"SIANTAN: PULAU IMPIAN"


Oleh: Alfons Liwun

Siantan adalah nama sebuah pulau besar dalam gugusan Kepulauan Anambas. Pusat Pulau Siantan berada di Tarempa, kota Kecamatan Siantan, dulu masuk dalam Kabupaten Kepulauan Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Namun sejak tahun 2006 pusat Pulau Siantan menjadi pusat Kabupaten Kepulauan Anambas. Pusat Siantan yaitu Terempa terletak dibibit pantai Pulau Siantan. Kota tua sejak jaman Belanda dan Jepang, sebagai pusat kewardanaan Kepulauan Tujuh. Pulau Siantar sendiri dikelilingi oleh banyak pulau kecil. Mungkin inilah yang menjadi salah satu alasan Pulau Sintan menjadi ibu Kota Kabupaten Kepulauan Anambas.

Kepulauan Anambas ada beberapa pulau besar, seperti Pulau Matak, Pulau Jemaja dan Pulau Siantan sendiri. Ketiga pulau besar ini memiliki kedudukan yang sangat penting; yang besar pengaruhnya untuk pulau-pulau kecil di sekitarnya. Pulau Siantan adalah pusat Kabupaten, pusat pelabuhan Pelni dan pusat pangkalan pasukan Angkatan Laut untuk wilayah Laut Cina Selatan. Pulau Matak menjadi pusat pertambangan gas dan minyak bumi yang dikelola oleh perusahan Canoco Philips Indonesia Tbk. Sedang Pulau Jemaja dengan pusatnya di Letung, pusat Kecamatan Jemaja, tempat persinggahan kapal Pelni di tengah laut dan pusat lalu lintas laut untuk keluar masuk ke wilayah Kepulauan Anambas dan Kepulauan Natuna.

Dalam tulisan ini, saya hanya mau mengungkapkan pengalaman saya selama berkarya di Kepulauan Anambas selama akhir Februari 2001 sampai dengan akhir 2004. Dan dalam penjelasan saya selanjutnya, fokus tulisan ini lebih banyak menceriterakan selama saya berada di Pulau Siantan. Untuk pengalamaan di pulau-pulau lain, saya hanya menyentuh sedikit. Tetapi paling kurang bisa memberikan kepada kita informasi dan prospek kita untuk di masa datang.

Geografis:
Banyak ceritera penduduk di Pulau Siantan bahwa bentuk Pulau Siantan jika dipantau dari udara, Pulau Siantan berbentuk Singa yang sedang menerkam. Ceritera yang beredar dikalangan masyarakat luas ini ternyata mencerminkan suasana penduduk penghuni Pulau Siantan ini. Bahwa asal usul penduduk pulau ini berasal dari para ”lanun” atau sering diformulasikan dengan ”pulau bagi para bajak laut”. Tempoe doloe, Pulau Siantan sering menjadi tempat persinggahan bagi para lanun, karena letak dan geografis yang strategis. Terempa, kota bibir pantai, ada sebuah kampung yang disebut masyarakat setempat dengan sebutan “Kampung Teluk”. Di kiri kanan teluk itu, batu-batuan yang cukup besar yang membentuk semacam gua yang mengikuti aliran sungai hingga muara sungai. Tempat inilah menjadi tempat persembunyian dan tempat pengambilan air minum bagi para lanun.

Pulau Siantan bukan tempat yang datar. Dari kejauhan, bila kita menumpang kapal Pelni, kita bisa memandang barisan bukit yang mengelilingi sebuah gunung yang sering disebut penduduk setempat dengan nama Gunung Siantan. Barisan bukit dan gunung Siantan terlihat masih hijau sekali. Hijau karena banyak pohon yang besar. Masih hutan. Tetapi juga ada perkebunan penduduk yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman produktif. Karena itu, Pulau Siantan dan sekitarnya masih banyak tercurah hujan dari bulan September hingga bulan April. Klimaks pencurahan hujan terjadi pada bulan Desember dan Januari. Sehingga pada bulan-bulan itu, Terempa yang adalah pusat perkotaan kecil di bibir pantai menjadi pusat pertemuan aliran air hujan dari bukit dan gunung dengan hamparan gelombang dari air laut. 

Demografis
Hikayat yang hidup di kalangan masyarakat, asal usul penduduk Pulau Siantan dan sekitarnya adalah adalah ”suku laut.” Suku Laut adalah suku yang hidup di atas permukaan air laut. Perahu adalah rumah mereka. Selain menjadi rumah juga menjadi sarana mata pencaharian mereka di laut. Maka jelas bahwa pola pikir dan pola peradaban jauh berbeda dengan penduduk di jaman sekarang.

