LANGO BELE: SIMBOL KEBERSAMAAN DAN PERSAUDARAAN SEJATI
1
Lewo Goe Igo Rian Sina, punya makna histories dan selalu menyejarah dalam kalbu warga Kawaliwu. Lahirnya “lewo” bukan berasal dari langit. Lahirnya “lewo” bukan karena hebat perang yang pernah ada dan selalu diceriterakan oleh para penyejarah Kawaliwu. Tetapi selalu diingat bahwa lahirnya “lewo” karena “pupu taan uin tou-genahan taan uin ehan, yang lahir dari kebersamaan dan persaudaraan sejati. Nilai kebersamaan dan persaudaraan sejati inilah yang menjadi dasar yang kokoh bagi hidup warga Kawaliwu.
“Pupu taan uin tou-genahan taan uin ehan”, lahir didalam suatu kebersamaan dan persaudaraan sejati di dalam “langö belĂ©.” Di dalam “lango bele” ini setiap saudara-saudari dari satu suku dipertemukan, saling berbicara-mendengarkan-dan mencari jalan keluar serta lebih dari itu, bersama-sama menjalankan hasil kesepatan.
Percayakah bahwa dari dalam “lango bele” itu muncul adanya kebersamaan dan persaudaraan ssejati? Yakinkah kita bahwa “lango bele” menjadi tempat membangun rasa kebersamaan dan saling mengikat perasaan satu dengan yang lain? (refleksikan…..)
Lewo Goe Igo Rian Sina, memiliki banyak “lango bele.” Hampir setiap suku ada. Dan dari semua suku itu, kemudian berkumpul dalam satu “lango bele” di “lewo oki.” Suatu pola kepemimpinan dari bawa menjadi hidup. Dan seorang pemimpin utama mendengarkan suara dari bawa melalui system peradaban dalam “lango bele.”
Sistem yang sudah dibentuk demikian lama, perlahan-lahan sirna. Kehancuran sistem kebersamaan itu bukan karena factor dari luar. Ingat, sepenggal lagu Ebit G. Ade, berbunyi demikian. “….tengoklah ke dalam sebelum bicara…” Jangan pula kita menyalahi pihak yang menjadi pusat persoalan ketika kita mendengar bahwa tokoh-tokoh yang bersangkutan adalah biangkeladinya. Tetapi, hendaknya kita bersahaja, mendengar dan mendengar. Kemudian mengolah diri, mengambil sebuah makna yang menjadi prinsip dalam menjalankan kehidupan ini. ***
2
Refleksi kita adalah ”mengapa ”lango bele” tidak menjadi pusat ”pupu taan uin tou-genahan taan uin ehan?” Jika ”lango bele” tidak menjadi tempat yang strategis untuk warga Kawaliwu berkumpul, adakah tempat lain yang bisa menjadi pusat pertemuan dan membangun kebersamaan serta persaudaraan sejati bagi warga Kawaliwu?
Generalisasi – sebuah perbandingan:
Sinagoga adalah tempat ibadat kecil masyarakat Yahudi di pedesaan atau dusun atau di tingkat lingkungan. Di dalam sinagoga ini selain sebagai tempat ibadat, masyarakat Yahudi pedesaan/pedusunan juga berkumpul untuk suatu proses pendidikan-pengajaran Kitab Taurat. Bahkan menjadi tempat pertemuan masyarakat untuk membicarakan berbagai masalah entah itu ekonomi, sosial budaya, edukasi, kemanusiaan, dll. Di dalam sinogoga anggota masyarakat Yahudi saling belajar untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan di antara para anggota masyarakat. Kebersamaan itu dan persaudaraan itu bukan hanya di tingkat pedesaan/pedusunan tetapi bahkan di tingkat yang lebih besar. Masyarakat pada perayaan-perayaan tertentu mereka semua berkumpul di Yerusalem, di tempat doa yang besar, di Bait Allah. Misalnya pada perayaan musim panen, dll. Dengan tingkat perayaan/kegiatan semacam ini, mereka membangun kebersamaan dan persaudaraan di antara suatu masyarakat. Tidak heran, pengalaman kebersamaan dan persaudaraan itu, selalu terus hadir dalam setiap hidup dan perjuangan mereka.
Dalam refleksi saya selama ini, Kawaliwu punya pengalaman yang sama. Punya banyak ”lango bele” karena punya banyak suku. Kemajemukan ini telah meng-adab-kan kita. Keragaman ini telah menunjukan bahwa kita punya potensi untuk maju.
Tetapi sayang, bahwa masih adakah ”lango bele” di setiap suku menjadi ”rumah singgah bagi siapapun dalam satu suku” untuk membangun kebersamaan dan persaudaraan? Adakah peluang untuk membangun kedamaiaan ide, ketenangan jiwa dan kebeningan budi bagi masyarakat untuk maju selangkah menenun pengalaman masa lalu, merajut masa depan dengan merefleksikan masa sekarang? Beranikah orang Kawaliwu sekarang berhati tenang dan kesehajaan jiwa untuk menerima serta merangkul banyak pihak yang berbeda untuk maju menuju ”peradaban cinta.” Dan demikian, Kawaliwu menjadi sebuah ”laboratorium pengharapan” bagi siapapun juga. ***
Komentar