FASILITATOR: UJUNG TOMBAKNYA KOMUNITAS BASIS GEREJANI
Oleh: Alfons Liwun
Keadaan masyarakat dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Begitupun situasi Gereja kita. Setiap zaman bahkan setiap tahun, keprihatinan dan tantangan hidup kita pun terus menerus bergeser. Karena itu, tidak heran jika untuk membangun Gereja kita, tidak mesti sama persis seperti Gereja para rasul, Gereja zaman Fransiskus Xaverius, dan Paulus Tjen Ongie. Namun ada satu hal yang pasti bahwa ekspresi dari semangat sebuah zaman, telah memotivasi umat untuk bangkit dan menata kembali mengembangkan kehidupan Gereja.
Ekspreasi roh zaman yang sama itu pula telah mendorong para peserta Sinode 2000 untuk menemukan “a new way of being church” yaitu Komunitas Basis Gerejani (KBG) menjadi prioritas karya pastoral. Dan bahkan mungkin juga spirit zaman yang sama itu, telah menginspirasi Bapa Uskup dan kemudian inspirasi itu kini menjadi sebuah wacana penegasan untuk kembali menata komunitas-komunitas kecil yang sudah ada. Bahwa komunitas kecil yang selama ini melaksanakan kegiatan devosional ditingkatkan dengan membaca Alkitab, merefleksi, dan sharing bersama hingga pada pelaksanaan aksi konkrit.
Dalam semangat pengembangan KBG misalnya, Paroki St. Maria Pengantara Segala Rahmat Sungailiat dalam pertemuan 25 September 2005, moment evaluasi program tahunan, para pastor, DPP, ketua-ketua kelompok, fasilitator, dan Sekpas telah menemukan tiga butir kebutuhan pokok yang perlu mendapat prioritas dalam pengembangan Gereja Sungailiat tahun 2006. Ketiga acuan pokok itu adalah membangun KBG dalam semangat persaudaraan sejati, menjadikan paroki mandiri dalam hal tenaga dan dana, dan mengembangkan komunikasi dan koordinasi serta tanggungjawab bersama semua anggota (keterlibatan, animasi, pengurus, dan fasilitator).
Hemat saya, jika dalam setiap pemetaan prioritas kebutuhan untuk pengembangan Gereja yang nota bene-nya bermuara pada KBG; walaupun dimana KBG kita sekarang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dengan jamak rupa yang berbeda, namun semuanya itu, bila tersimpul maka kita menemukan dalam empat kekhasan pokok yaitu KBG sebagai basis Gereja setempat, KBG sebagai basis masyarakat setempat, KBG sebagai basis kerasulan, dan KBG sebagai basis pemberdayaan umat awam, dengan meneliti KBG yang demikian maka alternatif yang ditonjolkan adalah bagaimana pemfokusan kita pada pembinaan atau pelatihan bagi para fasilitator dan pengkaderan fasilitator itu sendiri, sehingga selain fasilitator memiliki hidup rohani yang mendalam, ketrampilan, pengetahuan, dan kepribadian yang kuat, juga agar fasilitator mampu membaca “tanda-tanda zaman” yang sedang terjadi dalam kelompok, stasi, paroki, dan bahkan sebuah keuskupan. Karena bagaimanapun juga, fasilitator adalah ujung tombaknya KBG yang menjadi pelancar dan sekaligus lebih luas bersama anggota-anggota kelompoknya dan agen pastoral yang lain berusaha untuk mengembangkan dunia dan menyempurnakan kemanusiaan. Untuk itu, fasilitator perlu dibina dan dididik terlebih dahulu dan setelah itu ia melanjutkan atau menularkan pembinaan itu kepada anggota-anggota kelompok yang dibinanya.Tanpa pembinaan yang terus menerus untuk fasilitator, kelompok yang dibinanya pun tetap “suam-suam kuku”-bahkan bosan dan sirna ditelan angan-angan.
Pola Pembinaan “Ruang Atas”: Pola Pembinaan Fasilitator
Salah satu fragmen hidup Yesus yang cukup menarik adalah bahwa Ia “tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri” (Yoh.5:19.30), namun menerima segala sesuatu dari Bapa yang telah mengutus-Nya. Kesadaran-Nya yang mendalam ini membawa Yesus untuk memanggil dan memilih para murid-Nya menjadi rasul. Para rasul yang diutus-Nya pun tidak dapat berbuat apa-apa jika tanpa Yesus (Yoh.13:20;17:18). Itu berarti Yesus Kristus yang adalah Bapa dan Roh Kudus menjadi “tenaga” bagi para rasul dalam melaksanakan misi perutusan bagi dunia. Tidak heran jika suasana sengsara dan wafat Yesus, mengubah suasana para rasul menjadi suasana krisis, putus asa, dan tidak memiliki arah hidup lagi. Mereka tercerai berai. Mereka kembali kepada habitatnya sebagai nelayan, petani, pengembala, pemungut cukai, dan sebagainya. Suasana yang kacau balau yang dialami para rasul kemudian hari disatukan kembali oleh kehadiran Yesus-dalam kebangkitan-Nya. Mereka kembali melerai benang kusut perjalanan hidup dan memurnikan motivasi panggilan hidup mereka sebagai seorang utusan.
