HIDUP DAN MATI ADALAH MILIK ALLAH (sebuah refleksi atas pasca erupsi Merapi di Yogjakarta)

Pagi itu, pukul 05.00 wib 25 Mei 2011. Saat itu, udara sedikit dingin mengelimuti halaman Sav. Audio Visual Puskat. Di sekitar Sindhu Rejo, alam begitu cerah. Tidak sepanas hari kemarin.

Rombongan para katekis Keuskupan Pangkalpinang, diantar oleh mas Trimul dengan dua mobil Puskat menuju Kinah Rejo, sebuah desa, bekas erupsi Gunung Merapi. Lebih kurang 45 menit kami menempuh perjalanan itu.

Udara di Kinah Rejo, begitu dingin. Penduduk tidak ada lagi. Sepi. Di sekitar Kinah Rejo, nampak berantakan. Umbul-umbul mahoni dan bambu serta kayu-kayu lainnya ada di mana-mana. Kali bekas luapan muatan Merapi begitu dalam. Masih terlihat sisa-sisa air dan pasir dingin yang mengalir dibawa air. Di sekitar Kinah Rejo sendiri, masih terlihat bekas-bekas bangunan penduduk. Hanya tinggal dinding, kayu pintu dan jendela dan bahkan hanya fondasi rumah yang nampak ketika bangunan itu berada di tempat yang tinggi. Namun, bila bangunan berada ditempat yang rendah, waduh...tak terlihat lagi. Semuanya terkubur oleh debu dan pasir muatan Merapi.

Saya sendiri ketika melihat pertama kali akan situasi Kinah Rejo, muncul dalam pikiran saya begini. ”Waduh... Memang Allah itu pembunuh. Dia membunuh dengan dhasyat dan kejam. Alam yang merupakan ciptaan-Nya dihancurkan-Nya. Manusia yang merupakan mahkhota-Nya, dilumpuhkan bahkan dikuburkan-Nya hidup-hidup dalam debu dan pasir panas. Waduh...kejam sekali, Allahku.”

Begitulah respons saya yang pertama kali ketika mengamati lingkungaan hidup yang ada disekitar Kinah Rejo. Pengamatan saya tidak berhenti di situ.

Saya kemudian berjalan di kiri kanan dan mendaki ke arah Merapi. Saya melihat kerikil-keril dan pasir yang ada di pinggir jalan. Saya melihat tanaman-tanaman yang di tanam kembali oleh masyarakat yang ada di sekitarnya, yang sudah mulai tumbuh. Juga saya melihat, pondok-pondok di pinggir jalan yang dibangun oleh masyarakat sebagai tempat teduh bagi siapa saja yang datang untuk berwisata alam Merapi. Nampaknya telah mulai ada tanda-tanda kehidupan.

Dalam lalu-lalang disekitar Kinah Rejo, saya mengambil dua buah kerikil, luapan dari Merapi. Saya menggenggam kerikil itu. Saat itu sebagai seoraang beriman, muncul dalam benak saya ceritera Kitab Suci, perkelahian Daud dan Goliat. Daud menaklukkan Goliat dengan lima kerikil yang dipilihnya dari tanah. Kelima kerikil itu punya simbol tertentu di PB, yaitu kelima tempat luka Yesus. Ceritera Daud dan Goliat kemudian menjadi bahan permenungan saya.

Daud lambang Allah, simbol kebaikan. Goliat lambang bangsa/orang yang sombong, yang gegabah, dan yang congkak hatinya. Ceritera perjalanan saya tadi, Gunung Merapi simbol kebesaran Allah. Bisa memuntahkan bahan-bahan yang terkandung didalamnya karena tidak menahan lagi sikap-sikap orang/bangsa yang sombong, yang gegabah, yang congkak hatinya. Bisa membunuh karena kedegilan hati orang. Namun demikian, kebesaran Merapi itu ternyata menghidupkan kembali. Debu, tanah yang sumbur bagi tanaman. Paasir dan kerikil menjadi bahan bangunan penduduk, di sekitarnya. Bahkan menjadi material bangunan yang diperjualbelikan. ”Hidup atau mati” adalah miliki Allah. Dan karena itu, manusia, mahkhota Allah semestinya menyadarkan dirinya dan karena itu bertindak dan berbuat seharusnya berjalan di jalan Allah. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi pribadi atas Tulisan Bambang Harsono tentang doa Singkat THS-THM

AsIPA-PIPA dan KBG-SHARING INJIL

Tinjauan Komunitas Basis Gerejawi Menurut Dokumen Resmi Gereja Katolik