Arak: Penopang Ekonomi Warga Kecil
Saya memulai tulisan kecil ini dengan sebuah sharing pribadi tentang situasi ekonomi dalam keluarga saya. Keluarga saya adalah keluarga petani kampungan. Dari pagi hingga sore, pasti di kebun. Lahan garapan berpindah-pindah, setahun sekali. Hidup betul-betul sangat bergantung pada kebaikan dan kemurahan hati alam. Keluarga petani, dengan pekerjaan sampingan mengiris tuak-marak. Sebutan “tuak” karena rasanya asam kalau diminum. Sedang “marak” rasanya manis. Tuak akan disuling dengan teknologi sederhana menjadi ARAK. Sedangkan marak kalau dimasak menjadi “tnasu” (kalau masih kental) dan jika dipadatkan atau dikeringkan, orang bilang “gula doko”, atau bahasa krennya “gula lontar”. Semua hasil penyadapan ini, kalau tidak dipakai habis dalam kebutuhan rumah tangga, maka keluarga mencari jalan keluar untuk pergi menjualnya. Tempat penjualan yang dapat dijangkau dengan jalan kaki saat itu adalah “Pasar Oka” di Oka atau lebih dekat “Pasar Belo Bare” di Desa Sinar Hading, Kecama