K-liwu Koda - Lewo Igo Rian Sina

Klake Kbele Lewo Tana (25/4/2011) di Koko Kawaliwu

Kata “Koda” sebuah kata lokal Lama Holot. Lama Holot sendiri adalah sebuah budaya yang ada dan hadir serta berkembang di ujung Timur Pulau Flores. Kata “koda” sehari-hari sering divokalkan oleh masyarakat Lama Holot Lewo Lema dengan kata “kodak”. Ada penambahan sebuah huruf konsonan “k” dibelakangnya. Namun, arti katanya sama yaitu “berbicara”.

Koda, hubungannya dengan orang dan alam sekitarnya. Ada orang yang “koda” dan ada orang yang mendengarkan “koda”. Sama-sama “koda” berarti tidak ada yang mendengarkan. Jarang sekali dalam budaya Lama Holot hal ini terjadi. Jika terjadi, maka budaya Lama Holot menegaskan bahwa ini “tidak sopan”. Tidak menghargai yang di-koda-kan. Maka disinilah, yang muda memposisikan diri sebagai pendengar lebih dahulu sementara yang tua lebih dulu koda.

Bp. B. Belawa Liwun-Ketua Ata Klake (5/5/2015)
Budaya Lama Holot hampir semuanya, awalnya tidak mengenal tulis menulis. Para pencari masa lalu coba membuktikan ini. Yang ada hanyalah “koda” itu sendiri. “Koda” itu kemudian diturun temurunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga “koda” sendiri bisa menjadi sebuah budaya.

Lebih jauh dari itu, “koda” akan menghantar anak Lama Holot Lewo Lema, membangun budaya mendengarkan. Budaya mendengarkan, melahirkan sikap santun, saling menghargai, rendah hati, mau belajar, dan menuruti apa yang di-koda-kan. Berangkat dari “koda” ini, ada banyak generasi muda Lama Holot Lewo Lema yang lupa akan esensi dari “koda”.

“Koda” dalam masyarakat Lama Holot Lewo Lema, mengandung jamak simbol, tanda yang didalamnya terdapat banyak makna dan arti. “Koda” tidak bisa langsung ditangkap makna dan artinya. Disinilah diperlu sikap konsentrasi dari para pendengar. Tanpa itu, hanya sepenggal “koda” saja yang diingat.

Hal ini menjadi suatu kesulitan ketika “koda” itu dituturkan, tidak ada kesinambungan. Ada loncatan cerita satu sama lain. Pendengar lalu menafsirkan sendiri dengan menenun sambungan ceritanya.

Bp. Ignasius B. Liwun - Kepala Suku Kliwu Molan Luwun Kawaliwu (5/5/2015)
“Koda” hemat saya sama seperti Sabda. Maka ijinkan saya mengungkapkan “koda” ini dengan “Sabda” dalam prolog Injil Yohanes: “Pada mulanya adalah Sabda”. Masyarakat Lama Holot Lewo Lema, pun meyakini hal yang sama yaitu: “Pada mulanya adalah Sabda”.

“Koda” diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga sekarang ini. Maka pada masa lalu, anak laki-laki setiap malam ketika selesai “herek” (iris tuak) dan makan malam, mereka keluar dari rumah lalu berkumpul di suatu tempat keramaian atau rumah, lalu duduk belajar: ada yang “koda” dan yang lainnya siap mendengarkannya.

Dalam proses ada yang “koda” dan ada yang mendengarkan “koda”. Isi “koda”-nya macam-macam. Mulai dari sejarah kampung, sejarah suku, sejarah eta, sejarah newa, dan lain-lain. Bahkan rangkaian sejarah di-koda-kan dengan hubungan kampung-kampung sekitarnya, seputar kawin mawin, belis, struktur masyarakat, dan lain-lain.

Dalam perspektif yang lebih luas, “koda” tidak hanya soal frasa bicara. Juga bukan soal isi dari “koda”. Tetapi yang terpokok ialah “siapa” yang sedang “koda” itu. Masyarakat Lama Holot Lewo Lema, memiliki sejarah panjang tentang siapa yang “koda” itu. Biasanya yang “koda” adalah orang khusus. Orang yang “koda” khusus itu pun tidak sembarangan.

Orang yang “koda” khusus bukan dimaui oleh orang itu. Juga bukan dimaui oleh sebuah suku tertentu. Tetapi orang yang “koda” itu berasal dari suatu lingkaran kesepakatan “kbele lewo tana”. Dan sebelum yang “koda” itu resmi ditampilkan, biasanya ia mengikuti perjalanan jauh dalam lingkaran “kbele lewo tana”.

Lalu proses upacara pelantikan dengan ragam ritual adat sesuai dengan adat Lama Holot Lewo Lema. Pelantikan yang “koda” biasanya terlaksana di Lango Bele dan Koko Bale, dengan melibatkan seluruh masyarakat kampung itu.

Orang yang sudah dilantik untuk “koda”, dia kemudian bukan berjalan sendiri. Dia selalu terikat erat dengan kbele lewo tana, simbol “Raja Tua” Lewo Tana. Keterikatan dia yang “koda” dengan Lewo Tana merupakan hal dasar sekali.

Karena yang di-koda-kannya bukan atas nama diri sendiri atau keluarga atau sukunya. Yang dia “koda” kan ialah Lewo Tana, Lewo Tana Liko Lapak Nae. Itu artinya, seluruh masyarakat mendukung dan melindunginya baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia (Kaka Bapa).

Orang yang “koda” bukan lagi dirinya sendiri. Orang yang “koda” itu bukan memegahkan dirinya, keluarga, dan sukunya. Orang yang “koda” itu ialah orang yang sedang bertransenden dengan Rera Wulan Tana Ekan. Yang “koda” sedang dalam kebersatuannya dengan Kaka Bapa. Kaka Bapa Lewo Tana “koda” dengan dia, dan dia langsung “koda” dengan orang-orang yang ada dihadapannya. Sampai dengan titik ini, maka boleh kita bilang bahwa “tidak semua orang bisa koda”.

Pada tingkat ini, ada hal yang hebat, yang luar biasa terjadi ialah bahwa yang di-koda-kan itu disambung oleh kbele lewo tana yang ada di samping kiri-kanan, muka-belakangnya. Dalam konteks ini, masyarakat Lama Holot Lewo Lema yang ada disekitarnya, bisa membuktikan “kebenaran koda”.

Untuk orang yang tidak mengerti, tentu hanya mendengarkan saja. Tetapi untuk kalangan yang mengerti, bagaimana ia memahami itu sebagai suatu proses “koda” sebagai sebuah transformasi kepada kehidupan masyarakat disekitarnya. Bagaimana “koda” adalah Sabda yang mampu menggerakkan hati-batin dan seluruh diri masyarakat Lama Holot Lewo Lema yang mendengarkannya. Salam Koda Knape bukan Koda Geka***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik