CERPEN
SEPENGGAL KISAH BUATMU DIULTAHMU...
oleh: Alfons Liwun
Senja kian beranjak malam, seiring dengan jarum jam di dinding teras itu. Dentuman mesin tua di bengkel melengking, seakan sedang menanjak bukit batu dihadapannya. Beberapa insan yang bekerja di situ mulai mudik, entah kemana. Bunga-bunga di tepi teras berdangdut ria, perlahan menghantar kepergian para pemudik yang keseharian beraktivitas. Dedaunan bambu bersorak-sorak seolah-olah menjemput kehadiran Rio yang sedang keluar dari panther tumpangannya. Takkala, di sudut kiri taman itu, berdiri tegak arca beato Damian, menebarkan cinta tanpa pamrinya kepada setiap tamu entah itu pengunjung maupun hadirin pada setiap kali ada pertemuan. Dalam kebisuaannya, ia menghitung-hitung para pengunjung yang datang dan pergi dari wisma itu.
“Mungkinkah Bernadett, gadis mungil berambut sebahu, yang lagi senyum imut-imutan itu berkeinginan untuk meneruskan roh beato Damian?”, geming Rio dalam benaknya. “Ah…! Tidak mungkin. Karena saat ini, dara manis itu lagi penasaran untuk menjadi seorang pejuang keadilan gender,” lanjut Rio, sambil menapaki satu demi satu tangga pendopo itu.
Suasana Puri senja itu riuh. Rio sejenak tertegun, mengamati alam sekitarnya. “Kenapa ya…, kok keadaannya lain kali!”, bisiknya kepada penjaga meja chek in tamu. “Oh…tidak, biasalah!”, respon Ria dengan secuil senyumnya. Jawab Rio hanya mengangguk-angguk. Namun, respon Ria membuatnya penuh tanya; dan untuk menepis setiap lamunan yang berbaur gender, ia mengotak-ngatik tust HP yang digenggamnya, sambil berjalan menuju kamar yang sudah disiapkan panitia.
Rio berbaring sejenak. Mencoba melemaskan saraf-saraf badan, untuk menghilangkan rasa penat karena lelah duduk dalam panther. Rio mencoba untuk membangkitkan berbagai realita hidup yang pernah dialaminya. Helai demi helai sampul kalbu terbuka. Berbagai tokoh perkasa muncul. Tokoh ‘bapa’ yang lebih banyak menguasai sanubari. Tokoh ‘ibu’ yang seharusnya lebih dekat tetapi hanya bercahaya redup. Sepenggal tanya terberesit dalam benak Rio. “Mampukah engkau mengimbangi soko guru yang masih redup?” Penggalan tanya ini terus mengiang dalam batin, dan sekaligus modal utama Rio untuk mengikuti pelatihan gender yang diselenggarakan atas kerjasama Sekpas dan JMP KWI.
Ruang itu penuh guyon dan senyum ceriah pemerhati gender. Sebuah mimpi untuk mengimbangi soko guru dalam batin Rio mulai menebar. Pasang surut menginterior nilai baru kandas pada tepian dinding sukma. Batin yang selama ini dikuasai ‘bapa’ seakan-akan surut. Sedang dalam pergulatan batin, Rio menatap gadis manis di sebelahnya yang begitu sibuk mencatat satu demi satu apa yang didengarnya. Keningnya mengkerut, pipinya memerah, rambutnya jatuh semampai di depannya, jari jemarinya gemetaran, karena kesal menjawabi perintah ‘bapa’. Pergulatannya bukan membatini namun mencatat dan mencatat demi tugas yang diberikan. “Oh…bapa, sampai kapankah engkau larut dalam hatiku?, Untunglah dia masih loyal pada ‘bapa’, “ gerutu Rio dalam benaknya. “Ia taat, setia, mungkin juga sampai mati”, guyon Rio dalam kepalanya. “Apakah kesetiaan, ketaatan dan loyalitasnya merupakan sebuah tanggungjawabnya dengan nurani yang bening?,” lanjut Rio dalam permenungannya.
