CERPEN
MENGENDUS JEJAK ANGEL YANG LARA
oleh: Alfons Liwun
Jarum jam dindingku terus
berdetak. Sahabat-sahabat di kamar sebelahku lelap tertidur pulas karena keseharian
pontang panting merajut nasib. Entah mimpi apa gerangan mereka. Namun terdengar
dari kejauhan suara binatang malam yang dari tadi terus mendendangkan mazmur
pujian bagi Sang Khaliknya. Oh…, begitu indahnya, tarik suara di gelap gulita,
bisik hati kecilku untuk ingin terus mendengarkannya.
Aku berdiam sejenak. Meresapkan alunan musik jagat itu bersama seluruh pengalaman hidup siang tadi yang duka lara atas kepergiaan untuk selama-lamanya, Paus Yohanes Paulus II, Pemegang Takhta Petrus Gereja Katolik. Terhanyut, seakan menepis pada hulu yang sedang mendendangkan pujian itu. Dalam keheningan syaldhu, gejolak jiwa hatiku seolah bangkit menyatakan sesuatu. Kubiarkan… sekali lagi, kubiarkan mengalir terus, semakin cepat hingga bergeming pada rasa untuk meneruskan pada akal yang mampu menterjemahkan arti sesuatu itu.
Aku diam lagi. Mengalir dalam akalku sebuah lukisan berciri khas parasnya cantik, putih, kurus, tinggi, sebahu rambutnya, mancung hidungnya, dan lesung pipinya. Aku tersentak kaget dan terpukau. Rasa-rasanya aku kenal si gadis ini. Kuurut keningku sembari mengingat siapa sebenarnya dara manis itu. Sejenak aku tertegun, kemudian mengangguk-angguk.Kukenang semakin jauh dan sekali lagi terhanyut di tepian sebuah kenangan yang manis. Kutemui dia, si gadis manis sedang menyesal, rambutnya yang lurus terurai rapih kini, kusam tak terawat. Parasnya yang dulu mulus, sekarang tumbuh jerawat-jerawat cinta yang bagaikan cendawan di musim hujan.
“Angel…, kenapa kamu sampai begitu”, tanyaku sedikit mencari tahu. Angel diam-tak menggubris sepatah katapun. Sekali lagi kutanya Angel. “Ngel…, kenapa kamu senyap?” Angel menyibakkan helai-helai rambutnya dan muncullah secuil senyum cantik yang menghiasi bibir mungilnya. Seolah-olah mengekspresikan tidak ada masalah apa pun.
“Pak…, Angel lagi mikirin masa depan. Angel sudah tidak sekolah lagi. Sudah keluar dari SMA Negeri itu. Karena Angel nyesal, sekolah itu tidak disiplin, sarana tidak mencukupi kurikulum yang ada sekarang.” Aku diam dan terus merenung. Aku kembali menatap dalam wajahnya, membaca ekspresi jiwa penyesalannya. “Pak…, selain itu, Angel merasa sekolah ini pun tidak akan membantu saya di masa depan. Lihatlah…, banyak anak disini!, tambahnya.
Kuamati lagi wajahnya yang polos dan dengan gaya bahasa khas orang pulau, sekali lagi Angel bergeming, “Jike pak pergi, kemanekah kami harus mengadu?.”Aku diam, kaget! Hatiku luluh, kedua bola mataku terasa berat untuk menatapnya lagi. “Pak… Angel tanya, jawablah Angel dengan sejujurnya. “Pak, mau pindah ya…?” Dalam kebingungan aku tetap diam. Tetapi dalam hatiku, menyatakan sebuah penegasan. Rupanya Angel sudah tahu akan pemindahanku di tempat kerja yang baru. Aku pura-pura kaget! Dan untuk menghilangkan muncul pertanyaan yang lain dan kesedihan hatinya, kuajaknya untuk berdialog.
“Angel…, sudah saatnya juga pak harus pindah. Pertemuan dan kebersamaan kita, telah mengukir sebuah buku kehidupan. Temu dan pisah adalah hal yang biasa. Tetapi satu hal pasti, pak selalu kenang Angel, ketika kebersamaan kita di sekolah, di Gereja di saat Angel melantunkan mazmur, di saat kita latihan THS-THM, dan di saat kita berkunjung ke pulau-pulau lain.” Rasanya berat untuk mengingat semuanya. Sejenak, kami berdiam. “Angel…, maukah pak pindah?”, lanjutku.
Dengan ekspresi yang sulit kubaca, terlihat parasnya yang sangat lain, kulitnya yang putih serentak memerah. “Pak…, Angel tak punya apa-apa untuk dibawa dan dikenang, Angel hanya minta satu hal ini. “Pak… harus ingat Angel dan teman-teman Angel yang lain. Angel… tetap mengharapkan pak di pulau!”, katanya. “Pak, dengarkah suara Angel?” tambahnya. Hatiku duk-dak, bibirku gemetaran mau kata apa lagi pada Angel. Aku hanya mengangguk dan mengangguk.“Sudahlah Angel! Pak akan mendoakanmu dan teman-teman Angel”, dengan ekspresi seadanya, aku menyakinkannya.
