Postingan

LAKUKAN DENGAN SETIA...

Gambar
Bersama anak TK berdoa di depan altar Kitab Suci adalah Allah yang menjelmah dalam Sabda, dan Sabda itu telah hidup dalam diri Yesus, wahyu Allah yang hidup. Maka ketika kita membaca dan mendengarkan Sabda Allah, sebenarnya Allah yang hidup dalam diri Yesus yang sedang bersabda dan mengajarkan kepada kita ajaran-Nya. Dengan kita membaca, merenungkan, menghayati dan melaksanakan Sabda Allah, Kitab Ulangan (4:1 - 2, 6 – 8) memuji kita sebagai orang yang memelihara Hukum Allah. Kita adalah orang yang meneruskan Sabda Allah itu dalam hidup. Sepadan dengan Kitab Ulangan, Rasul Yakobus (1:17-18,21b-22,27) pun menekankan makna terdalam dari membaca Kitab Suci. Kita tidak hanya membaca, tetapi hendaklah menjadi pelaku firman Allah. Jika kita hanya sebatas membaca tanpa merenung, menghayati dan melaksanakan firman Allah, kita adalah penipu. Disini, Rasul Yakobus meminta kita, bukan hanya mengajar tetapi teladan hidup,   jauh   lebih   bernilai   bila disandingkan dengan hanya

PERBAHARUI HATI DENGAN ROH KUDUS

Gambar
R efleksi atas perjalanan hidup bangsa Israel ditemukan ada pasangan surut dalam menjalin hubungan dengan Allah. Ketika mereka hidup dalam sukacita, gembira ria dan hidup dalam kemewahan karena kerja berhasil, Allah menjadi fokus utama dalam relasi hidup mereka. Misa Pentekosta di Paroki Belinyu Bangka 2012 Namun ketika hidup itu dipenuhi dukacita, penderitaan, dan banyak tantangan untuk meraih kesuksesan, mereka lupa akan Allah. Bahkan mereka mengutuk Allah, karena Allah tidak menolong mereka. Kitab Yosua (. 24:1-2a, 15-17, 18b) dalam bacaan pertama mengisahkan bagaimana Yosua menjadi pemimpin yang mengatur bangsa Israel untuk kembali membangun ibadah kepada Allah, walaupun hidup selalu dialami tidak seperti yang diharapkan. Membangun perjanjian dengan Allah berarti kembali kepada manusia baru seperti pada awal ciptaan Allah. Untuk bertahan dalam martabat ciptaan Allah, Paulus (Ef. 5: 21—32) memberikan sekurangnya dua tips dasar agar perjanjian dengan Allah tet

OMONG DOANK: SUKARELA...

Gambar
Kata “SUKA RELA” mempunyai nilai yang luar biasa dalam. Suka rela sama katanya dengan gratis. Bila kita memaknai kata ini maka suka rela adalah pemberian diri secara gratis. Wah…sama dengan Yesus. Memberikan diri-Nya secara gratis kepada manusia, menebus dosa-dosa manusia, yang seharusnya ditanggung manusia sendiri. Coba kata SUKA RELA itu, tidak ada RELA hanya ada SUKA saja, maka secara perlahan-lahan makna yang muncul adalah tidak gratis. Suka mempunyai nilai, mau, perlu dibayar, perlu ada imbalan. Apalagi dunia sekarang, tenaga, pikiran dan waktu selalu diperhitungkan. Coba kata SUKA RELA itu, tidak ada SUKA, hanya ada RELA aja. Maka yang ada dalam hati kita adalah suatu ketulusan, ikhlas. Rela, jarang terjadi. Tidak mungkin setiap kali, selalu rela. Artinya miskin-lah, tidak punya apa-apa. Jika tidak ada SUKA-RELA, sia-sia-lah penebusan Yesus bagi kita. Suka rela yang ditunjukkan-Nya, tidak kita teruskan. Maka pertanyaannya: bagaimana dengan misi kita sebagai orang k

GUNAKAN WAKTU YANG ADA

Gambar
O rang Yahudi kuno mempunyai dua pandangan terhadap waktu. Waktu sebagai Chronos dan waktu sebagai Chairos . Waktu sebagai chronos, sederhananya adalah waktu secara kronologis. Misalnya waktu pagi, siang, senja, malam, dini hari, pagi lagi....dan seterusnya. Waktu sebagai chairos, saat di dalamnya dimaknai sebagai waktu keselamatan. Disaat-saat itu setiap peristiwa yang terjadi dan terlaksana dengan baik dimaknai sebagai waktu penyelamatan. Berlatar belakang atas waktu ini, kita diundang untuk melihat peristiwa yang terjadi dalam bacaan-bacaan suci kita hari ini. Kitab Amsal adalah sebuah kitab nasihat dengan pola bahasa sastra yang dalam. Undangan untuk menikmati perjamuan makan, dimaknai sebagai sebuah peristiwa keselamatan (Ams, 9:1-6). Di dalamnya Allah yang mengundang umat-Nya untuk duduk makan bersama. Kepada setiap undangan, Allah meminta untuk menanggalkan  pola pikir yang lama (kebodohan) dan hendaknya mengikuti jalan pikiran yang baru. Itu artinya, manusia diundang

