang biasanya diatur dari pusat (mis., persiapan
untuk sakramen, menyiapkan liturgi, dll.).
_ Mendorong kelompok-kelompok doa
(bahkan jika mereka tidak menggunakan Alkitab).
_ Pertemuan doa sementara atau
pertemuan Sharing Injil selama masa Advent atau Masa Prapaskah.
_ Misa bergilir di rumah dalam KBG.
_ Pertemuan di KBG untuk memutuskan
isu-isu penting (yang diselenggarakan oleh Dewan Pastoral).
_ Melatih Sharing Injil dalam
kelompok-kelompok yang ada di paroki (misalnya, Dewan Pastoral, asosiasi-perkumpulan,
tim paroki, dll.).
_ Mengadopsi gaya kepemimpinan yang
penuh semangat dan inspiratif, berbeda dengan gaya kepemimpinan yang
mendominasi dan memberikan arah.
_ Mengevaluasi semua kegiatan
pastoral dengan mengajukan pertanyaan seperti:
§ "Apakah
kita meminta orang untuk 'membantu kita' dalam mencapai suatu tugas tertentu
atau apakah kita 'membantu mereka' untuk menjalankan tanggung jawab mereka
sendiri?
§ "Apakah
kita menyediakan atau membiarkan orang beriman" melakukan sendiri apa pun
yang dapat atau harus mereka lakukan sendiri? "
"Jiwa" Gereja yang
digambarkan sebagai persekutuan dari komunitas-komunitas adalah semangat
persaudaraan dan persaudaraan di dalam Kristus, dengan menghormati martabat
bersama semua orang (walaupun mereka memiliki fungsi yang berbeda), dan
menerima tanggung jawab bersama untuk memenuhi misi Kristus di dunia.
"Cara alternatif menjadi
Gereja" pada dasarnya adalah cara hidup sebagai komunitas yang penuh
kasih, yang merupakan pertanda komunitas alteratif bagi dunia sekitar.
Marxisme mengklaim menciptakan
"komunitas" alternatif yang sempurna. Pembongkaran Marxisme di
seluruh dunia, seperti yang kita alami hari ini, seharusnya tidak menidurkan kita
ke dalam kepuasan diri tetapi mengingatkan kita akan tugas Kristiani kita:
_ Untuk menjadi tanda alternatif sosial
kemasyarakatan yang tidak dibangun dalam persaingan brutal atau sharing
kekuatan namun pada sharing sebagai saudara dan saudari.
_ Menjadi tanda alternatif komunitas
yang tidak dikuasai oleh diktator kekuasaan tetapi di mana pemimpin yang ‘tidak
mendominasi’ atau ‘pemimpin yang melayani’ dilaksanakan.
_ Menjadi tanda harapan bahwa Tuhan
akan menyelesaikan dan menyempurnakan apa yang telah kita mulai dalam iman.
Dengan cara ini, impian kita
tentang ‘cara alternatif untuk menjadi Gereja’ mengasumsikan dimensi global dan
eska-tologis.
II.
SHARING INJIL: SEBUAH CARA
ALTERNATIF MENJADI GEREJA
‘Cara alternatif untuk menjadi
Gereja’ tidak dimulai dengan mengubah struktur. Hal ini lebih dimulai dengan
melakukan sesuatu dengan cara alternatif.
Misalnya, Sharing Injil dalam
kelompok-kelompok tidak hanya dengan cara yang berbeda dalam menggunakan
Alkitab namun pada saat bersamaan merupakan ‘cara
alternatif untuk menjadi Gereja.’ Hal itu dapat dilakukan segera dengan
kelompok yang ada, baik itu pastor paroki dengan rekan kerja, dewan paroki, panitia
dan, tentu saja, komunitas lingkungan kecil tempat mereka tinggal, KBG.
2.1.
Deskripsi Singkat tentang Sharing
Injil:
Kelompok tetangga kecil di Main
Street, berkumpul untuk pertemuan mingguan mereka. Metode Sharing Injil Tujuh
Langkah adalah ‘agenda’ mereka, di mana mereka berdoa kepada Yesus dan
mendiskusikan kebutuhan serta masalah sehari-hari mereka.
Setelah 'mengundang' dan
'menyambut' Tuhan ke tengah mereka, mereka membaca beberapa kali Injil pada
hari Minggu berikutnya.