Populasi suku laut yang menghuni di Pulau Siantan dan sekitarnya tersingkir ketika terjadi urbanisasi besar-besar pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Banyak suku melayu berdatangan yang dibawa para penjajah. Menyusul etnis Tiong Hoa dari suku Hakka (Hek) dan kemudian suku-suku lain. Sedang menurut tuturan Om Johanes (penduduk setempat memanggil Om Pendek) salah seorang warga dari Flores, bahwa dia datang ke Pulau Tujuh sejak tahun 1954. Asimilasi penduduk membawa efek yang cukup berbeda. Suku Laut bergeser semakin jauh. Tempat persinggahan terakhir bagi suku Laut di Pulau Mengkait. Nama Mengkait inilah yang dipersonifikasikan sebagai wajah suku laut yang masih tersisa dan terkait di Pulau berjendela Batu Kembar di tengah laut Pulau Mengkait.

Dari Pulau Mengkait, suku Laut bersinar lagi untuk mencari tempat singgahan dan berasimilasi di Pulau Matak, tepatnya di Dusun Air Sena. Di kedua tempat ini, perahu yang dulunya menjadi rumah, kini hanya menjadi alat pencaharian ikan dan kekayaan laut lainnya. Rumah mereka dibangun di atas permukaan air laut /di bibir pantai dengan bentuk rumah panggung. Walaupun kelihatan Suku Laut itu berkembang, tetapi sangat lamban, karena populasi sedikit dan tersingkir oleh suku yang mayoritas yaitu suku melayu.

Suku Melayu yang menghuni Pulau Siantan dan pulau-pulau sekitarnya jelas berasal dari Melayu Malaysia. Ini merupakan suatu prediksi umum karena bahasa Indonesia-Melayu Malaysia begitu kentara. Selain dari segi linguistik (bahasa), bisa dilihat dari sisi adat istiadat. Suku Melayu menjadi mayoritas. Mereka berkembang selain menempati posisi di struktur kepemerintahan juga menyusup sampai ke daerah bukit dan pedalaman yang rata-rata bermata pencaharian petani, nelayani, pedagang, pegawai baik di kantor pemerintah maupun di sekolah-sekolah.

Edukasi
Penduduk di Pulau Siantan masih jauh dari sistem dan pengelolaan pendidikan yang memadai. Bisa saja karena jauh dari pusat propinsi dan ibu kota negara. Memang, kalau diukur soal bisa atau tidak penduduk Siantan dan sekitarnya memiliki kemampuan membaca, boleh terbilang bisa. Namun jika diukur ratio pengetahuan, hemat saya masih jauh dari harapan. Karena rata-rata orang yang bekerja di perkantoran pemerintah dan sekolah-sekolah, kebanyakan orang yang berasal dari luar daerah, seperti Tanjungpinang, Batam, Sumatera dan Jawa.
Masyarakat Pulau Siantan dan sekitarnya bisa membaca berkat sekolah Tiong Hoa, yang sekarang menjadi SMP Negeri 2 Siantan. Sebuah sekolah lama sejak dari jaman penjajahan Belanda dan Jepang.

Sekarang, di Pulau Siantan dan sekitarnya sudah banyak sekolah dasar milik pemerintah dan di Pulau Siantan sendiri hanya dua sekolah menengah pertama(negeri 1 dan 2)  (SMP) dan satu sekolah menengah atas negeri (SMAN). Kehadiran SMP dan SMA ini dirasakan sangat membantu penduduk. Kalau tidak ada sekolah semacam ini, pasti orangtua akan mengirimkan anak-anak untuk sekolah di Tanjungpinang, Batam, Pekan Baru dan Jawa. Kehadiran SMP dan SMA ini telah mencetak banyak anak dari Kepulauan Anambas yang melanjutkan pendidikan tinggi di Tanjungpinang, Batam, Sumatera dan Jawa. Ini sesuatu yang luar biasa. Hemat saya pada 2015, banyak anak Kepulauan Anambas akan memiliki posisi yang amat penting untuk pemerintahan Kabupaten Kepulauan Anambas apalagi didukung dengan adanya UU Otonomi Daerah. Mengapa tidak? Banyak kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan pemerintah dan masyarakat untuk peluang pendidikan bagi anak-anak Kepulauan Anambas.