Penginjil Lukas, dalam Kisah Para Rasul 1:13, menunjukan “ruang atas” (snakel) menjadi tempat tinggal mereka. Bukan hanya itu saja, bahkan dalam Injil, ternyata ruang atas diceriterakan sebagai tempat perjamuan perpisahan (Mrk.14:14), menjadi tempat pemilihan rasul pengganti Yudas Iskariot, tempat para rasul menanti-nanti kedatangan Roh Kudus dan pencurahan Roh Kudus untuk berkatekese tentang Yesus dan ajaran-Nya kepada semua bangsa, yang bermula dari Yerusalem. Dalam terang pembelajaran para rasul di ruang atas ini, fasilitator sungguh-sungguh mau dibina agar mereka mampu memfasilitasi dirinya dan kelompok yang dibinanya. “Suasana ruang atas” yang dialami fasilitator betul-betul akan dialami oleh komunitas-komunitas kecil. Dan bisa saja, Roh “ruang atas” menjadi sebuah alternatif spirit bagi pembekalan fasilitator.
Fasilitator: Ujung Tombak KBG
Untuk membantu fasilitator supaya berhasil dalam tugas dan perannya, saya sependapat dengan Lobinger Fritz, dalam tulisannya Towards Non-Dominating Leadership, Aims and Methods of the Lumko Series, bahwa fasilitator amat perlu sekali disiapkan dalam pelbagai pembinaan rutin dengan beberapa bidang binaan utama. Pertama, spiritualitas atau kehidupan rohani, yang mencakupi bagaimana orang-orang kristen yang beriman dan memiliki komitmen, bagaimana fasilitator mengembangkan doa pribadi, bagaimana fasilitator memurnikan motivasi untuk melayani dan memimpin, bagaimana fasilitator mendewasakan iman dan mampu beralih dari religiusitas alami kepada Kristus, serta bagaimana memadukan kebudayaan dan iman kristiani. Kedua, psikologis atau perilaku, nilai dan kesadaran, yang terdiri dari pembinaan berupa kesadaran akan tanggungjawab sosial, relasi dalam persekutuan, kerja tim, kemitraan dengan pemimpin yang lain dengan umat, dan sikap pelayanan bukan unjuk kekuatan. Ketiga, Ketrampilan. Fasilitator dibina untuk bagaimana mempermudah proses dialog antar sebuah kelompok dan persekutuan yang lebih besar, bagaimana mengajak dan mempengaruhi orang lain, bagaimana memimpin perayaan-perayaan ritual, bagaimana menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, bagaimana mengatasi konflik, dan bagaimana berkomunikasi dengan anggota-anggota kelompok. Keempat, scientific atau pengetahuan, informasi, dan wawasan. Fasilitator juga perlu dibina tentang berbagai ilmu teologis, dan pengetahuan umum seperti sosial, ekonomi, budaya, informatika, dan ilmu-ilmu lainnya. Keempat bidang primer ini jika dikemas secara baik dengan modul-modul yang memadai dan dijalankan secara periodik, lambat laun fasilitator memiliki pertumbuhan hidup rohani, wawasan yang cukup, ketrampilan yang mampu menjadi penggerak yang handal, dan sekaligus sebagai pribadi yang sanggup membaca dan menganalisa “tanda-tanda zaman” yang sedang bergejolak. Jelas disini bahwa fasilitator sungguh-sungguh menjadi ujung tombaknya KBG.
Seorang umat yang telah bersedia menjadi fasilitator, diusahakan supaya dibangun suatu relasi yang mantap, seperti “peristiwa ruang atas” yang dialami para rasul Kristus. Fasilitator atau sering disebut sebagai pelancar adalah seseorang yang bertugas untuk mempermudah proses dialog antar para peserta. Dan jika seorang pelancar menyadari akan peran dan fungsinya dalam pertemuan kelompok, ia akan mengetahui sejauhmana dirinya sebagai seorang yang sedang “diutus” bagaikan seorang rasul yang telah mengalami kebersamaan ruang atas.
Fasilitator akan berusaha membangun kelompok binaannnya, sesuai dengan pola pembinaan yang telah diperolehnya. Pengetahuan yang ia peroleh dalam pembinaan akan menjadi dasar baginya untuk meretas wawasan dan informasi bagi anggota-anggota kelompok. Teknik bagaimana berkomunikasi yang baik dalam pembinaannya akan dipakainya untuk membangun sebuah jaringan kemitraan dan dialog antar sesama anggota kelompok. Semangat spiritualitas ruang atas yang dialami bersama fasilitator lain hemat saya akan ia gali untuk menemukan spiritualitas kelompoknya. Kemantapan psikis yang bersifat kolegial-partisipatif akan menembus kebersamaan dalam memecahkan problematika kehidupan berjemaat dalam kelompok. Dengan demikian segala bentuk pembinaan yang diterimanya membuatnya menjadi ujung tombak dalam memfasilitasi segala pertemuan kelompok. ***
Komentar