Kemudian masing-masing mengambil
sebuah kata atau kalimat / frase pendek dan mengulanginya beberapa kali sebagai
cara yang penuh untuk berdoa. Mereka memilih ungkapan seperti 'Yesus duduk',
atau 'Yesus menatapnya', dll.
Sharing Injil: Agenda utama KBG |
Setelah beberapa menit diam,
mereka sharing masing-masing, dengan kata lain yang telah menyentuhnya secara
pribadi. Tidak ada yang berkhotbah kepada orang lain atau memberikan penjelasan
seperti seorang pengajar atau ahli tentang teks tersebut. Namun, mereka berbagi
bagaimana kata tertentu dari teks itu menantang mereka atau memberi mereka
harapan baru.
Kini saatnya berdiskusi tentang
aktivitas kelompok dan masalah sehari-hari. Misalnya, beberapa laporan tentang
kunjungan mereka kepada orang sakit, ada yang menyebutkan tentang kebutuhan, membantu
pengungsi yang baru tiba masuk dalam lingkungan yang baru. Semua ini dilakukan
dengan semangat persaudaraan.
Doa spontan menutup pertemuan.
2.2.
Dimensi Teologis Sharing Injil
Kita terbiasa melakukan studi
Alkitab, mengutip Alkitab untuk membuktikan sebuah poin teologis, menarik
implikasi moral dari Kitab Suci dan menikmati pembacaan Alkitab pribadi. Sharing
Injil dalam kelompok, bagaimanapun, menekankan atau menambahkan dimensi
teologis tertentu terhadap penggunaan Kitab Suci.
a) Komunitas
Orang-orang yang Percaya Menyambut Kristus yang Bangkit
Kelompok orang-orang yang percaya,
berkumpul untuk Sharing Injil, bukan berkumpul di sekitar buku yang sudah mati
dengan banyak kata. Mereka ‘mengundang Tuhan’ dan menyambutnya sebelum mereka
membaca teksnya. Ini menunjukkan arah teologis Sharing Injil, sejak awal.
Mereka bersatu dalam nama Yesus
dan menyambut Dia di tengah-tengah mereka. Mereka percaya kepada Kristus yang
bangkit, yang menjanjikan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia akan tinggal bersama
mereka sampai akhir zaman (Mat. 1: 23;
18: 20; 28: 20).
Hal yang sama, tentu saja benar
untuk Liturgi Sabda dan Ekaristi di Gereja.
b) Kata-kata dalam Kitab Suci menjadi 'Tanda-Tanda Sakramental'
Dalam
kelompok study Kitab Suci, kata-kata dalam Kitab Suci adalah kata-kata
informasi yang bisa ‘dipotong-potong menjadi kecil’ (dibaca: dibahas) dan
dibicarakan lebih mendalam lagi. Bagi orang lain, kata-kata Alkitabiah adalah
pesan tentang hikmat dan wawasan spiritual. Dalam kelompok Sharing Injil kita
memahami teks Alkitabiah sebagai ‘tanda sakramental’ kehadiran Tuhan.
‘Firman
itu menjadi manusia ..... dan hidup di antara orang-orang’ (Yoh. 1:14). Banyak
kata dalam Alkitab menjadi tanda Firman yang hidup dan menjadi nyata untuk
bertemu dengan Kristus yang bangkit. Oleh karena itu, tujuan Sharing Injil
bukanlah untuk ‘memahami’ sebuah teks melainkan untuk menyentuh orang yang penuh kasih dan orang itu pun
tersentuh dengan teks itu, seperti wanita di antara kerumunan yang menyentuh
ujung jubahnya (Mat. 9:20).
Realitas
kehadiran Kristus di dalam sebuah kelompok Sharing Injil adalah sama nyatanya
dengan Ekaristi. ‘Gereja selalu
memuliakan Kitab Suci saat dia menghormati Tubuh dan Darah Tuhan’ (DV 21).
Pengalaman
kehadiran Tuhan melalui tanda-tanda sakramental, bukan meningkatkan daya gaib.