MASYARAKATKU RESAH DAN GELISAH: TANAH ULAYAT MENJADI MEDAN PEMBANGUNAN

Gambar
Kawaliwu, itulah desaku. Kawaliwu, desa gaya baru ”Sinar Hading”. Di Teluk Hading lah, desaku itu tegak berdiri dan kokoh kuat menghadapi laut lepas, Laut Flores, yang berhadapan dengan Ujung Pandang atau Makasar, bila kita menarik sebuah garis lurus. Sinar Hading, kini telah menjadi ibu kota kecamatan, Kecamatan Lewolema. Kecamatan ini dimekarkan lebih kurang pada tahun 2006. Usianya kini (2012) masih enam tahun. Masih relatif muda. Apabila kita membandingkan dengan umur seseorang, ya...masih kelas 1 Sekolah Dasar. Jadi, masih belajar membaca dan menulis, menyebut huruf dan angka. Belum mahir.   Dalam perjalanan waktu ini, arah pembangunan daerah Flotim tertuju ke sana. Satu hal yang menarik di sana karena masih terbilang aman, bahkan amat strategis bila Sinar Hading menjadi tempat penghubung Kota Larantuka dan Kota Maumere dengan   Kecamatan Tanjung Bunga, sebuah kecamatan paling timur di pulau Flores. Dalam derap langkah pembangunan Flotim, Pemkab Flotim, bagian Pelay

DUDUK...

Gambar
Duduk... apa itu? Duduk, meletakkan ”kedudukan” kita di atas sebuah tempat yang datar seperti kursi, bangku, atau tempat lain yang datar yang menjadi tempat untuk duduk. Duduk... adalah sebuah sikap bertahan, berkanjang terhadap suatu prinsip. Duduk...adalah posisi tubuh kita, bisa mendengarkan suatu ajaran atau kotbah atau wejangan dari seseorang. Duduk adalah penyerahan diri seutuh kepada pribadi yang sedang mengadakan sesuatu. Temu Fasilitator waktu luang Sinode II Makna duduk yang telah dipresentasikan diatas, termaktub juga dalam bacaan-bacaan suci dalam minggu biasa ini (4-5 Agustus 2012). Kitab Keluaran ( 16: 2—4), menceriterakan secara tersirat, Israel tidak bertahan dalam perjalanannya menuju Tanah Terjanji. Tidak bertahan karena mereka sendiri tidak mau menderita terlebih dahulu. Tidak bertahan, menandakan kerapuhan dalam prinsip dan karena itu lebih sering mengeluh. ”Lebih baik kami mati di Mesir ketika duduk berhadapan dengan kuali...”, lebih baik mati kare

PESTA PERAK 25 TAHUN MENJADI USKUP KEUSKUPAN PANGKALPINANG

Gambar
Bapa Uskup Keuskupan Pangkalpinang, Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD menjadi uskup di Keuskupan Pangkalpinang sejak 2 Agustus 1987, 25 tahun yang lalu. Dan sejak tanggal 2 Agustus 1972, Mgr. Hila genap 40 tahun menjadi imam di Tarekat SVD (Societas Verbum Dei). Saat Kunjung di KBG Sta. Elisabeth Sungailiat Menjadi uskup di wilayah Keuskupan Pangkalpinang dengan beberapa pulau, Mgr. Hila dikenal dengan sebutan “Bishop of Sea” . Seorang uskup di wilayah kepulauan memang tidak gampang. Tuntutannya adalah fisik dan mental yang kuat dan tangguh. Selama 25 tahun, Mgr. Hila telah menghadapi semuanya ini. Tidak heran jika fisiknya sudah menurun, kelihatannya rambut mulai beruban, dan sudah beberapa kali sakit, sehingga operasi ganti klip jantung. Walau demikian Bapa Uskup sampai dengan saat ini tegar dalam berkarya dan dengan tekun mengunjungi umatnya dari setiap paroki. Spiritnya ini justru meneladani Ibu Maria, yang selalu peduli dan setia mengunjungi saudara-saudarinya. Saat