"DALAM KEBERSAMAAN MEMBANGUN KOMUNITAS BASIS GEREJANI"
Cara hidup keempat siswa yang luwes, saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain, membuat mereka saling kenal secara mendalam. Cara hidup mereka ini memunculkan ide untuk membuat Barongsai dan mementaskan untuk umum. Tiara dari Jawa membawa kain batik, Markus dari Irian Jaya membawa beberapa warna cat yang diambilnya di bengkel bapaknya, Hir dari Jawa membawa sarang burung milik abangnya dan Han dari suku Tiong Hoa menggambar dan memberikan petunjuk untuk bagaimana cara membuat barongsai. Setelah jadi barongsai, Hir dan Markus dan diikuti kedua teman yang lain menuju tempat bakso yang kebetulan tempat itu ramai dikunjung orang. Di tempat Bakso itulah, barongsai dipentaskan oleh keempat anak sekolah dasar itu.
Pementasan keempat anak dengan keahliannya masing-masing telah mengubah lingkungan itu menjadi sebuah tempat yang hidup, penuh kegembiraan dan mampu menghibur masyarakat yang ada disekitarnya. Bahkan bunyian tutupan panci, pengganti gong yang ditabu Tiara mendorong penabu beduk di sebuah mesjid di dekat situ mengisi bunyian gendang dalam irama barongsai. Partisipasi masyarakat sekitarnya yang menonton pentasan barongsai dengan menyumbangkan dana kepada keempat anak; ternyata cukup untuk membantu Han melunasi SPPnya. Han akhirnya lolos dari tunggakan dan mengikuti ujian seperti anak-anak sekolah lainnya.
Kisah di atas merupakan penggalan film ”Cheng Cheng Po” yang disutradarai oleh B.W Purba Negara; yang dibuka oleh Romo Petrus Santoso, MSF pada acara rekoleksi sehari untuk para anggota DPP, ketua kelompok dan fasilitator Paroki Sungailiat di Aula Hotel Tanjung Pesona pada tanggal 10 Agustus 2010. Pemutaran film yang berdurasi ± 30-an menit itu, memukau ke-37 peserta rekoleksi yang selama ini menjadi aktivis di komunitas basisnya. Untuk menjawab keterpesonaan peserta, mantan sekretaris Uskup Semarang meminta peserta yang terbagi dalam kelompok kaum muda, kelompok keluarga muda dan kelompok keluarga tua untuk berdiskusi dan memberikan tanggapan atas isi ”Cheng Cheng Po” dan diharapkan untuk menemukan masalah apa yang terjadi dalam KBG serta memberikan solusi atas persoalan yang kini dihadapi dalam KBG.
Dalam rapat pleno peserta rekoleksi yang telah belajar bersama atas kisah Cheng Cheng Po, peserta memberikan tanggapan bahwa kisah dalam Cheng Cheng Po memunculkan nilai keprihatinan atas hidup, kepedulian kepada orang lain dalam semangat kebersamaan, berani mengambil resiko dan jeli dalam melihat peluang, daya juang untuk mengatasi masalah dalam kebersamaan yang kreatif.
Selain peserta menemukan nilai-nilai positip yang muncul, ternyata film Cheng Cheng Po yang diproduser oleh Bernadheta Rismisari dan Yosep Anggi Noen itu, membantu peserta menemukan masalah yang dihadapi peserta rekoleksi dalam kelompok basisnya, misalnya masa bodoh dari anggota komunitas mengenai pertemuan kelompok, jarak tempat pertemuan kelompok yang berjauhan, rasa kesukuan: lingkungan tidak mendukung, kendala komunikasi: berupa bahasa, kurang berani untuk sharing, kurang ada rasa semangat untuk berkumpul: karena ekonomi, pertemuan yang relatif lama dan bertele-tele, kurang kepedulian terhadap sesama, perlu regenerasi ketua kelompok apalagi banyak ketua kelompok yang telah lanjut usia, kurang promosi panggilan, keluarga yang tidak semuanya katolik, faktor usia anggota kelompok yang rata-rata tua/lansia, dan masih memilih-milih tempat yang dipakai untuk kumpul (masih pandang orang).
Dari nilai-nilai dan persoalan yang ditemukan itu, peserta juga diajak oleh pastor yang kini menjadi sekretaris Provinsial MSF regio Jawa untuk memecahkan persoalan dalam komunitas basis dalam semangat kebersamaan yang sesuai dengan semangat yang dimiliki oleh komunitas perdana (Kis. 2:41-47). Karena bagaimanapun persoalan yang dihadapi oleh anggota dalam komunitas basis, komunitas basis itu sendiri merupakan ujung tombaknya Gereja. Wajah Gereja sekarang ada di komunitas basis. Karena itu sesuai dengan dasar hukum kanonik kita, “setia anggota berusaha untuk membangun Tubuh Mistik Kristus” yang adalah tugas semua anggota Gereja untuk menyerahkan tenaganya (Kan. 210) yang dengan “cara masing-masing” (Kan. 209) sesuai dengan situasi yang dihadapi KBG untuk mencapai tujuan yang menjadi cita-cita bersama.
Sebelum akhir rapat pleno rekoleksi, pastor yang sering disapa pastor Santoso ini, memberikan motivasi kepada para aktivis KBG Paroki Sungailiat tentang misi. Dulu, misi untuk bangsa-bangsa lain-mereka yang belum mengenal Kristus. Misi sekarang bukan hanya ini. Misi sekarang juga adalah untuk orang-orang yang sudah mengenal Kristus tetapi tidak mempraktekan cara hidup Kristus, pendampingan iman kepada yang beriman dan praktek imannya. Ini yang sekarang disebut Gereja Reevangelisasi baru. Kobarkan semangat misi dalam KBG dengan situasi KBG masing-masing. Rekoleksi ditutup dengan misa yang dipimpin oleh romo pendamping rekoleksi, Romo Petrus Santoso, MSF. **fbr**
Komentar