Itu tergantung pada komunitas cinta dan kepercayaan, dimana tanda-tanda itu
digunakan. Hal ini tentu saja, menciptakan tantangan tidak hanya bagi Injil, kelompok-kelompok
sharing tetapi juga untuk pertemuan ekaristi.
c)
Sharing
Injil dan Doktrin Iman Kristen
_
Pertanyaannya
mungkin diajukan:
Apa
yang terjadi, jika salah satu anggota kelompok tersebut, secara mutlak sampai
pada melakukan interpretasi sesat dari teks tersebut? Bagaimana teks Alkitabiah
dapat diterapkan pada kehidupan, jika makna aslinya tidak dipahami?
Untuk memulai dengan keberatan terakhir:
Sharing
Injil adalah ‘cara alternatif' untuk
menggunakan Alkitab. Teks menjadi tanda sakramental, seperti yang disebutkan di
atas. Ini menjadi sarana pertemuan ‘langsung’ dengan Kristus. Bahkan jika teks
sebenarnya ‘salah’ dipahami dalam pengertian eksegetis yang ketat, mungkin
tepat dalam konteks keseluruhan Alkitab, dengan pesan dasarnya: Akulah Tuhanmu. Aku dengan Anda. Aku mencintai
kamu.
Bisa
juga dikatakan bahwa Kitab Suci sendiri kadang-kadang ‘menafsirkan kembali’ teks-teks Alkitabiah. Misalnya: Markus 4
(penjelasan alegoris tentang penabur); Gal. 14: 24 (Sarah dan Hagar); Yohanes 6
(interpretasi kembali Perjamuan Terakhir).
Bahkan
liturgi mengharapkan hak untuk ‘menafsirkan kembali’ teks-teks Alkitabiah,
tidak mengikuti temuan eksegetis yang ketat. Ini kita amati, misalnya, dalam
pilihan pembacaan minggu pertama yang seharusnya sesuai dengan tema utama
Injil.
Kita
juga tahu bagaimana arti harafiah teks bisa memalsukan pesan.
Orang-orang
dalam kelompok Sharing Injil (atau di Gereja) mendapat dialamatkan oleh Tuhan
tanpa memahami sepenuhnya atau bahkan menafsirkan secara salah makna asli dari
teks tersebut. Yesus sendiri diterima dalam teks. Oleh karena itu kami
menanggapi setelah proklamasi Injil: "Terpujilah
Engkau, Tuhan Yesus Kristus."
_
Apa
yang terjadi ketika salah satu anggota kelompok memberikan penjelasan secara
bida’ah tentang teks tersebut?
Dalam
hal ini kita percaya pada kemampuan komunitas untuk memperbaiki dan membimbing.
Sebuah masalah yang sulit bisa disampaikan kepada "ahli" nanti.
Dan,
bagaimanapun, Sharing Injil bukanlah satu-satunya cara untuk berurusan dengan
Kitab Suci di dalam komunitas. Ada khotbah, kelompok katekumen, kelompok
belajar Alkitab, dan lain-lain. Semua ini akan melatih memperbaiki pengaruh
mereka.
2.3. Sharing Injil adalah Ekspresi ‘Jalan Alternatif
Menjadi Gereja’.
_
Sharing Injil melibatkan orang-orang beriman yang
aktif dalam mencari kehendak Tuhan, dan mengatasi ‘nasihat-nasihat’ dari
‘seorang ahli’.
_
Sharing Injil memungkinkan orang setia untuk tumbuh
bersama sebagai ‘komunitas-komunitas alternatif’ dalam kelompok kecil.
_
Sharing Injil memungkinkan untuk menerapkan
pengharapan dari Konsili Vatikan II: "Orang-orang
yang secara teguh berpegang pada iman, menundukkannya lebih dalam dengan
penilaian yang benar, dan menerapkannya lebih, dalam kehidupan
sehari-hari" (LG 12).
_
Sharing Injil merupakan langkah penting menuju
inkulturasi sejati. Orang-orang itu sendiri dihadapkan ‘secara langsung’ dengan
Injil dan menemukan tanggapan mereka sendiri terhadapnya dalam kehidupan
sehari-hari. Dari pengalaman asli ini dengan pesan tentang ‘kebutuhan’ budaya
khusus dapat dijawab dan ekspresi yang sesuai dalam liturgi dan dapat dimunculkan
sebagai seni.
_
Dalam Sharing Injil ‘gaya kepemimpinan alternatif’ diekspresikan.