Aku sadar, tercengang melihat detak jarum panjang jam yang menunjukan pukul 03.15 dini hari. Aku perlahan beranjak ke pembaringan dengan sejuta harapan agar Angel dan teman-temannya selalu mengenang kebersamaan selama di Pulau Tujuh. Dalam kegelapan kamar, aku bukannya langsung terlelap. Namun, pikiran dan perasaanku masih terbawa oleh pengalaman pertemuan tadi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengatup mataku. Tetapi apalah saya, satu demi satu seberkas pengalaman kebersamaan pengalir dalam ingatan. Bahwa kami telah bersama membangun kelompok kaum muda dengan sarana THS-THM, Pencinta Alam, majalah dinding di pastoran, pengadaan Radio FM yang diberi nama “Lumen FM 96 MHz, Kesebelasan Sepak Bola, Keenaman Volley Ball, dan Basket Ball. Juga terlintas dalam anganku, kebersamaan kami membentuk kelompok belajar di pastoran, bersama-sama memperjuangkan “peraturan poin” di Dinas Pendidikan Siantan, saat-saat kemah Pramuka bersama, dan sebagainya, dan sebagainya. Akhirnya seluruh pengalaman kebersamaan terbawa dalam kalbu bersama mazmur pujian semesta.
Keesokkan harinya, ketika fajar mulai mekar menyelimuti jagat, kala itu jam 06.30, terasa getaran MC HP, seakan membangunkan aku dari pembaringan. Aku perlahan mengangkat HP disamping lalu mengamatinya, terbaca panggilan tak terjawab. Aku ingin mencaritahu siapa gerangan itu. Kubuka hanya tercatat nomor pribadi. Aku bertanya dalam hatiku. Betulkah, kamu muridku dari seberangsana ? Aku
mengamati sekali lagi HP. Lampu berwarna ungu disampingnya mengisyaratkan ada
SMS yang masuk. Sambil meluruskan posisi badan, aku membuka dan membacanya.
Ternyata ada dua pesan pendek dari nomor yang berbeda. Dari nomor: 081636383XX:
“Pak mulai hari ini, Angel kerja jaga
wartel Flamboyan KUD, Jl. Ponogoro No. 87 Terempa Siantan”. Aku tercengang
dan mengangguk-angguk begitu dalam, sambil kutatap langit biru yang begitu jauh
dari balik jendelaku yang usang. Dan pada nomor berikutnya
085667041XX: “Pak, rindu ga ama kami?
Sejak Pak pergi, hati kami rasa sepi. Sepi semuanya…termasuk paskah tahun ini!”
Sekali lagi kurenung, teringat lagi paras Angel Laura, yang namanya sering
disebut-sebut dalam suara Radio Lumen FM 96 MHz.
Aku hanya diam seribu bahasa. Tetapi, satu hal yang pasti, biarpun selaksa seruan dan nada sedih datang dari seberang, pada akhirnya aku hanya memadukan semuanya itu dalam semangat perjalanan hidupku. Aku hanya menjerit dalam nada doaku: “Terpujilah Engkau, Tuhan, karena besar kasih setia-Mu, kami selalu berjumpa kapan dan dimana saja. Amin!”
Aku berdiam sejenak. Meresapkan alunan musik jagat itu bersama seluruh pengalaman hidup siang tadi yang duka lara atas kepergiaan untuk selama-lamanya, Paus Yohanes Paulus II, Pemegang Takhta Petrus Gereja Katolik. Terhanyut, seakan menepis pada hulu yang sedang mendendangkan pujian itu. Dalam keheningan syaldhu, gejolak jiwa hatiku seolah bangkit menyatakan sesuatu. Kubiarkan… sekali lagi, kubiarkan mengalir terus, semakin cepat hingga bergeming pada rasa untuk meneruskan pada akal yang mampu menterjemahkan arti sesuatu itu.
Aku diam lagi. Mengalir dalam akalku sebuah lukisan berciri khas parasnya cantik, putih, kurus, tinggi, sebahu rambutnya, mancung hidungnya, dan lesung pipinya. Aku tersentak kaget dan terpukau. Rasa-rasanya aku kenal si gadis ini. Kuurut keningku sembari mengingat siapa sebenarnya dara manis itu. Sejenak aku tertegun, kemudian mengangguk-angguk.Kukenang semakin jauh dan sekali lagi terhanyut di tepian sebuah kenangan yang manis. Kutemui dia, si gadis manis sedang menyesal, rambutnya yang lurus terurai rapih kini, kusam tak terawat. Parasnya yang dulu mulus, sekarang tumbuh jerawat-jerawat cinta yang bagaikan cendawan di musim hujan.
“Angel…, kenapa kamu sampai begitu”, tanyaku sedikit mencari tahu. Angel diam-tak menggubris sepatah katapun. Sekali lagi kutanya Angel. “Ngel…, kenapa kamu senyap?” Angel menyibakkan helai-helai rambutnya dan muncullah secuil senyum cantik yang menghiasi bibir mungilnya. Seolah-olah mengekspresikan tidak ada masalah apa pun.