Harta Karun – pendukung Ekonomi masyarakat
Hampir di semua pulau Kabupaten Kepulauan Anambass, kelihatannya masih hijau karena hutannya masih banyak. Selain itu, hampir seluruh perkebunan masyarakat Siantan ditanami dengan berbagai jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah. Ada beberapa jenis tanaman besar yang menjadi tanaman populer dan sungguh-sungguh menghasilkan komoditi penduduk adalah tanaman cengkeh, kelapa, durian, dan duku. Selain sumber komoditi penduduk Pulau Siantan dan sekitarnya yang telah disebutkan tadi, juga tanaman kecil dari perkebunan berupa nanas, ubi, cabe dan padi yang ditanam di Kampung Batu Tambun dan sekitarnya.

Selain harta karun berupa hasil perkebunan dan pertanian, masih lagi harta karun yang ada di laut berupa ikan dan hewan laut lainnya. Ada banyak ikan yang berkualitas tinggi yang laku di pasaran Singapura, Malaysia, Hongkong, Thailan dan Vietnam. Ada dua jenis ikan yang sering dipelihara masyarakat adalah ikan napoleon dan krapu. Selain kedua jenis ikan ini masih lagi yang juga tidak kalah kualitas adalah jenis teripang/gamad, lovster/udang, akar bahar, sirip hiu putih, jenis siput, tenggiring, kerisi, dan berbagai jenis ikan-ikan karang.

Hasil laut yang dicari penduduk Pulau Siantan dan sekitarnya ini selain dijual juga menjadi konsumsi orang baik sudah diolah dalam bentuk kerupuk dan berbagai jenis olahan lain. Maka jelas, tingkat kualitas orang di pulau-pulau itu sangat tinggi. Hanya sekarang, tinggal bagaimana anak-anak Kepulauan Anambas itu didorong untuk masuk dalam pendidikan yang lebih lanjut. Maka harta karun yang termahal yang merupakan modal dasar daerah yaitu sumber daya manusia.

Harta karun alam yang belum dikelola secara maksimal di Pulau Siantan adalah air terjun Siantan. Keberadaan air terjun berjarak belasan km dari Terempa. Kalau melalui kapal motor/pompong, alat transportasi laut lebih kurang satu setengah jam. Jika memakai speedbod, kapal cepat lebih kurang 45 menit. Air terjun Siantan amat besar. Mata airnya di gunung Siantan dan mengalir sampai ke laut. Airnya putih bersih dan jernih. Garis tengah air terjun lebih kurang 10 meter. Dari air terjun Siantan bisa diola menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA), irigasi pertanian, bisa menjadi sumber air bersih pengganti air mineral aqua di pasar Terempa dan bisa ditata untuk menjadi obyek pariwisata. Kekayaan alam yang memberikan peluang usaha baik bagi pemerintah maupun para pengusaha Kabupaten Anambas ini hingga sekrang belum diinvestasi dan dikelola secara baik.

Satu lagi harta karun yang begitu populis ceritera dari para penatua penduduk di Pulau Siantan adalah ”harta karun peninggalan jaman dulu.” Harta karun ini ada karena bersangkutpautan dengan letak pulau Siantan dan sekitarnya yang strategis dalam zona internasional, yaitu antara pulau-pulau Timur Jauh. Dalam hubungan perdagangan jaman dulu, banyak kapal dagang baik dari wilayah Cina, Jepang, Malaysia, Brunai Darusalam, Hongkong, Thailan dan Vietnam serta Persia – Arab yang lewati perairan Laut Cina Selatan. Dan ”bajak laut” yang hadir dalam dekade itu telah merampas dan menyembunyikan harta harun di sekitar Pulau Siantan. Maka Pulau Siantan dan sekitarnya serta di kedalaman Laut Cina Selatan masih berjuta-juta harta karun yang masih harus dicari dan diambil untuk kepentingan bangsa dan negara ini.

Sosio Budaya
Populasi mayoritas penduduk Pulau Siantan dan sekitarnya adalah suku Melayu, jelas bahwa mereka beragama Islam dengan budaza khas Melayu. Dalam situasi sosial, jelas bahwa mereka hampir menguasai seluruh bidang kehidupan masyarakat terkecuali bidang perdagangan yang dipegang oleh etnis Tiong Hoa.