‘Fasilitator’ memungkinkan sebuah kelompok tersebut untuk hidup. Tidak ada yang
dilakukan oleh fasilitator yang dapat dilakukan oleh anggota kelompok (mis.
Membaca teks, memberikan jawaban pertama).
Pemimpin
kelompok ini menjadi ‘fakultatif’, meski tanpa dia akan ada kekacauan. Jenis
kepemimpinan alternatif ini, yang disebut kepemimpinan Non Dominasi,
mempraktikkan perintah Tuhan: ‘Barangsiapa
yang pertama-tama harus menempatkan dirinya untuk yang terakhir dan menjadi pelayan
untuk semua orang’ (Mrk. 9:35).
2.4. Kita Mempraktekkan Sharing Injil 7 Langkah:
Kita
mengambil teks dari Injil Markus 9: 33-37 sebagai teks untuk Injil kita dalam
kelompok kecil: 12-15 anggota.
TUJUH LANGKAH
|
EVALUASI TUJUH LANGKAH
|
1. Kita mengundang Tuhan.
Akankah seseorang, tolong, mengundang Yesus dalam sebuah doa. |
1) LANGKAH 1: Apakah ada semangat dalam doa? Adakah yang
mengganggu atau menghancurkan semangat doa?
|
2. Kita membaca teks. Mari
kita buka .... bab ..... ayat ...... sampai dengan ayat ......
|
2) LANGKAH 2: Apakah semua orang menemukan teks sebelum dibaca?
|
1. Kami memilih kata-kata dan merenungkannya.
Kami memilih kata-kata atau ungkapan-ungkapan singkat, membacanya dengan sepenuh hati, dan tetap diam di antaranya. |
3) LANGKAH 3: Apakah kita membiarkan waktu diam di antara
kata-kata yang 'kita pilih’? Apakah kita membacanya dengan suara keras,
dengan cara yang penuh doa?
|
2. Kita membiarkan Tuhan berbicara kepada kita dalam keheningan.
Kita terus berdiam diri untuk ...... menit dan mengizinkan / membiarkan Tuhan berbicara kepada kita. |
4) LANGKAH 4: Apakah waktu diam terlalu pendek atau terlalu lama?
|
3. Kita berbagi apa yang telah kita dengar di dalam
hati kita.
a.
Kata mana yang telah menyentuhmu secara pribadi?
b.
Bagaimana kita menjalani ‘Sabda Kehidupan’
|
5) Apakah
ada syering pribadi yang nyata atau 'berkhotbah’ kepada orang lain'?
|
4. Kita
mendiskusikan tugas yang harus dilakukan oleh KBG/kelompok kita.
a. Laporkan
tugas sebelumnya.
b. Tugas
baru apa yang harus dilakukan?
|
6) LANGKAH 6: Apakah kita membiarkan Roh Firman Tuhan membimbing
diskusi kita tentang tugas yang akan kita lakukan bersama?
|
5. Kita
berdoa bersama secara spontan
(Kita mengakhiri pertemu-an kita dengan doa / nyanyian rohani yang dapat ketahui oleh semua peserta). |
7) LANGKAH 7: Apakah kita membiarkan cukup ‘waktu’ bagi setiap
orang untuk berdoa secara spontan?
|
8)
Apakah yang sudah dilakukan fasilitator itu dengan
baik? Apa yang masih bisa fasilitator perbaiki?
|
CATATAN :
§ Beberapa orang merasa lebih mudah
untuk sharing secara pribadi, jika mereka menyampaikan sesuatu kepada Yesus
sebagai sebuah percakapan yang intens dengan Dia.
§ Beberapa kelompok memilih apa
yang disebut dengan ‘Sabda Kehidupan’ selama sebulan. Kata seperti itu diambil
dari kata-kata dari teks yang digunakan dalam pertemuan tersebut. Misalnya: ‘Hamba
semua’ atau ‘ikuti Aku.’ Mereka mencoba untuk mengingat ‘Sabda Kehidupan’ ini
selama sebulan dan menerapkannya dalam situasi tertentu, sebagai panduan dan petunjuk.
Mereka sharing pengalaman tentang "Sabda Kehidupan" di langkah ke-5.
§ Suatu kelompok dapat memperbaiki
Sharing Injil 7 Langkah jika para anggota mengevaluasi diri mereka setelah selesai
pertemuan tersebut. Mereka dimungkinkan untuk menggunakan lembar evaluasi di
atas.
2.5.
Metode Syering Injil yang lainnya
Seri Lumko No. 20: SYERING INJIL berisi tentang program
pelatihan yang terperinci dengan poster dan buku kerja untuk memperkenalkan Metode
Tujuh Langkah dan Empat Metode lebih lanjut untuk Sharing Injil.
_ Metode Sharing Tujuh Langkah
adalah dasar dari metode lainnya. Ini mengadopsi pendekatan meditasi terhadap
Kitab Suci, dapat membantu anggota kelompok secara individu untuk tumbuh dalam
iman mereka dan saling meningkatkan semangat dalam kelompok tersebut. Semua ini
penting untuk membangun komunitas kecil di sebuah paroki.
_ Metode ‘Respon Kelompok atau Bercermin pada Kitab Suci’ tidak disarankan sharing
pribadi, namun dengan mengajukan pertanyaan:
a.
"Masalah hidup kita apa yang
tercermin dalam teks Kitab Suci yang kita baca saat itu?"
b.
"Apa yang dipikirkan Tuhan
tentang problem-masalah kita?"
c.
"Nasihat apa yang Dia
berikan pada kita?"
_ Metode ‘Look (Melihat) - Listen (Mendengar) – Love (Mencintai)’ mengundang
anggota kelompok untuk menceritakan pengalaman hidup sehari-hari yang dialami
oleh kelompok ini dalam terang ‘pandangan Tuhan’, dan menyoroti situasi itu
dengan menggunakan kebijaksanaan Kristiani mereka.
_ ‘Life
(Kehidupan)– Bible (Kitab Suci)- Notes (Catatan)’ membantu sekelompok pemimpin
paroki untuk memilih masalah sosial di daerah tersebut, menyiapkan beberapa
pertanyaan panduan dan teks Kitab Suci yang sesuai untuk digunakan di dalam komunitas
kecil.
_ Program ‘Amos’ menawarkan pola analisis masalah sosial, bagaimana
menghadapi mereka dengan tuntutan Injil, dan bagaimana mencari akar penyebab
masalah ini.
Meskipun metode 7 langkah adalah dasar untuk Syering Injil di
komunitas kecil, metode lain digunakan dari waktu ke waktu untuk menawarkan
variasi dan membuka dimensi lain dalam ‘penggunaan
alternatif Kitab Suci’.
III.
MENGGUNAKAN RCIA: CARA ALTERNATIF
MENJADI GEREJA
Buku Ritual Christian Initiation of
Adults (RCIA) diterjemahkan menjadi Ritus Inisiasi Orang Dewasa Kristen adalah ungkapan ‘alternatif’ gereja
di mana umat beriman memikul tanggung jawab dan secara aktif untuk terlibat
dalam ‘menyerahkan iman dari satu generasi ke generasi berikutnya’.
Buku Lumko ‘Our Journey Together’ atau yang diterjemahkan menjadi ‘Perjalanan
Kita Bersama’ berisi edisi bergambar dari semua Ritus, serta 47 sesi
katekese untuk berbagai tahap dalam RCIA.
Perjalanan Kita Bersama |
Sesi katekese ini ditulis
sedemikian rupa sehingga pria dan wanita di paroki dapat memfasilitasi ‘katekumen’
dengan minimal pelatihan yang dibutuhkan. Ini akan memungkinkan komunitas
Kristen untuk menjadi ‘pewarta’.
Buku ini juga digunakan oleh
kelompok orang Kristen. Ini membantu mereka untuk memperkuat iman dan komitmen
Kristiani mereka.
3.1. Ritual
Inisiasi Orang Dewasa Kristen Mencerminkan 'Cara Alternatif Menjadi Gereja'
RCIA, yang digunakan dengan baik
di sebuah paroki, adalah langkah besar dari tidak hanya sekedar ‘disediakan
untuk Gereja’.
_ Upacara tersebut membuat seluruh
komunitas Kristen bertanggung jawab atas katekumen yang menyertainya dalam
perjalanan iman mereka. Dalam prosesnya, komunitas Kristen menyadari dan
menerapkan konsep 'Kita adalah Gereja'.