“Pak…, Angel lagi mikirin masa depan. Angel sudah tidak sekolah lagi. Sudah keluar dari SMA Negeri itu. Karena Angel nyesal, sekolah itu tidak disiplin, sarana tidak mencukupi kurikulum yang ada sekarang.” Aku diam dan terus merenung. Aku kembali menatap dalam wajahnya, membaca ekspresi jiwa penyesalannya. “Pak…, selain itu, Angel merasa sekolah ini pun tidak akan membantu saya di masa depan. Lihatlah…, banyak anak disini!, tambahnya.
Kuamati lagi wajahnya yang polos dan dengan gaya bahasa khas orang pulau, sekali lagi Angel bergeming, “Jike pak pergi, kemanekah kami harus mengadu?.”Aku diam, kaget! Hatiku luluh, kedua bola mataku terasa berat untuk menatapnya lagi. “Pak… Angel tanya, jawablah Angel dengan sejujurnya. “Pak, mau pindah ya…?” Dalam kebingungan aku tetap diam. Tetapi dalam hatiku, menyatakan sebuah penegasan. Rupanya Angel sudah tahu akan pemindahanku di tempat kerja yang baru. Aku pura-pura kaget! Dan untuk menghilangkan muncul pertanyaan yang lain dan kesedihan hatinya, kuajaknya untuk berdialog.
“Angel…, sudah saatnya juga pak harus pindah. Pertemuan dan kebersamaan kita, telah mengukir sebuah buku kehidupan. Temu dan pisah adalah hal yang biasa. Tetapi satu hal pasti, pak selalu kenang Angel, ketika kebersamaan kita di sekolah, di Gereja di saat Angel melantunkan mazmur, di saat kita latihan THS-THM, dan di saat kita berkunjung ke pulau-pulau lain.” Rasanya berat untuk mengingat semuanya. Sejenak, kami berdiam. “Angel…, maukah pak pindah?”, lanjutku.
Dengan ekspresi yang sulit kubaca, terlihat parasnya yang sangat lain, kulitnya yang putih serentak memerah. “Pak…, Angel tak punya apa-apa untuk dibawa dan dikenang, Angel hanya minta satu hal ini. “Pak… harus ingat Angel dan teman-teman Angel yang lain. Angel… tetap mengharapkan pak di pulau!”, katanya. “Pak, dengarkah suara Angel?” tambahnya. Hatiku duk-dak, bibirku gemetaran mau kata apa lagi pada Angel. Aku hanya mengangguk dan mengangguk.“Sudahlah Angel! Pak akan mendoakanmu dan teman-teman Angel”, dengan ekspresi seadanya, aku menyakinkannya.
Aku sadar, tercengang melihat detak jarum panjang jam yang menunjukan pukul 03.15 dini hari. Aku perlahan beranjak ke pembaringan dengan sejuta harapan agar Angel dan teman-temannya selalu mengenang kebersamaan selama di Pulau Tujuh. Dalam kegelapan kamar, aku bukannya langsung terlelap. Namun, pikiran dan perasaanku masih terbawa oleh pengalaman pertemuan tadi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengatup mataku. Tetapi apalah saya, satu demi satu seberkas pengalaman kebersamaan pengalir dalam ingatan. Bahwa kami telah bersama membangun kelompok kaum muda dengan sarana THS-THM, Pencinta Alam, majalah dinding di pastoran, pengadaan Radio FM yang diberi nama “Lumen FM 96 MHz, Kesebelasan Sepak Bola, Keenaman Volley Ball, dan Basket Ball. Juga terlintas dalam anganku, kebersamaan kami membentuk kelompok belajar di pastoran, bersama-sama memperjuangkan “peraturan poin” di Dinas Pendidikan Siantan, saat-saat kemah Pramuka bersama, dan sebagainya, dan sebagainya. Akhirnya seluruh pengalaman kebersamaan terbawa dalam kalbu bersama mazmur pujian semesta.
Keesokkan harinya, ketika fajar mulai mekar menyelimuti jagat, kala itu jam 06.30, terasa getaran MC HP, seakan membangunkan aku dari pembaringan. Aku perlahan mengangkat HP disamping lalu mengamatinya, terbaca panggilan tak terjawab. Aku ingin mencaritahu siapa gerangan itu. Kubuka hanya tercatat nomor pribadi. Aku bertanya dalam hatiku. Betulkah, kamu muridku dari seberang
Aku hanya diam seribu bahasa. Tetapi, satu hal yang pasti, biarpun selaksa seruan dan nada sedih datang dari seberang, pada akhirnya aku hanya memadukan semuanya itu dalam semangat perjalanan hidupku. Aku hanya menjerit dalam nada doaku: “Terpujilah Engkau, Tuhan, karena besar kasih setia-Mu, kami selalu berjumpa kapan dan dimana saja. Amin!”
Kupersembahkan cerpen ini buat Angel
dan teman-temannya
Di Terempa, Air Sena, dan Mengkait -
Kepulauan Anambas – Natuna.
Dari sahabatmu
*). al***
Komentar