Rutinitas kegiatan pun terus mengalir. Waktunya berdiskusi. Alam Puri begitu cerah mempesona, memberikan kehangatan bagi kelompok Bernadett yang sedang asyik berdiskusi di teras depan Puri. Rio ingat betul akan teks yang diberikan tim untuk didiskusikan. Tim menginstruksikan supaya teks Kejadian 2:18-25, dibaca dan berusaha menangkap isi teks berdasarkan konteks ‘gender’. Namun apalah daya, peserta tetap mengikuti apa yang pernah mereka dengar dan diajarkan pada masa silam. Bahkan tetap berpendirian bahwa teks itu tidak boleh dibolakbalik lagi. Harus tetap seperti itu. Catatan-catatan kritis berbau “patriliniar” yang diberikan beberapa kaum pria pun ditolak. Entah kenapa, yang penting kita tetap mengikuti isi teks Kitab Suci, jawab suara terbanyak saat itu. “Tidak jadi soal, yang terpenting kita tetap maju untuk berjuang,”cetus Rio dalam benaknya. Tanda untuk kembali berkumpul pun berdering. Semua kelompok sibuk ke ruang pertemuaan itu. Suasana pleno penuh bersaudaraan. Tidak ada persoalan tajam yang ditonjolkan saat itu. Pertemuan itu, diakhiri dengan pemetaan jadwal dan rencana untuk dilaksanakan di setiap tempat kerja.
Suasana kebersamaan ini ternyata mencapai titik kulminasi berkelanjutan. Awan gemawan yang kian berarak dari ufuk timur sana, tak pernah bertepi. Entah kemana, tapi persisnya sesuai dengan arah hembusan angin saat itu. Gumpulan awan perlahan-lahan bergerak, meninggalkan lazuardi biru yang memayungi atap wartel Palupi. Langit cerah, secerah paras Bernadet bersama sahabatnya yang sedang asyik memecahkan persoalan baru. Rio dengan gaya elegan perlahan-lahan memasuki ruangan itu. Ekspresi kebersamaan dengan saling bersalaman pun muncul. Suasana jadi lain. Problem yang dihadapi tuntas dibahas bersama. Acara kembali ditutup dengan makan bersama yang telah disiapkan. Rasa-rasanya suasana keakraban itu begitu singkat. Ya…, maklumlah hari istirahat satu-satunya dalam sepekan. Kami semua bubar ke rumah masing-masing.
Bagi Rio, masih ada banyak waktu untuk mengelilingi kota tua serumpun sebalai. Menikmati kota tua dikala rintik-rintik itu memang membahagiakan. Kesibukan lalu tintas pun berkurang. Hiruk pikuk pedagang nampak begitu mengasyikan. Pedagang kaki lima, begitu istimewa menunjukan satu wajah lama dari kelas bawah. Burung-burung walet begitu gembira melayang-layang di udara. Dalam suasana yang membahagiakan itu, Asah sahabat Rio yang mengikutinya mengajak untuk menikmati suasara TB. Gramedia.
“Ayo…bang, kita mampir dulu di toko buku itu.” Kami pun berteduh di sana. Suasana yang mempesonakan dengan banyak alternatif yang ditawarkan Gramedia, tidak membuat kami luluh untuk bertahan lama. Kami keluar lagi untuk mencari kendaraan pulang. “Mat sore… hati-hati ya dalam perjalanan,” pesan SMS dara manis dari seberang sana. “Oh…Bernardett terima kasih atas hatimu…, bisik Rio dalam permenungan menuju kota sepintu sedulang. “Memang…kamu layak jadi sahabatku,” geming Rio lagi. Dengan perhatian yang begitu mengasyikan itu, suasana hati Rio jadi lain. Bahkan bukan hanya itu saja, dalam perjalanan waktu, relasi kami tetap dibangunkan supaya tidak menghilangkan semangat perjuangan awal.
Pengalaman hidup dalam kebersamaan itu, memang sulit untuk ditinggalin. Pasti ada yang menjadi materai yang melewat dalam batin. Materai kebersamaan salah satu sisi manusiawi. Mungkinkah hal ini tetap dan terus untuk membangun kebersamaan? Ya… berjalan proses waktu dan kejujuran hati untuk mengakui. Dapatkah materai kebersamaan manusiawi menjadi sebuah kerinduan yang kian memanggil manusia untuk berjumpa dan membangun persaudaraan sejati? Bila masih mungkin, tetap akan berjumpa!
Disaat-saat kebahagian dan kegembiraan yang kita alami itu, satu fragmen hidup yang berpangkal dari kehadiran manusia adalah hari dan tanggal kelahiran. Suatu kebahagian yang menghadirkan dunia tangis dan senyum. Suatu mata rantai kebersamaan untuk disatupadukan. Suatu peristiwa yang mengagumkan untuk memperoleh perjuangan, karunia, dan berkat berlimpah dari Tuhan. Bersama kegembiraan dan kebersamaan kita, walau terbentang suatu garis linear yang panjang, tapi Rio menetap mengukir dalam sanubari akan kehadiran dan perjumpaan kita. Untuk itu semua, Rio dengan tulus ikhlas mengucapkan "SELAMAT ULANG TAHUN BERNARDETT… SEMOGA KIAN SUKSES!” (**al**)
“Mungkinkah Bernadett, gadis mungil berambut sebahu, yang lagi senyum imut-imutan itu berkeinginan untuk meneruskan roh beato Damian?”, geming Rio dalam benaknya. “Ah…! Tidak mungkin. Karena saat ini, dara manis itu lagi penasaran untuk menjadi seorang pejuang keadilan gender,” lanjut Rio, sambil menapaki satu demi satu tangga pendopo itu.
Suasana Puri senja itu riuh. Rio sejenak tertegun, mengamati alam sekitarnya. “Kenapa ya…, kok keadaannya lain kali!”, bisiknya kepada penjaga meja chek in tamu. “Oh…tidak, biasalah!”, respon Ria dengan secuil senyumnya. Jawab Rio hanya mengangguk-angguk. Namun, respon Ria membuatnya penuh tanya; dan untuk menepis setiap lamunan yang berbaur gender, ia mengotak-ngatik tust HP yang digenggamnya, sambil berjalan menuju kamar yang sudah disiapkan panitia.
Rio berbaring sejenak. Mencoba melemaskan saraf-saraf badan, untuk menghilangkan rasa penat karena lelah duduk dalam panther. Rio mencoba untuk membangkitkan berbagai realita hidup yang pernah dialaminya. Helai demi helai sampul kalbu terbuka. Berbagai tokoh perkasa muncul. Tokoh ‘bapa’ yang lebih banyak menguasai sanubari. Tokoh ‘ibu’ yang seharusnya lebih dekat tetapi hanya bercahaya redup. Sepenggal tanya terberesit dalam benak Rio. “Mampukah engkau mengimbangi soko guru yang masih redup?” Penggalan tanya ini terus mengiang dalam batin, dan sekaligus modal utama Rio untuk mengikuti pelatihan gender yang diselenggarakan atas kerjasama Sekpas dan JMP KWI.
Ruang itu penuh guyon dan senyum ceriah pemerhati gender. Sebuah mimpi untuk mengimbangi soko guru dalam batin Rio mulai menebar. Pasang surut menginterior nilai baru kandas pada tepian dinding sukma. Batin yang selama ini dikuasai ‘bapa’ seakan-akan surut. Sedang dalam pergulatan batin, Rio menatap gadis manis di sebelahnya yang begitu sibuk mencatat satu demi satu apa yang didengarnya. Keningnya mengkerut, pipinya memerah, rambutnya jatuh semampai di depannya, jari jemarinya gemetaran, karena kesal menjawabi perintah ‘bapa’. Pergulatannya bukan membatini namun mencatat dan mencatat demi tugas yang diberikan. “Oh…bapa, sampai kapankah engkau larut dalam hatiku?, Untunglah dia masih loyal pada ‘bapa’, “ gerutu Rio dalam benaknya. “Ia taat, setia, mungkin juga sampai mati”, guyon Rio dalam kepalanya. “Apakah kesetiaan, ketaatan dan loyalitasnya merupakan sebuah tanggungjawabnya dengan nurani yang bening?,” lanjut Rio dalam permenungannya.
Rutinitas kegiatan pun terus mengalir. Waktunya berdiskusi. Alam Puri begitu cerah mempesona, memberikan kehangatan bagi kelompok Bernadett yang sedang asyik berdiskusi di teras depan Puri. Rio ingat betul akan teks yang diberikan tim untuk didiskusikan. Tim menginstruksikan supaya teks Kejadian 2:18-25, dibaca dan berusaha menangkap isi teks berdasarkan konteks ‘gender’. Namun apalah daya, peserta tetap mengikuti apa yang pernah mereka dengar dan diajarkan pada masa silam. Bahkan tetap berpendirian bahwa teks itu tidak boleh dibolakbalik lagi. Harus tetap seperti itu. Catatan-catatan kritis berbau “patriliniar” yang diberikan beberapa kaum pria pun ditolak. Entah kenapa, yang penting kita tetap mengikuti isi teks Kitab Suci, jawab suara terbanyak saat itu. “Tidak jadi soal, yang terpenting kita tetap maju untuk berjuang,”cetus Rio dalam benaknya. Tanda untuk kembali berkumpul pun berdering. Semua kelompok sibuk ke ruang pertemuaan itu. Suasana pleno penuh bersaudaraan. Tidak ada persoalan tajam yang ditonjolkan saat itu. Pertemuan itu, diakhiri dengan pemetaan jadwal dan rencana untuk dilaksanakan di setiap tempat kerja.
Suasana kebersamaan ini ternyata mencapai titik kulminasi berkelanjutan. Awan gemawan yang kian berarak dari ufuk timur sana, tak pernah bertepi. Entah kemana, tapi persisnya sesuai dengan arah hembusan angin saat itu. Gumpulan awan perlahan-lahan bergerak, meninggalkan lazuardi biru yang memayungi atap wartel Palupi. Langit cerah, secerah paras Bernadet bersama sahabatnya yang sedang asyik memecahkan persoalan baru. Rio dengan gaya elegan perlahan-lahan memasuki ruangan itu. Ekspresi kebersamaan dengan saling bersalaman pun muncul. Suasana jadi lain. Problem yang dihadapi tuntas dibahas bersama. Acara kembali ditutup dengan makan bersama yang telah disiapkan. Rasa-rasanya suasana keakraban itu begitu singkat. Ya…, maklumlah hari istirahat satu-satunya dalam sepekan. Kami semua bubar ke rumah masing-masing.
Bagi Rio, masih ada banyak waktu untuk mengelilingi kota tua serumpun sebalai. Menikmati kota tua dikala rintik-rintik itu memang membahagiakan. Kesibukan lalu tintas pun berkurang. Hiruk pikuk pedagang nampak begitu mengasyikan. Pedagang kaki lima, begitu istimewa menunjukan satu wajah lama dari kelas bawah. Burung-burung walet begitu gembira melayang-layang di udara. Dalam suasana yang membahagiakan itu, Asah sahabat Rio yang mengikutinya mengajak untuk menikmati suasara TB. Gramedia.
“Ayo…bang, kita mampir dulu di toko buku itu.” Kami pun berteduh di sana. Suasana yang mempesonakan dengan banyak alternatif yang ditawarkan Gramedia, tidak membuat kami luluh untuk bertahan lama. Kami keluar lagi untuk mencari kendaraan pulang. “Mat sore… hati-hati ya dalam perjalanan,” pesan SMS dara manis dari seberang sana. “Oh…Bernardett terima kasih atas hatimu…, bisik Rio dalam permenungan menuju kota sepintu sedulang. “Memang…kamu layak jadi sahabatku,” geming Rio lagi. Dengan perhatian yang begitu mengasyikan itu, suasana hati Rio jadi lain. Bahkan bukan hanya itu saja, dalam perjalanan waktu, relasi kami tetap dibangunkan supaya tidak menghilangkan semangat perjuangan awal.
Pengalaman hidup dalam kebersamaan itu, memang sulit untuk ditinggalin. Pasti ada yang menjadi materai yang melewat dalam batin. Materai kebersamaan salah satu sisi manusiawi. Mungkinkah hal ini tetap dan terus untuk membangun kebersamaan? Ya… berjalan proses waktu dan kejujuran hati untuk mengakui. Dapatkah materai kebersamaan manusiawi menjadi sebuah kerinduan yang kian memanggil manusia untuk berjumpa dan membangun persaudaraan sejati? Bila masih mungkin, tetap akan berjumpa!
Disaat-saat kebahagian dan kegembiraan yang kita alami itu, satu fragmen hidup yang berpangkal dari kehadiran manusia adalah hari dan tanggal kelahiran. Suatu kebahagian yang menghadirkan dunia tangis dan senyum. Suatu mata rantai kebersamaan untuk disatupadukan. Suatu peristiwa yang mengagumkan untuk memperoleh perjuangan, karunia, dan berkat berlimpah dari Tuhan. Bersama kegembiraan dan kebersamaan kita, walau terbentang suatu garis linear yang panjang, tapi Rio menetap mengukir dalam sanubari akan kehadiran dan perjumpaan kita. Untuk itu semua, Rio dengan tulus ikhlas mengucapkan "SELAMAT ULANG TAHUN BERNARDETT… SEMOGA KIAN SUKSES!” (**al**)
Komentar