_ Seluruh komunitas ikut serta
dalam menyambut katekumen yang membantu mereka maju dalam perjalanan iman
mereka dan akhirnya merekomendasikan mereka untuk menerima sakramen inisiasi.
_ Pendukung adalah perwakilan dari
keseluruhan komunitas Kristen.
_ Berkah dan Doa melawan Jahat
(Minor Exorcisms) dirayakan oleh pria dan wanita yang ditugaskan di dalam
komunitas.
_ Ritual utama/tinggi dirayakan
selama liturgi hari Minggu di mana seluruh jemaat mengambil bagian aktif.
_ Katekese tidak hanya diajarkan di
‘kelompok katekumen’ namun diinisiasi
ke dalam iman ‘dengan bantuan beberapa
orang beriman, dan tetap bersama untuk membagi kegembiraan dan pengalaman
spiritual mereka sebagai saudara dan saudari’ (art. 96 RCIA ).
Ini adalah pendekatan alternatif'
terhadap ‘kelompok katekumen’ lama di mana katekis mengetahui semua jawaban
atas pertanyaan yang tidak pernah diminta.
Ada 47 sesi katekese yang
diberikan dalam ‘Our Journey Together’ (Perjalanan Kita Bersama) ingin membantu ‘komunitas
katekumenal’ untuk berbagi pengalaman ‘sukacita dan spiritual mereka’ dalam
perjalanan hidup yang luar biasa.
3.2.
Ada 47 Sesi Katekese dalam ‘Perjalanan
Kita Bersama’ yang Mencerminkan, sebuah ‘Cara Alter-natif Menjadi Gereja’
Dalam sesi katekese ini, kita
menemukan metode alternatif untuk ‘mengajar’, juga sebagai alternatif ‘pemahaman
diri’, dari umat beriman dan alternatif gaya kepemimpinan.
_
Metode ini mengikuti
metode pendidikan orang dewasa.
_
Sesi dimulai
dengan situasi kehidupan, disajikan dalam bentuk sejarah / situasi hidup atau
gambar.
_
Masalah-masalah
kehidupan akan menimbulkan pertanyaan yang akan dijawab dalam Kabar Baik.
_
‘Jawaban-jawaban’
tidak disampaikan oleh seorang ‘ahli’ tetapi kelompok tersebut sendiri mencari
bersama dalam Kitab Suci dan membagikan dalam ‘pengalaman sukacita dan
spiritual mereka’.
_
Karena
pertanyaan panduan tidak memberikan jawaban pasti, maka kebutuhan budaya
kelompok yang berbeda dapat memberikan akomodasi yang baik dan mendukung.
_
'Masukan' hendaknya
membantu fakta dan ringkasan yang tidak dapat ditemukan oleh kelompok tersebut
dalam pencariannya. Ada 41 pertanyaan dasar dan jawaban dasar disediakan untuk dihafal.
_
‘Kesadaran
diri’ umat beriman yang menyertai katekumen mencerminkan visi Konsili Vatikan
II: '... umat beriman berbagi dengan cara
mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan
demikian sesuai kemampuan terbaik mereka untuk membawa misi perutusan seluruh
umat Kristiani di dalam Gereja dan di dunia'(LG 31).
Dengan kata lain:
Orang beriman menerima tanggung
jawab untuk menyerahkan Kabar Baik dari generasi ke generasi, menjadikan
murid-murid bagi Tuhan karena Dia tidak hanya memerintahkan Dua Belas, tetapi
juga semua pengikutnya.
§ Orang-orang non Katolik dalam
kelompok dapat berperan aktif dalam pencarian spiritual dan berbagi karena ‘mereka memang bergabung dengan kita secara
nyata dalam Roh Kudus’ (LG 15).
§ Dari mereka yang belum menerima
Injil, tanpa kesalahan mereka, Dewan mengatakan: ‘Apa pun kebaikan atau kebenaran yang ditemukan di antara mereka
dianggap oleh Gereja sebagai persiapan untuk Injil ...’ (LG 16) .
§ Seiring kehidupan ‘komunitas katekumen’ semacam itu,
tertanam ke dalam kehidupan seluruh Gereja, kita dapat mempercayai pengajaran
Dewan: ‘Seluruh tubuh orang beriman yang
memiliki pengurapan yang berasal dari Yang Kudus (lih. 1Yoh 2:20, 27) tidak
dapat berbuat salah dalam masalah kepercayaan’ (LG 12).
§ Gaya kepemimpinan dalam komunitas
katekumenal semacam itu, mencerminkan sebuah gaya kepemimpinan ‘non dominasi’ dan
sekaligus melayani. Fasilitator memimpin kelompok tersebut ke ‘sumber air hidup’ namun tidak boleh
memilah-milah anggotanya.
§ Fasilitator tidak melakukan apa
yang bisa dilakukan oleh salah satu kelompok.
§ Dia tidak mengajarkan apa yang
bisa ditemukan kelompok itu sendiri.
§ Fasilitator mendorong semua orang
untuk menggunakan karunia mereka, supaya saling ‘berbagi kegembiraan dan pengalaman spiritual mereka’ dengan cara
yang sama seperti St. Paulus; yang secara teologis mengharapkan hal ini dari
komunitas Kristen di dalam katakombe Romawi: ‘Saya ingin ... berbagi karunia spiritual dengan Anda, untuk membuat
Anda kuat; apa yang saya maksud ini adalah bahwa Anda dan saya akan terbantu
pada saat bersamaan, oleh karena imanku dan iman Anda’(Rm. 1: 11-12).
§ Fasilitator berjalan dan bekerja
sama dengan anggota kelompok seperti yang dilakukan St. Paulus dengan
orang-orang Korintus: ‘Kami bukan
diktator karena iman Anda, melainkan rekan-rekan sekerja bersama Anda untuk
kebahagiaan Anda.’ (2Kor 1:24).
KESIMPULAN:
§ Kita mencari cara alternatif
untuk menjadi Gereja. Syering Injil
dan mengikuti pelaksanaan RCIA adalah
langkah praktis ke arah sebuah Gereja yang berjarak bermil-mil jauhnya dari ‘Gereja
yang dilayani'.
§ Dua program pastoral ini juga
menawarkan cara yang sangat konkret untuk pesan ‘masuk ke dalam budaya’ dalam suatu kehidupan masyarakat.
§ Dan yang terakhir, namun tidak
kalah pentingnya, mereka dapat melakukan sendiri dengan orang-orang yang minimal
pelatihannya dibutuhkan fasilitator.
Refleksi setelah Pelatihan
tentang Program di Atas:
§ Apa
‘posisi teologis’ umat awam yang membagikan Injil dan menggunakan sesi dari
Perjalanan Kita Bersama (RCIA)?
§ Bandingkan
dengan Markus 9: 33-37 gaya
kepemimpinan yang diadopsi dalam program ini.
§ Mengapa
kita dapat menyarankan bahwa program di atas adalah langkah konkret ‘menuju
inkulturasi’ dan ‘inkarnasi’ Injil?
Lumko:
Contact addresses:
CLM, Gasthuisring 54, 5041 DT Tilburg, Holland (or.)
Lumko, PO Box 5058, Delmenville,
1403 , RSA
Diterjemahkan dari:
http://www.fabc.org/fabc%20papers/fabc_paper_57d.pdf
[1] Panduan diskusi ini disiapkan untuk Lokakarya
Sidang Paripurna V Federasi Konferensi Para Uskup se-Asia (FABC), yang diadakan
di Bandung, Indonesia, 17-27 Juli 1990. Tema Sidang Pleno adalah ‘Muncul Tantangan dalam Gereja di Asia pada
tahun 1990-an: Menanggapi Panggilan.'
[2]
Istilah ‘Gereja yang dilayani’ ini nama lain dari ‘Yang Menyediakan untuk
Gereja’, ‘Pastor Sentris’, ‘Gereja yang menyediakan’, dan ‘Gereja yang
bergantung pada pastor’.
[3] Tahap
pertumbuhan Gereja pada model ini sering disebut Gereja sebagai Dewan Pastoral
Paroki (DPP). Dalam model ini telah muncul ‘sekelompok’ orang untuk membantu
pastor.
[4]
Yang dimaksudkan Sinode Diocesan
ialah Dewan Uskup.
[5] Yang dimaksudkan Dewan
Presbyteral ialah Dewan Imam.
Komentar