Dalam relasi hidup antar masyarakat, boleh terbilang bagus. Karena Kota Kabupaten itu kecil maka terlihat bahwa mereka saling kenal. Selama saya berada di Kepulauan Anambas, tidak ada persoalan dalam hidup sosial. Persoalan yang sering menjadi masalah adalah para pendatang dari luar negeri seperti para nelayan Thailan dan Vietnam yang masuk dan mencuri ikan di perairan Laut Cina Selatan. Mereka ini ditangkap oleh Angkatan Laut dan ditawan di Terempa.

Selain berbudaya khas Melayu, juga etnis Tiong Hoa yang memegang perekonomian masyarakat membawa serta budaya leluhur mereka. Maka di Terempa khususnya di Tanjung Baru, terdapat sebuah Vihara Budha dan Kong Fu Chu yang mendukung hidup iman mereka.

Walaupun di Pulau Siantan dan sekitarnya terdapat beberapa suku, namun jarang terdengar terjadi kawin mawin antar etnis.

Sosio Religius:
Di Pulau Sintan dan sekitarnya, mayoritas agama Islam. Mereka memiliki sebuah mesjid yang cukup besar di perbatasan antara Kampung Teluk dan Kampung Bakar Batu. Sedang di Batu Tambun dan pulau-pulau kecil sekitarnya terdapat banyak surau/langgar.

Selain agama Islam juga ada agama Katolik, Kristen, Budha dan Kong Fu Chu. Untuk kristen terdapat dua buah gereja kristen yaitu di dekat SMP Negeri 2 dan di tepi Jalan Kampung Baru menuju Batu Tambun. Sedangkan untuk Katolik terdapat tiga buah Gereja. Di Terempa Gereja Katolik di Kampung Baru dengan tiga tempat yang berbasis Katolik yaitu Kampung Baru, Kampung Teluk, dan Kampung Tanjung Batu. Dua Gereja Katolik yang lain terdapat di Pulau Mengkait dan di Dusun Air Sena, Pulau Matak.

Dicatat secara khusus di sini bahwa pemeluk agama Katolik adalah penduduk setempat yaitu dari etnis Tiong Hoa dan suku Laut. Menurut tuturan Om Johanes (Om Pendek), Katolik berada di Pulau Tujuh karena ada perantauan orang Maumere – Flores. Mereka kemudian menikah dengan penduduk setempat dan menetap di beberapa tempat seperti di Letung, Mengkait, Air Sena dan Terempa. Walaupun menetap di beberapa tempat tadi, tetapi dalam perayaan-perayaan besar Gereja, mereka berkumpul di Gereja Katolik Terempa, yang dibangun pada tahun 1972 (bdk. buku Sejarah Gereja Indonesia II, hal. 302).

Sedang untuk agama Budha dan Kong Fu Chu, mereka punya satu tempat ibadat di Terempa khususnya di Kampung Tanjung-Batu Balai. Tempat ibadat mereka ini cukup bagus dan strategis, karena berada di tempat yang tinggi dan dibangun di atas batu besar, menghadap ke Laut Cina Selatan.

Dalam setiap perayaan besar agama masing-masing, hemat saya mereka saling mendukung. Artinya mereka saling memberikan ruang dan waktu serta peluang untuk menjalankan ibadat. Syukur bahwa tidak terjadi apa-apa. Relasi antar pemeluk agama terlihat begitu rukun.

Kompendium:
Tulisan yang disampaikan ini berupa informasi yang saya alami selama berada di Pulau Siantan dan sekitarnya. Rasanya bahwa kalau berada di wilayah ini, ”terasa begitu terasing”, baik secara informasi maupun transportasi. Padahal, wilayah ini amat-sangat potensial dari segi harta karun.

Karena itu, tulisan ini membantu siapa saja, untuk menoleh ke wilayah ini, agar program pembagunan untuk wilayah-wilayah RI perbatas cukup diperhatikan dan mendapat prioritas yang cukup. Sayang, kalau wilayah yang potensial ini tidak ditataola dengan maksimal.

Satu hal yang harus diprioritas dalam pembangunan adalah ”membuka jejaringan melalui sarana prasarana transportasi baik laut maupun udara untuk akses horison dari dalam keluar atau sebaliknya. Kapal Pelni yang selama ini beroperasi ke wilayah ini tidak terlalu cukup. Padahal kebutuhan untuk keluar-masuk cukup banyak dimanfaatkan masyarakat setempat dan para pengusaha yang mau berinvestasi di wlayah ini.

Akhirnya, saya ucapkan terima kasih atas kebaikan dan toleran untuk banyak masyarakat yang ada di Pulau Siantan dan sekitarnya. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik